• Ingin Cerita Anda Menginspirasi Dunia | Coming Soon

    Di Zona Insight, kami percaya bahwa setiap individu dan kelompok memiliki cerita yang layak didengar. Kami hadir untuk membantu Anda mempublikasikan ide, pengalaman, atau prestasi agar menjangkau lebih banyak audiens.

  • Ayo Jadi Penulis di Zona Insight | Klik di sini untuk Daftar

    Manfaatkan kesempatan selama 3 bulan bersama Zona Insight untuk memberi dampak dan inspirasi lewat tulisan. Kamu juga akan dibekali pengetahuan dan keterampilan menulis oleh mentor Zona Insight, serta mendapatkan sertifikat penghargaan sebagai penulis inspiratif.

Senin, 19 Mei 2025

Hidup itu nggak adil, dan mungkin emang begitu adanya


 

Kalian pernah merasa gak sih kadang dunia terasa kayak game yang curang. Ada orang yang dari kecil udah hidup enak kayak sekolah mahal, lingkungan nyaman, koneksi orang tua di mana-mana. Eh tapi, di satu sisi ada juga yang lahir dalam situasi serba terbatas, dan harus jungkir balik cuma buat bertahan hidup. Banyak yang bilang, “ya wajar, hidup memang nggak adil”. Tapi tetap aja, kalimat itu sering terasa lebih mirip pembenaran daripada penghiburan.

Tapi ya kalau dipikir-pikir, mungkin kalimat itu bukan sekadar omongan pasrah. Mungkin emang begitu adanya. Hidup memang nggak dirancang buat adil, dan itu bukan karena ada yang salah. Justru mungkin, ketidakadilan adalah bagian dari “aturan main” dunia ini.

Dalam filsafat eksistensialisme, ada pemahaman menarik soal ini. Seorang filsuf bernama Martin Heidegger pernah bilang bahwa manusia itu satu-satunya makhluk yang sadar kalau dia bakal mati. Nah berakar dari kesadaran itu bikin manusia bisa mikir soal makna hidup, dan juga soal absurditas dunia kayak kenapa kebaikan nggak selalu dibalas baik, atau kenapa orang baik justru sering kalah di dunia yang keras. Heidegger percaya bahwa justru dengan menyadari kenyataan pahit ini, manusia bisa mulai hidup dengan lebih jujur. Bukan karena dunia tiba-tiba jadi lebih ramah, tapi karena kita berhenti berharap semuanya harus selalu masuk akal.

Namun beda lagi dengan Jean-Paul Sartre, yang juga tokoh eksistensialisme. Dia percaya bahwa manusia itu bebas. Bebas banget malah. Tapi kebebasan itu datang dengan satu tanggung jawab besar yaitu setiap orang harus menentukan sendiri artinya hidup, bahkan di dunia yang kacau. Jadi waktu dunia terasa nggak adil, ya itu bukan hal baru. Dunia emang nggak punya peta moral yang pasti. Tapi justru karena itu, setiap manusia harus berani bikin petanya sendiri. Bahkan ketika hidup rasanya timpang, keputusan buat terus melangkah atau berhenti tetap ada di tangan masing-masing.

Kutipan yang paling ngena mungkin datang dari Albert Camus, filsuf lain yang ngulik hidup dari sisi yang absurd. Dia cerita soal tokoh mitologi Yunani bernama Sisyphus, yang dihukum dewa buat dorong batu ke atas bukit, tapi tiap kali udah sampai puncak, batunya selalu jatuh lagi ke bawah. Gitu terus, selamanya. Tapi Camus nggak lihat itu sebagai tragedi. Justru dia bilang bahwa kita harus membayangkan Sisyphus bahagia. Karena di tengah semua absurditas itu, dia tetap memilih untuk dorong batu itu lagi, dan lagi, dan lagi.

Hidup nggak selalu soal hasil. Nggak selalu soal menang. Kadang, makna justru muncul dari pilihan buat tetap jalan, bahkan waktu semuanya terasa nggak masuk akal. Dan mungkin, di situlah letak kekuatan manusia bukan karena hidupnya selalu adil, tapi karena tetap bisa berdiri di tengah ketidakadilan itu tanpa kehilangan dirinya sendiri.

Jadi ya… hidup emang nggak adil. Tapi mungkin memang itu bagian dari paket yang namanya hidup. Kita nggak harus setuju sama dunia, tapi bisa belajar buat tetap waras dan jalan terus, meski dunia nggak selalu ramah.

Dan di antara semua hal itu, mungkin yang paling sulit tapi juga paling menenangkan adalah belajar untuk bersyukur. Bukan dalam arti pasrah atau memaksa diri untuk bahagia, tapi lebih kepada menyadari bahwa di balik semua kekurangan dan luka, masih ada hal-hal kecil yang layak untuk dihargai.

Rasa syukur itu nggak selalu datang dalam bentuk besar seperti keberhasilan atau kemenangan. Kadang, dia tersembunyi dalam momen sederhana dalam napas yang masih bisa kita hirup, dalam teman yang mau mendengarkan tanpa menghakimi, atau dalam pagi yang tenang setelah malam yang berat. Hal-hal yang kelihatannya sepele, tapi justru sering kali jadi penopang saat semuanya terasa goyah.

Syukur bukan soal membandingkan hidup kita dengan hidup orang lain, tapi soal mengakui bahwa meski tidak sempurna, hidup kita tetap punya nilai. Ia membantu kita melihat bahwa bahkan di tengah ketimpangan dan ketidakadilan, masih ada ruang untuk merasa cukup dan dari perasaan cukup itu, lahirlah kekuatan untuk terus melangkah.

Jadi ya, hidup memang nggak adil. Tapi bukan berarti semua gelap. Ada cahaya, meski kecil. Ada makna, meski tidak langsung tampak. Dan ada alasan untuk bersyukur, meski kadang harus dicari dengan susah payah. Karena pada akhirnya, bukan keadaan yang menentukan hidup kita sepenuhnya, tapi bagaimana kita memilih untuk menjalaninya.

Penulis: Listanto Bima - Mitha Indah Sari

Minggu, 11 Mei 2025

Mahasiswa atau Budak Gadget? Realita Pahitnya Generasi Digital

 



Di era sekarang, emang siapa sih orang yang bisa lepas dari gadget? Kayaknya hal yang mustahil bisa lepas dari gadget, terutama para mahasiswa yang notabene adalah kelompok yang paling akrab sama yang namanya teknologi. Mereka juga kelompok yang paling terdampak dari kehadiran gadget yang sekarang sangat canggih. Padahal awalnya gadget itu cuman sekadar alat untuk membantu kita ngerjain tugas ataupun join kelas online via Zoom. Tapi makin hari gadget justru jadi seperti hal yang mengontrol kita dan kehadirannya sulit banget untuk ditolak.

Yang jadi masalah, penggunaan gadget yang berlebihan banyak menyimpan sisi gelap yang berbahaya. Salah satu yang paling umum itu soal tidur. Penelitian dari Khairunnisa (2023) menyebutkan kalau penggunaan gadget sebelum tidur bisa bikin kualitas tidur kita jadi rusak. Pada intinya gadget ini bisa menganggu pola tidur kita jika kita gunakan secara berlebihan ketika waktu menjelang tidur.

Bukan hanya soal tidur, bahkan konsentrasi dan motivasi untuk belajar juga bisa ikut kena imbasnya lho. Berdasarkan penelitian dari Adelia (2023) nunjukin kalau sekitar 67% turunnya konsentrasi belajar siswa ya disebabkan oleh penggunaan gadget yang berlebihan ini. Coba deh bayangin, kita niatnya sebelum belajar mau buka Youtube buat nyari materi, eh ujung – ujungnya malah nyasar buat nonton video sapi main piano dan berakhir dengan tugas yang gak selesai.

Dan dampak paling buruk dari kecanduan gadget ini bikin interaksi sosial secara perlahan memudar dan menjadi hambar. Hyangsewu (2023) nemuin kalau hampir setengah mahasiswa lebih memilih ngumpul sambil mainin gadget-nya ketimbang ngobrol langsung sama temennya. Atau mungkin kita lagi nongkrong tapi tongkrongan rasanya sunyi banget karena semua pada sibuk dengan gadget masing – masing. Ironis banget gak sih? Padahal sekarang dunia itu serba terkoneksi, eh malah kita yang menjauh dari koneksi sesungguhnya yaitu koneksi antar sesama manusia.

Yang bikin ngeri, banyak dari kita yang udah kecanduan gadget tapi nggak sadar. Bangun tidur, langsung cek HP. Makan sambil scroll medsos.  Sebelum tidur, masih aja mantengin layar.  Beneran udah kebiasaan banget, ya?  Eh, tapi tunggu dulu,  kita jadi kehilangan waktu, susah fokus, dan mental juga ikutan drop, lho!

Lucunya, pas ada orang yang coba jauhin HP atau detoks digital, malah dianggap aneh. Budaya digital udah bikin standar baru: harus update, harus online terus, harus kelihatan eksis. Tapi di balik itu, banyak yang capek, ngerasa kosong, dan nggak tahu lagi mana yang nyata dan mana yang cuma pencitraan.

Gara-gara gadget juga, kita jadi lupa nikmatin hal-hal kecil di dunia nyata. Nongkrong sambil ngobrol dari hati ke hati udah jarang. Jalan-jalan bukan buat refreshing, tapi buat konten. Bahkan ngobrol langsung kalah seru sama chatting.

Pelan-pelan, kita mulai kehilangan rasa buat hadir secara utuh di kehidupan sehari-hari. Nggak heran kalau makin banyak yang ngerasa kesepian, padahal punya ratusan teman di media sosial. Kita ada, tapi nggak benar-benar hadir.

Gadget itu emang penting dan nggak bisa dipisahin dari hidup kita sekarang, apalagi buat mahasiswa. Tapi ya jangan sampai kita dikontrol balik sama benda kecil itu. Mulai deh coba atur waktumu. Contohnya, batasi penggunaan media sosial, matikan notifikasi yang tidak penting, atau coba deh  seminggu sekali  lewatkan sehari tanpa gadget.

Kalau lagi nongkrong, simpen dulu HP-nya. Nikmatin obrolan sama temen. Kalau lagi belajar, pake mode fokus atau aplikasi yang bisa blokir gangguan. Dan yang paling penting, sadarin bahwa hidup itu nggak cuma ada di balik layar. Masih banyak hal seru dan berharga di dunia nyata yang bisa bikin hidup lebih bermakna.

Jadi mahasiswa itu bukan cuma soal IPK, tapi juga soal gimana kita bisa ngatur hidup di tengah godaan digital yang nggak ada habisnya. Jangan sampai kita jadi generasi yang pinter secara teknologi, tapi tumpul secara sosial dan emosional.

Biar nggak makin tenggelam jadi budak gadget, ada beberapa hal simpel yang bisa dicoba. Nggak perlu langsung drastis, mulai dari hal-hal kecil aja dulu:


1
. Atur waktu main HP

Pasang alarm atau pengingat. Misalnya, maksimal 1 jam buat scroll medsos. Bisa juga aktifin fitur screen time.

2. Pisahin waktu belajar dan hiburan

Lagi belajar? Taruh HP agak jauh. Biar fokus. Setelah selesai, baru kasih reward buka TikTok sebentar.

3. Cari aktivitas offline

Baca buku, olahraga, ngobrol, atau ikut komunitas. Banyak banget keseruan yang bisa dirasain tanpa layar.

4.  4. Gunakan gadget untuk hal positif

Nonton video yang edukatif, cari referensi tugas, atau denger podcast yang bikin tambah ilmu.

5. Coba detoks digital

Sehari tanpa medsos atau beberapa jam tanpa HP. Biar pikiran istirahat dan kita bisa kembali fokus ke hal nyata.

Author: Listanto Bima – Ifa Audina Nabila

Midnight Crying Club: Cara Gen Z Ngobrol Sama Diri Sendiri

 


Udah jam 2 pagi. Kamar gelap, HP masih di tangan, earphone nempel, playlist mellow jalan terus. Eh, tau-tau air mata netes tanpa breafing dulu, nggak tau juga kenapaa. Kalau kamu relate atau pernah kayak gini, tenang kamu gak sendirian. Selamat datang di midnight crying club. Kadang kita juga gak tau sebenarnya apa yang buat kita nangis.

Buat sebagian orang apalagi Gen Z, malam hari bukan cuman sekadar waktu tidur doang. Justru disaat orang-orang pada terlelap tidur, pikiran mereka malah melek. Tiba-tiba inget kesalahan kecil tiga tahun lalu, galau soal masa depan, atau sekadar ngerasa “Kok hidup gue gini-gini aja yak”.

Fenomena ini bukan cuman sekadar drama. Bahkan menurut WHO tahun 2017 sekitar 3,6% orang di dunia mengalami kecemasan. Ada juga informasi dari Riskesdas tahun 2018, prevalensi cemas di Indonesia diperkirakan mencapai 20% dari total penduduk 47,7% individu yang ngerasa cepek. Otak kita yang seharian sibuk mikirin tugas, kerjaan, dan kesibukan lainnya, akhirnya punya waktu tenang pas malam hari. Alih- alih istirahat, eh gak taunya malah jadi ajang mikir hal-hal random yang bikin hati gak tenang.

Sebenarnya, nangis malam-malam bukan berarti kamu tuh lemah. Justru, itu bisa jadi cara tubuh dan pikiran kita saling ngobrol, nyari cara buat ngelepasin emosi yang udah dipendam lama. Dan fun fact Gen Z yang lebih terbuka soal kesehatan mental sering banget malah jujur sama perasaan mereka, termasuk lewat air mata di malam hari. Tenang, itu normal kok. Kadang, nangis itu cara paling jujur buat bilang, “Gue gak baik-baik aja, tapi gue juga lagi berusaha”.

Self-talk, alias ngobrol sama diri sendiri, sering banget muncul pas kita lagi hgerasa down. “Kenapa sih gue gini”, “Apa yang salah sama gue?”, “Gue capek”. Meskipun tedengar sepele, itu sebenarnya langkah awal dari self-awarness. Gen Z juga butuh banget yang namanya ruang buat refleksi diri. Malam hari, tanpa distraksi, jadi tempat paling aman banget untuk momen itu terjadi. Meskipun kadang emang bisa berujung banjir air mata.

Nah buat kamu yang tangis malem udah jadi kayak rutinitas yang bikin lelah, cobain deh tips biar malam nggak selalu jadi air mata

1. Bikin rutinitas malam

Overthiking saat malam hari sering muncul karena kamu belum siap untuk istirahat. Biar tidur lebih tenang coba deh kamu lakuin rutinitas sebelum tidur misalnya baca buku. Terkadang pas kita baca buku, pikiran kita diarahkan pada cerita yang ada dalam buku yang ngebuat kita tidak terlalu fokus pada masalah-masalah yang mengudara di pikiran kita.

2. Nulis jurnal

Nulis jurnal bisa jadi cara yang efektif juga buat kita ngeredain overthinking di malam hari. Pas kita nulis tuh kita bisa ngalihin pikiran kita dari masalah yang berputar-putar dan mindahinnya ke dalam bentuk yang lebih terstruktur. Selain itu dengan kita nulis kita juga ngasih kesempatan pada diri kita buat nemuin solusi atau memahami lebih dalam tentang apa yang terjadi dalam pikiran kita

3. Batasi screen time sebelum tidur

Siapa nih yang sebelum tidur pasti lagi nge-scrolling TikTok? Alasannya sih katanya buat nyari-nyari ngantuk tapi sebenarnya dengan scrolling TikTok malah buat konten-konten bisa nge-trigger overthinking. Apalagi kontennya berisi video yang mengandung bawang. Terus gak sadar juga kalo kita udah ngabisin waktu berjam-jam cuman buat scrolling.

Kalau kamu ngerasa malam-malam adalah waktu yang paling berat, ingat “kamu gak sendirian”. Banyak orang ngerasain hal yang sama, dan pasti ada jalan buat pelan-pelan membaik. Tangis bisa jadi awal dari proses penyembuhan, selama kamu juga kasih ruang buat bahagia masuk ke hidup kamu. Semangat buat kalian yang ada pada fase midnight crying club. Jangan jadikan nangis tiap malem menjadi sebuah rutinitas, kasian batinmu!.

Author: Abdulrahim Danial

Jumat, 02 Mei 2025

KEREN, TAPI NGERI! YUK MENGENAL DEEPFAKE




Pernah nggak sih kamu lihat kasus penipuan yang pakai wajah seorang artis terkenal? Atau mungkin kamu pernah lihat wajah seorang pemimpin negara muncul dalam sebuah konteks yang tidak biasa? Nah, fenomena ini dikenal sebagai deepfake, sebernya apasih deepfake itu?

Deepfake adalah teknologi manipulasi gambar, video bahkan suara yang basisnya adalah kecerdasan buatan yang bisa bikin konten palsu jadi kayak nyata banget. Di dunia hiburan sendiri, deepfake bIasa dipakai buat “ngebangkitin” aktor yang udah meninggal biar kesan nostalgis dalam film tersebut bisa dirasain sama penonton, gak jarang juga deepfake dipakai buat bikin efek visual dengan budget yang minim tapi tetap kerasa realistis. Namun di balik kerennya deepfake ini ternyata ada potensi bahaya yant besar kalau sampai deepfake dipakai buat hal – hal negatif

Sudah ada beberapa penelitian yang nunjukin ngerinya deepfake. Menurut Dwi Putra, Sania Dan mitrin (2024) dalam jurnal Sagara Komunika, deepfake itu bisa merusak kredibilitas media tradisional. Loh kok bisa? Karena dengan adanya deepfake orang bakalan makin sulit bedain mana berita beneran dan mana yang hoaks. Nah Fadhilah dan kawan – kawan (2024) dalam jurnal Kawistara UGM juga ngungkapin hal yang sama, menurut mereka penyalahgunaan deepfake bisa nimbulin fenomena yang namanya infopocalypse, yaitu sebuah kondisi ketika masyarakat udah gak percaya atau kehilangan kepercayaan sama semua jenis informasi.

Kalau menurut Noerman dan Ibrahim (2024) dalam jurnal mereka yaitu USM Law Review, mereka bilang kalau Indonesia pada saat ini belum punya aturan khusus terkait fenomena deepfake yang meresahksn ini. Namun, kasusnya masih ditangani pakai UU ITE dan UU pornografi. Teknologi deepfake emang keren banget namun bahaya yang ditimbulin juga gak main – main.

Ibarat pisau bermata dua, di satu sisi bisa jadi alat untuk menuangkan kreativitas, namun di sisi lainnya bisa menjadi sesuatu untuk memfitnah orang yang gak bersalah & nimbulin hoaks yang meresahkan.

Biar gak gampang ketipu sama konten deepfake, ada beberapa hal yang bisa kamu perhatikan:

Perhatikan Gerakan Wajah dan Mata

Deepfake kadang masih punya kelemahan pada gerakan wajah, terutama bagian mata. Kalau kamu lihat mata yang jarang berkedip, atau ekspresi wajah yang terasa “kaku” dan gak natural, bisa jadi itu deepfake.

Cek Sinkronisasi Suara dan Bibir

Kalau suara terdengar aneh, kayak datar atau gak sinkron sama gerakan mulutnya, itu juga bisa tanda kalau videonya hasil deepfake.

Amati Pencahayaan dan Bayangan

Deepfake kadang suka mis di bagian pencahayaan. Misal, cahaya di wajah beda sama latar belakangnya, atau bayangannya aneh.

Gunakan Tools Pendukung

Sekarang udah banyak aplikasi atau website yang bisa bantu deteksi deepfake, misalnya Deepware Scanner, Sensity AI, atau Microsoft Video Authenticator.

Crosscheck ke Sumber Asli

Sebelum percaya sama video atau gambar yang aneh, sebaiknya  cek dulu beritanya di media terpercaya.

“JoMO: Bahagia Itu Gak Perlu Cari Validasi Sana-Sini!”



Kamu nggak update insta story hari ini?

Nggak ikut tren velocity?

Nggak ikut nongkrong di café?

Tenang, kamu nggak salah kok. Kamu nggak kudet. Kamu cuman lagi JoMO!

​Iya, JoMO alias Joy of Missing Out. Mungkin kalian tahunya cuman FoMO, kan? Nah sebenarnya ada juga istilah buat kalian yang ngerasa happy karena gak ikut-ikutan sama yang lain, apalagi sama tren TikTok yang velocity-nya nggak habis-habis. JoMo tuh kayak bilang “gue nggak ikutan, dan gue fine-fine aja”.

​Pernah gak sih kamu ngerasa capek banget ngeliat anak muda zaman sekarang yang apa-apa main cekrek. Scroll TikTok dikit, bermunculan video velocity yang semakin banyak versinya—udah kayak HP aja pake Pro Max segala! Bahkan nih, anak muda pada senang banget nongkrong ke café sampe pagi, seolah kayak gak ada beban sama sekali.

​Di tengah dunia yang sibuknya minta ampun ini, JoMO ngajarin kita buat istirahat sebentar. Nggak semua hal harus di-posting sana-sini. Nggak semua tren harus diikutin, dan nggak semua tempat viral harus didatengin. Daripada ngabisin duit di café mahal mending buat kopi aja di rumah. Kadang, obrolan ringan sambil sarapan bareng orang tersayang di pagi hari udah cukup bikin hati terasa penuh dan bahagia. Alih-alih ngerasa kudet, orang yang nerapin JoMO malah lebih bahagia. Nggak ada gangguan notifikasi apalagi tekanan sosial. Sebenarnya JoMO bisa ngasih ruang buat refleksi diri kita. Sadar kalau hidup nggak harus butuh validasi.

Mungkin kalian pernah bertanya, ​kenapa sih kita harus JoMO?

1. Biar mental gak capek!

Jujur deh, ngeliat orang-orang pada sibuk mikirin tren, liburan buat bahan insta story, produktif tiap hari capek kan? Padahal kita sama-sama manusia, dan kita gak harus compare terus.

2. Biar hidup bener-bener dinikmati

Sebelum makan gak harus cekrek, pas makan gak harus live IG, pas selesai makan gak harus TikTokan. Kadang, momen yang paling berharga malah yang gak terekam kamera.

3. Biar tahu kalau damai itu penting

JoMO itu kayak rebahan, dengerin lagu favorit, atau ngobrol santai tanpa harus mikirin impresi.

Udah deh dari pada haus validasi mending matiin notifikasi, unfollow akun yang bikin overthinking, nolak ajakan temen tanpa rasa salah (self care!) dan mending ngobrol sama diri sendiri bukan sama algoritma!

Intinya, kamu nggak harus ada di mana-mana buat valid, dan nggak harus viral buat bahagia. Yang kamu butuh itu cuman waktu sendiri, bernapas lega sama nonton series favorit tanpa gangguan siapa-siapa!

JoMO bukan soal menghindar dari dunia tapi soal pilihan. Bukan berarti kamu milih untuk nggak ikutan kamu kalah, tapi itulah yang namanya dewasa.

Total Tayangan Halaman

Kategori

Recent Posts

Tahukah kamu? Di Gorontalo ada museum keren yang penuh dengan sejarah luar biasa!

  Yup, namanya Museum Purbakala Popa Eyato ! Museum ini bukan sembarang museum, lho. Namanya diambil dari dua tokoh raja berpengaruh yang pe...

Quotes

"Sebelum berpikir untuk mengubah dunia, terlebih dulu ubahlah pikiranmu" Arsa Danialsa_

Quotes

"Tidak ada yang namanya kegagalan, yang ada hanyalah feedback" Arsa Danialsa_

Butuh Bantuan?

Nama

Email *

Pesan *