• Ingin Cerita Anda Menginspirasi Dunia | Coming Soon

    Di Zona Insight, kami percaya bahwa setiap individu dan kelompok memiliki cerita yang layak didengar. Kami hadir untuk membantu Anda mempublikasikan ide, pengalaman, atau prestasi agar menjangkau lebih banyak audiens.

  • Ayo Jadi Penulis di Zona Insight | Klik di sini untuk Daftar

    Manfaatkan kesempatan selama 3 bulan bersama Zona Insight untuk memberi dampak dan inspirasi lewat tulisan. Kamu juga akan dibekali pengetahuan dan keterampilan menulis oleh mentor Zona Insight, serta mendapatkan sertifikat penghargaan sebagai penulis inspiratif.

Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan

Jumat, 25 April 2025

Teknologi Canggih, Skill Harus Level Up: Gen Z Siap?




Zaman sekarang, siapa yang gak tau teknologi Artificial Intelligence (AI)? Semuanya bisa dikerjakan sama teknologi ini, bahkan dalam beberapa tahun terakhir AI udah kayak roket yang meluncur kencang tanpa batas. Mulai dari chatbot yang diajak ngobrol kayak manusia, sampai baru – baru ini lagi rame tuh tren bikin foto ala studio Ghibli, semuanya bikin kita tuh kagum sama teknologi ini. Tapi, kadang karena saking semua hal bisa dilakuin sama AI, kita agak deg-degan juga. Apalagi kita—Gen Z—yang katanya paling Tech-savvy, beneran udah siap belum sih menghadapi dunia yang didominasi sama AI? Atau justru malah panik karena takut digantikan?

AI sekarang bukan cuman sekadar nanya jawaban ujian doang. Bahkan di dunia pekerjaan, AI udah mulai masuk ke berbagai bidang mulai dari edukasi, kesehatan, keuangan, desain sampai industri kreatif. Banyak pekerjaan yang dulunya memakan waktu dan tenaga manusia, sekarang bisa dikerjakan bak pesulap sirkus dalam hitungan detik. Contohnya desainer grafis bisa aja saingan sama AI yang bikin ilustrasi hanya dalam waktu 10 detik. Penulis artikel harus bersaing sama program yang bisa buat artikel otomatis. Bahkan dosen pun harus bersaing sama teknologi yang semuanya bisa dijawab hanya hitungan detik.

Artificial Intelligence (AI) menjadi salah satu teknologi yang lagi naik daun di dunia. Bahkan dilansir dari sumber databoks, Indonesia menduduki peringkat ke 3 dari 10 Negara penyumbang kunjungan terbanyak ke aplikasi Artificial Intelligence (AI). Di tahun 2024 aja, pengguna AI di Indonesia mencapai 1,3 juta pengguna! Nggak heran kalau zaman sekarang orang-orang pada nggak bisa lepas dari yang namanya AI.

Kita sebagai Gen Z wajar gak sih panik? Takutnya kedepannya pekerjaan kita malah akan digantikan sama AI ini. Wajar kok kalau ada rasa khawatir kayak gitu. Tapi, alih-alih panik mending kita ubah minset jadi “Gimana cara kedepannya kita bisa kerja bareng AI”. Sebenarnya Gen Z tuh punya keuntungan salah satunya Digital Native yang harusnya sih adaptasi sama teknologi itu bukan hal yang baru. Yang paling penting sekarang yaitu:

Belajar, dunia itu perubahannya cepet banget. Bisa jadi skill sekarang yang kita punya besoknya malah jadi basi. Makanya penting buat kita apalagi Gen Z buat terus belajar dan upskilling.

Nilai emosional, hal ini masih menjadi “senjata rahasia” kita sebagai manusia. Emang sih AI bisa ngasih data dan output, tapi emang nilai emosional dan empati AI bisa? Itu masih jadi domain kita sampai sekarang.

Eksplorasi, nih buat para Gen Z jangan takut buat nyoba yang namanya teknologi baru. Minimal ngulik di YouTube lah biar kita juga gak Gaptek!

Jadi, buat Gen Z yang kerjanya cuman scroll-scroll HP doang, mageran sama multitasking. Udah saatnya melek, sama tunjukin kalau kita juga bisa. Nggak dicap generasi rebahan doang. Kita semua juga bisa sukses di era AI. Kita juga harus melek teknologi, terus belajar sama kreatif.

Kalau AI makin canggih, bukan berarti kita kalah dan malah makin panik. Tapi harusnya kita makin semangat buat beradaptasi dan terus eksplore hingga menciptakan peluang baru. Masa depan gak sepenuhnya ditentukan sama teknologi doang, tapi gimana kita siap buat ngadepinnya!

Burnout di kalangan pelajar: Beneran lelah atau hanya rasa malas?




Pernah nggak sih, kamu ngerasa capek banget waktu ngerjain tugas sekolah atau kuliah, padahal mulai aja belum. Atau tiba – tiba ngerasa males banget untuk ngerjain PR yang dikasih guru, padahal kamu biasanya semangat buat ngerjainnya? Hati – hati loh hal tersebut bisa jadi bukan rasa malas biasa, tapi kamu lagi ngalamin yang namanya burnout?

Menurut psikolog asal Amerika Serikat Christina Maslach, burnout sendiri adalah sindrom kelelahan emosional dan sinisme yang dialami oleh seseorang akibat stress kerja kronis. Walau umumnya burnout ini dialami oleh pekerja kantoran namun pelajar juga bisa terkena burnout loh. Burnout pada pelajar bisa terjadi karena tugas, ujian, ekskul bahkan ekspektasi yang diciptakan diri sendiri maupun lingkungan sekitar.

Banyak orang yang salah kaprah, mereka mikirnya pelajar kalo ngeluh capek itu ya karena mereka malas aja ngerjain tugas. Padahal menurut penelitian dari Mediva Syafira, Siti Khotimah, dan Eka Yuni Nugrahayu tahun 2023, dalam jurnal mereka disebutkan sekitar 35% mahasiswa ngalamin gejala burnout, hal ini udah termasuk kelelahan emosional, depersonalisasi atau mereka ngerasa asing sama diri sendiri, bahkan sampai ke menurunnya prestasi akademik. Angka ini bukan angka yang kecil loh.

Penelitian dari Eirene Priscilla C. Simatupang dan Yoanita Widjaja dalam jurnalnya tahun 2021 juga ngejelasin bahwa tekanan akademik yang tinggi serta manajemen waktu yang buruk jadi pemicu utama burnout pada pelajar SMA dan mahasiswa, ngelihat hal ini tentu aja semua yang terjadi bukan semata – mata karena malas, tetapi emang kondisi mental yang serius.

Rasa malas biasanya bersifat sementara, kadang muncul, kadang hilang, dan bisa diatasi dengan motivasi atau istirahat sejenak. Tapi burnout beda. Burnout membuat seseorang benar-benar kehilangan energi, motivasi, bahkan kepercayaan diri. Kamu bisa merasa lelah setiap hari meskipun sudah tidur cukup, sulit fokus meski suasana tenang, atau merasa kosong dan nggak tahu harus mulai dari mana.

Lalu, kalau kamu mulai ngerasa tanda-tanda itu, apa yang bisa dilakukan?

Nih, Tips Mengatasi Burnout pada Pelajar!

Kenali dan akui kondisimu

Langkah pertama adalah sadarilah kemungkinan kamu mengalami burnout. Jangan langsung menilai diri sendiri sebagai pemalas. Akui dan terima perasaan lelah kamu, itu hal yang wajar.

Atur ulang waktu dan prioritas

Coba evaluasi jadwal kamu. Apakah terlalu padat? Apakah semua kegiatan benar-benar perlu? Kadang kita terlalu memaksakan diri ikut banyak hal karena takut ketinggalan atau ingin terlihat produktif. Padahal tubuh dan pikiran punya batasnya.

Ambil jeda yang berkualitas

Istirahat bukan berarti rebahan seharian sambil scroll medsos (yang justru bisa bikin makin overthinking). Coba ambil waktu untuk benar-benar recharge, misalnya jalan santai sore, baca buku ringan, dengerin musik, atau ngobrol santai bareng teman.

Berani bilang “Cukup”

Nggak semua hal harus kamu lakukan sekarang juga. Tugas penting memang, tapi kesehatan mental juga nggak kalah penting. Kalau sudah terlalu berat, nggak apa-apa kok minta bantuan atau diskusi sama guru/dosen untuk cari solusi.

Jaga keseimbangan hidup

Sisihkan waktu untuk hal-hal yang kamu suka, selain belajar.  Main musik, gambar, nonton film, olahraga, apa aja yang bikin kamu merasa lebih hidup, nggak cuma jadi robot tugas.

Cari dukungan

Kalau kamu merasa burnout-nya makin parah dan mengganggu aktivitas sehari-hari, jangan ragu cari bantuan profesional. Konselor sekolah, psikolog, atau layanan kesehatan mental bisa jadi tempat curhat yang aman dan membantu kamu pulih. 

Jumat, 11 April 2025

Punya Hobi Main Sosmed? Kenapa Nggak Sekalian Jadi Cuan?

 


Kamu suka scroll-scroll TikTok, bikin konten IG, atau pantengin FYP sampe tengah malam? Selamat, kamu nggak sendirian! Sekarang tuh hampir semua orang hidupnya nempel banget sama internet. Bahkan, data dari Kominfo bilang kalau ada 129 juta orang Indonesia yang aktif di medsos, dan rata-rata habisin waktu 3,5 jam sehari cuma buat online.

Tapi, daripada cuma scrolling doang, gimana kalau hobi medsosan kamu itu di-upgrade jadi sumber penghasilan? Yes, sekarang banyak banget anak muda yang udah jadi konten kreator, influencer, atau jualan online hanya modal akun medsos. Dunia digital udah berubah banget—nggak cuma tempat buat curhat atau stalking mantan, tapi juga ladang buat cari cuan.

Nah, buat kamu yang kepo gimana caranya, yuk kenalan dulu sama cara-cara dapet duit dari medsos!

 1. Dapet Bayaran dari Brand

Pernah nggak liat selebgram atau TikTokers yang review produk dan bilang “ini bukan iklan ya, tapi emang suka”? Eits, itu biasanya konten bersponsor. Menurut laporan We Are Social 2023, 70% influencer di Indonesia dapet duit utama dari kerja sama brand. Jadi mereka dibayar buat promosi produk lewat foto, video, atau review.

Seru kan? Kamu bisa tetep jadi diri sendiri, bikin konten yang kamu suka, sambil dapet penghasilan.

 2. Jadi Youtuber atau TikToker Aktif

Kalau kamu suka bikin video, YouTube dan TikTok punya program monetisasi. Jadi, semakin banyak yang nonton video kamu, makin besar juga peluang dapet duit dari iklan.

Misalnya nih, YouTuber dengan 1 juta subscriber bisa dapet sekitar 3.000–5.000 USD per bulan. Tapi ingat ya, ini tergantung dari jumlah views, durasi video, dan asal penonton.

TikTok juga punya program kayak Creator Fund dan Live Gift. Walau penghasilannya nggak sebesar YouTube, tapi lumayan banget kalau digabung sama sponsor dan jualan barang.

3. Jualan Produk atau Jasa Sendiri

Kamu jago desain? Suka nulis? Atau punya ide merchandise lucu? Banyak konten kreator sekarang yang jualan produk sendiri, mulai dari kaos, tote bag, e-book, sampai kursus online. Selain nambah penghasilan, ini juga bantu ngebangun personal branding kamu loh!

Nielsen bilang, 92% orang lebih percaya rekomendasi dari kreator yang mereka ikutin daripada iklan biasa. Jadi kalau kamu punya followers yang loyal, mereka lebih gampang percaya dan beli produkmu.

 4. Ikut Program Afiliasi

Kamu sering liat kalimat “Cek link di bio ya”? Nah itu adalah bagian dari affiliate marketing. Jadi kamu share link produk, dan kalau ada yang beli lewat link itu, kamu dapet komisi!

Contohnya kayak Shopee Affiliate Program atau TikTok Shop Affiliate. Simpel dan nggak perlu repot stok barang. Cocok banget buat yang baru mulai nyari cuan dari medsos.

Intinya Sihhhh…

Medsos bukan cuma tempat buat pamer outfit atau lihat dance challenge. Kalau dimanfaatin dengan kreatif dan konsisten, kamu bisa banget dapetin penghasilan dari sana.

Mulai dari konten bersponsor, jadi kreator YouTube/TikTok, jualan produk, sampai ikut affiliate—all of it bisa kamu coba! Yang penting, temukan gaya kamu sendiri, terus konsisten dan nggak gampang nyerah.

Siapa tahu, hobimu main medsos bisa jadi jalan kamu jadi boss muda.

Penulis, Hajirah Ali

Nggak Mau Ketinggalan Tren? Hati-Hati Sama FoMO!





Zaman sekarang, siapa sih yang nggak main media sosial? Mulai dari upload daily life, ikut challenge, sampe share info menarik—semuanya bisa banget dilakuin di medsos. Apalagi banyak banget tren dari para konten kreator yang viral dan langsung bikin kita pengen ikutan. Tapi, kadang karena saking banyaknya info dan tren baru, kita jadi takut ketinggalan. Takut gak update itu yang biasa disebut FoMO alias Fear of Missing Out.

FoMO ini muncul waktu kita ngerasa semua orang ngalamin hal seru, tapi kita nggak. Misalnya, temen-temen pada healing ke Bali, eh kamu masih stuck di kamar. Atau semua orang lagi bahas trend dance TikTok baru, dan kamu belum sempet nonton—langsung deh muncul rasa nggak mau kalah dan buru-buru nyusul.

TikTok sendiri jadi salah satu aplikasi yang super booming, bukan cuma di Indonesia tapi juga dunia. Di 2023 aja, pengguna medsos di Indonesia udah tembus 99,1 juta orang! Nggak heran sih kalau medsos makin nempel di keseharian kita. Tapi, makin sering kita scroll, makin besar juga kemungkinan kita ngalamin kecemasan sosial kayak FoMO tadi.

Jadi, FoMO tuh kayak dorongan buat selalu terhubung sama dunia online—biar nggak merasa ditinggalin. Kita jadi ngerasa wajib banget tahu update terkini, walau itu bikin capek sendiri. Ciri-ciri FoMO tuh contohnya:

  1. Nggak bisa jauh dari HP. Rasanya gatal banget kalau belum buka IG, TikTok, atau WA.
  2. Lebih milih ngobrol di DM daripada ketemu langsung.
  3. Sering ke-distract sama postingan orang atau FYP yang seolah lebih seru dari hidup kita.

Menurut penelitian, remaja itu emang paling rentan kena FoMO. Mereka takut banget kehilangan momen bareng temen, apalagi kalau itu viral. Kadang, kita jadi maksa ikut lifestyle yang sebenernya bukan diri kita, cuma biar “nempel” sama circle atau biar diakui di medsos.

Ada juga yang mikir, posting di media sosial itu wajib. Kalau nggak upload, takut nggak dianggap eksis. Akhirnya, banyak yang jadi overposting, atau ikut tren cuma demi validasi. Padahal, hidup kita nggak harus selalu keliatan keren di internet, ya gak?

Parahnya, FoMO ini bisa ngaruh ke kesehatan mental. Karena terus-terusan bandingin diri sama orang lain di medsos, kita jadi lebih gampang stres, insecure, dan ngerasa hidup kita kurang banget. Lama-lama, itu bisa bikin kualitas hidup turun. Dikit-dikit cemas, dikit-dikit ngerasa gak cukup.

Makanya, penting banget buat kita—anak muda apalagi Gen Z—buat paham dampak dari FoMO. Jangan sampai kita terjebak dalam siklus ngejar validasi terus-terusan. Media sosial itu seru, tapi jangan sampai kita dikontrol olehnya. Gunain aja seperlunya, buat hal yang bikin kita bahagia dan berkembang.

Senin, 24 Maret 2025

Perundungan di Media Sosial: Apa sih Dampaknya?


 

Di zaman sekarang, teknologi berkembang super cepat, terutama media sosial. Semua orang dari berbagai kalangan, termasuk anak muda, pasti sudah nggak asing lagi sama platform kayak Instagram, TikTok, atau Twitter. Media sosial memang banyak manfaatnya, tapi sayangnya, bisa jadi tempat subur buat masalah sosial yang serius, salah satunya perundungan (bullying). Artikel ini bakal bahas tentang perundungan di media sosial, apa aja penyebabnya, dan gimana cara nyelesainnya. Semoga bisa nambahin kesadaran kita untuk bikin dunia digital yang lebih aman dan nyaman, khususnya buat anak muda.

Salah satu contoh kasunya adalah tragedi influencer Malaysia yang bunuh diri karena nggak tahan di-bully di media sosial. Perundungan di media sosial emang masalah besar, karena sifatnya yang mudah diakses dan jangkauan globalnya yang super luas. Ada beberapa faktor yang bikin perundungan makin parah, salah satunya adalah anonimitas. Pelaku bisa nyembunyiin identitasnya dan merasa lebih berani nge-bully tanpa takut ketahuan atau dihukum. Selain itu, media sosial juga kurang pengawasan, jadi banyak pelaku yang bisa nyebarin konten merugikan tanpa takut ditindak.

Salah satu kasus yang bikin heboh adalah kejadian di Malaysia, dimana seorang influencer bernama Rajeswary Appahu bunuh diri setelah di-bully di media sosial. Berdasarkan laporan dari Liputan 6, setelah dilakukan penyelidikan, ternyata ada dua orang yang jadi pelaku perundungan ini. Salah satunya adalah pemilik panti jompo, Shalini Periasamy, yang didenda RM100 (sekitar Rp. 356.700) karena komentar nggak pantas di TikTok. Yang satunya lagi, seorang sopir truk, Sathiskumar, dijatuhi hukuman penjara selama 1 tahun karena menyerang Rajeswary secara verbal lewat akun TikTok-nya.

Sayangnya, meskipun udah ada proses hukum, dampak perundungannya sangat besar. Rajeswary ditemukan meninggal di rumahnya pada 5 Juli 2024 setelah lebih dari sebulan di-bully tanpa henti. Insiden ini bikin publik Malaysia marah dan membuka mata banyak orang tentang bahaya perundungan di dunia maya, apalagi untuk perempuan.

Perundungan di media sosial bukan cuma masalah sepele. Ada banyak faktor yang bikin hal ini berkembang, seperti anonimitas pelaku, kurangnya pengawasan, budaya cyberbullying, dan tekanan sosial. Semua ini bisa ngasih dampak yang sangat buruk bagi korban, bahkan bisa berujung pada bunuh diri.

Untuk ngurangin perundungan di media sosial, kita perlu pendekatan yang lebih holistik, bukan cuma hukuman buat pelaku, tapi juga dengan menciptakan lingkungan digital yang positif dan mendukung. Salah satu caranya adalah dengan edukasi sejak dini. Kita harus ngajarin tentang etika digital, tanggung jawab online, dan pentingnya empati. Pendidikan ini gak cuma buat anak-anak dan remaja, tapi juga buat orang tua dan pendidik supaya mereka bisa lebih ngerti dunia digital, ngawasin aktivitas online, dan ngasih dukungan yang tepat. Sekolah juga perlu masukin pendidikan tentang literasi media ke dalam kurikulumnya.

Selain itu, platform media sosial juga punya peran penting. Mereka harus memperbaiki fitur pelaporan, respons cepat terhadap laporan perundungan, dan bikin algoritma yang bisa deteksi konten bullying. Platform juga harus punya kebijakan tegas soal perundungan dan transparan dalam proses penanganannya, biar pengguna bisa percaya dan merasa aman. Kerja sama antara platform dan organisasi anti-perundungan juga penting buat bikin solusi yang lebih efektif.

Jadi, ayo kita bareng-bareng buat menciptakan lingkungan digital yang lebih sehat, bebas dari perundungan!

Fenomena Affiliate Marketing

 


Sekarang ini, media sosial udah jadi bagian gak terpisahkan dari kehidupan anak muda, ya kan? Gak cuma buat ngobrol sama temen, tapi juga jadi tempat buat cari uang. Salah satunya lewat affiliate marketing. Jadi, affiliate marketing itu model bisnis di mana orang bisa dapetin komisi dengan promosiin produk atau layanan orang lain. Ini nih yang jadi tren di kalangan anak muda, yang pengen cari penghasilan tambahan lewat media sosial. Nah, artikel ini, kita bakal bahas gimana affiliate marketing berkembang di kalangan anak muda, dan apa aja strategi yang dipake buat manfaatin kesempatan ini.

Anak muda sekarang makin terbuka sama peluang buat cari duit lewat internet. Salah satu cara yang paling hits adalah affiliate marketing, di mana mereka bisa promosiin produk tanpa harus punya atau ngelola stok barang. Instagram, YouTube, dan TikTok jadi platform yang banyak dipake buat ini. Kenapa? Karena media sosial ngasih kesempatan buat menjangkau banyak orang, bahkan dari luar negeri sekalipun! Jadi, anak muda di Indonesia bisa promosiin produk dari brand di Eropa atau Amerika, dan tetep dapet komisi.

Selain itu, banyak juga yang terinspirasi sama influencer atau content creator yang udah sukses di affiliate marketing. Mereka sering banget cerita tentang gimana caranya dapet duit dari promosi produk, yang bikin anak muda lain pengen ikutan. Platform besar seperti Amazon dan Shopee juga bikin program afiliasi yang gampang diikuti, jadi makin banyak deh anak muda yang tertarik.

Anak muda kan kreatif banget ya, jadi mereka sering bikin konten yang menarik dan bisa viral. TikTok contohnya, jadi tempat yang super efektif buat bikin video yang nunjukin gimana cara pake produk sambil nyelipin link afiliasi. Gaya bahasa yang ringan dan tren terkini juga bikin audiens merasa dekat dan relate banget sama konten yang dibikin. Misalnya, ada remaja yang bikin video seru tentang cara pake sepatu terbaru, ini jadi menarik banget buat orang yang nonton, apalagi kalo kontennya lucu dan informatif.

Anak muda juga suka banget ngasih review jujur tentang produk yang mereka coba. Ini ngebantu banget buat bangun kepercayaan sama audiens. Di Instagram misalnya, banyak yang bikin post atau story sambil nunjukin produk yang mereka pakai, lengkap dengan link afiliasinya. Testimoni dari temen sebaya lebih dipercaya daripada iklan yang langsung dari brand. Jadi, kalo anak muda bisa berbagi pengalaman yang nyata dan authentic, audiens bakal lebih percaya dan mungkin bakal beli produk yang direkomendasiin.

Banyak banget anak muda yang kolaborasi sama influencer buat memperluas jangkauan mereka. Influencer ini kan punya banyak pengikut, jadi kerja bareng mereka dalam program afiliasi bisa ngebantu affiliate marketers buat dapetin penghasilan lebih besar. Misalnya di Instagram atau YouTube, influencer dan affiliate marketers sering kolaborasi lewat giveaway atau challenge yang ngajak audiens buat beli produk lewat link afiliasi. Ini jelas ngebantu banget buat ningkatin penjualan.

Buat ngejamin konten mereka bisa ditemukan banyak orang, affiliate marketers sering pake hashtag yang lagi ngetren dan strategi SEO yang tepat. Hashtag yang tepat bisa ngebantu mereka supaya konten mereka sampai ke audiens yang lebih spesifik. Misalnya, kalo ada yang promosiin skincare, hashtag kayak #skincare atau #beautytips bisa bikin konten mereka lebih mudah ditemukan. Begitu juga di YouTube, optimasi video dengan kata kunci yang tepat bisa bikin video muncul di pencarian, bikin lebih banyak orang yang nonton.

Fenomena affiliate marketing gak cuma jadi cara buat dapetin penghasilan, tapi juga ngubah cara anak muda konsumsi produk. Banyak brand yang sadar kalau pasar anak muda aktif di media sosial, jadi mereka pake strategi affiliate marketing buat nyampein produk mereka. Ini juga buka kesempatan buat anak muda jadi wirausaha digital meskipun gak punya produk sendiri. Misalnya brand fashion atau kosmetik sering kerja bareng affiliate marketers buat promosiin produk mereka. Ini ngebantu banget buat memperluas jangkauan dan ningkatin kredibilitas di mata audiens muda.

Tapi, ada tantangannya juga, loh. Terlalu banyak promosi tanpa pengawasan bisa bikin audiens kehilangan kepercayaan. Konsumerisme berlebihan juga bisa bikin kebiasaan beli tanpa mikir. Makanya, affiliate marketing perlu dikelola dengan hati-hati biar gak cuma jadi ajang promosi yang bikin orang gak percaya lagi.

Salah satu influencer Indonesia yang sukses banget di affiliate marketing adalah Rachel Goddard. Dia aktif banget di YouTube dan Instagram, dan bisa sukses banget dengan gabungin passion-nya di dunia kecantikan, fashion, dan lifestyle dengan peluang bisnis di media sosial. Rachel sering banget nge-review produk-produk yang bisa dibeli lewat e-commerce besar seperti Tokopedia, lengkap dengan link afiliasi. Setiap kali ada pengikut yang beli lewat link itu, Rachel dapet komisi. Keberhasilannya buktiin kalo anak muda di Indonesia bisa banget manfaatin media sosial buat ngembangin pendapatan tanpa harus punya produk sendiri.

Yang bikin Rachel sukses adalah kemampuannya bikin konten yang autentik dan relatable. Dia gak cuma sekedar promosiin produk, tapi juga ngasih review jujur, jadi pengikutnya lebih percaya sama rekomendasinya. Misalnya, di video tutorial makeup, dia gak cuma nunjukin cara pakai produk, tapi juga kasih info soal kelebihan dan kekurangannya, jadi pengikutnya bisa ngerasa lebih yakin buat beli lewat link afiliasi yang dia kasih. Rachel juga pintar milih produk yang sesuai sama minat audiensnya, seperti produk kecantikan dan fashion yang lagi tren.

Jadi, ini buktikan kalo dengan kreativitas, konsistensi, dan konten yang berbasis kepercayaan, affiliate marketing bisa jadi jalan sukses buat anak muda di dunia digital.

Fenomena Flexing: Pameran Mewah di Media Sosial, Realita atau Ilusi?



Di zaman sekarang, media sosial udah jadi tempat utama buat orang-orang nge-share kehidupan mereka. Ada banyak hal positif dari media sosial, tapi nggak sedikit juga yang bikin drama—salah satunya adalah fenomena flexing.

Buat yang belum familiar, flexing itu semacam ajang pamer kekayaan, entah itu barang branded, liburan mewah, atau saldo ATM yang fantastis. Tapi yang jadi pertanyaan, apakah semua yang dipamerin itu benar-benar real, atau cuma buat pencitraan doang?

Tren flexing ini makin rame gara-gara banyak influencer yang hobi banget nunjukin gaya hidup mewah mereka. Bahkan, ada penelitian dari Ety Nurhayat dan Rakhmaditya Dewi Noorriziki yang bilang kalau flexing sering dikaitin sama self-esteem alias kepercayaan diri seseorang. Beberapa influencer bahkan sampai terlibat kontroversi gara-gara ketahuan kalau kekayaan yang mereka pamerin ternyata nggak sesuai realita!

Salah satu contoh tren flexing yang sempat viral adalah review saldo ATM. Banyak orang yang ikut-ikutan nunjukin isi rekening mereka di media sosial. Tapi, tren ini malah memicu perdebatan. Ada yang kagum, ada yang insecure, dan ada juga yang ngerasa flexing kayak gini nggak ada etikanya.

Nggak cuma soal citra diri, flexing juga berdampak ke kesehatan mental. Penelitian lain yang berjudul Flexing di Instagram, Antara Narsisme dan Benefit” bilang kalau kebiasaan pamer ini bisa bikin pelakunya stres karena harus terus mempertahankan image mewahnya. Sementara buat netizen yang liat, bisa jadi malah minder dan ngerasa hidup mereka jauh dari standar kemewahan di media sosial.

Uniknya, tren flexing ini juga dimanfaatin sama banyak brand sebagai strategi pemasaran. Banyak produk yang pakai influencer dengan gaya hidup mewah buat branding mereka, biar kesan eksklusifnya “nular” ke produk tersebut. Bahkan, ada brand yang sengaja bikin konten ala-ala flexing supaya keliatan lebih premium dan menarik konsumen.

Jadi, flexing ini sebenarnya fenomena yang kompleks—bisa jadi representasi kesuksesan, bisa juga sekadar cari validasi. Apapun itu, baik influencer, brand, maupun netizen perlu lebih bijak dalam menyikapi tren ini, biar media sosial nggak cuma jadi ajang pamer, tapi juga tempat yang lebih positif buat semua orang.

Kamis, 06 Maret 2025

INDONESIA GELAP, SEGELAP APA?

 




Indonesia gelap, dua kata yang beredar di sosial media saat ini. Ada yang menganggapnya sebagai lelucon dan angin lalu, sebagian lagi menanggapinya seolah negeri tercinta kita akan segera runtuh esok hari. Namun sebagai generasi muda, kita harus bijak dalam menyikapi hal-hal yang beredar di media sosial.  Lantas apa arti dari “Indonesia gelap” dan bagaimana kita harus menanggapinya?

#Indonesiagelap adalah tagar yang awalnya beredar dari sosial media X. Tagar tersebut digunakan untuk menyuarakan keresahan masyarakat atas permasalahan yang sedang terjadi di Indonesia, terutama yang terjadi pada masa kepemimpinan presiden republik Indonesia ke 8 ini.           

Salah satu masalah yang sering diperbincangkan oleh masyarakat adalah keputusan pemerintah untuk melakukan efisiensi anggaran pada sejumlah lembaga kementrian di Indonesia, seperti Kementrian Pendidikan Dasar dan Menengah (KEMENDIKDASMEN), masyarakat khawatir bahwa pemotongan anggaran ini akan berdampak pada masa depan generasi muda saat ini. Selain itu Lembaga Pemerintah Non Kementrian (LPNK) seperti Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) turut terkena dampak dari efisiensi anggaran ini, mengurangi akurasi dari prediksi yang diberikan menjadi 60%.

Selain itu, masyarakat juga khawatir terhadap hak kebebasan berekspresi yang sekarang semakin sulit untuk digunakan. Berbagai karya yang mengkritik pemerintahan saat ini dibungkam satu per satu, contohnya lagu “Bayar Bayar Bayar” yang dibuat oleh band sukatani ditarik dari peredaran dan band tersebut mengunggah video klarifikasi setelah mengalami tekanan dan intimidasi, bahkan salah satu anggota band tersebut mengalami pemecatan dari tempat kerjanya setelah rilisnya lagu tersebut. Karya lain yang “menghilang” setelah menyinggung pihak pemerintahan adalah salah satu lukisan karya Rokhyat yang berjudul “Tikus dalam Burung Garuda”, lukisan tersebut diturunkan dari pameran seni agar menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, seperti pameran tunggal Yos Suprapto yang dibatalkan karena ada masalah dengan karyanya yang menyinggung tokoh politik.    

Berdasarkan argumen yang saya sebutkan di atas, seluruh permasalahan yang terjadi saat ini diakibatkan oleh keputusan pemerintah yang kurang memuaskan bagi masyarakat, kepemimpinan yang anti kritik, serta korupsi dan nepotisme yang masih terjadi dalam pemerintahan. Kita sebagai generasi muda tidak boleh menutup mata atas kesulitan yang dialami negara kita, kita harus mempertahankan nilai moral dan pancasila, agar tidak habis digerogoti tikus yang bersembunyi di dalam pemerintahan. Tugas kita adalah belajar dengan giat untuk menjaga masa depan negeri ini, karena para pemuda adalah cerminan masa depan bangsa.

Sabtu, 25 Januari 2025

PENDIDIKAN DIKEBIRI: ORANG TUA ADIDAYA, GURU DAN SEKOLAH APA DAYA?

 


Jika boleh saya menyebut bahwa pendidikan adalah proses memperkaya pengetahuan dan pengalaman, mengasah keterampilan dan menanamkan sikap/karakter kepada seseorang. Secara sederhana kita artikan bahwa pendidikan merupakan proses transformasi dari satu generasi kepada generasi lain, Minhaji (2018).

Kita semua tentu tahu, bahwa pendidikan merupakan fondasi utama dalam membangun peradaban. Namun, dalam praktiknya sistem pendidikan kita sering kali menghadapi masalah dan tantangan yang cukup kompleks. Ada begitu banyak isu yang tidak sederhana sering terjadi dan memicu adanya konflik antar berbagai pihak, salah satunya pergeseran peran antar orang tua, guru dan sekolah. Dimana peran guru dan sekolah tidak lagi memiliki marwah sebagai ekosistem utuh yang seharusnya dapat memfasilitasi semua kebutuhan dalam pendidikan. Sedangkan orang tua, secara langsung sering kali mendominasi peran dan tanggungjawab yang seharusnya dikerjakan oleh guru dan sekolah. Hal ini justru menyebabkan terjadinya ketimpangan dalam pelaksanaan pendidikan itu sendiri. Dengan berat hati saya harus mengatakan bahwa pendidikan kita telah dikebiri oleh orang tua yang adidaya, sementara guru dan sekolah apa daya?

Orang Tua, Antara Peran Pendukung dan Adidaya

Sebenarnya, peran orang tua terhadap pendidikan anak sangatlah penting. Mulai dari menyiapkan rencana jangka panjang baik dari keuangan, sampai pada outcome pekerjaan yang diharapkan. Hal ini tentu akan terlihat pada bagaimana keseriusan orang tua mengurusi persiapan pendidikan untuk anak-anak mereka. Memilih sekolah terbaik dan terjangkau versi mereka, sampai pada menyediakan fasilitas sekolah seperti buku dan pakaian—sebatas itu. Mungkin sesekali orang tua boleh mengontrol pertumbuhan anaknya di sekolah. Membangun komunikasi dan kolaborasi dengan pihak sekolah untuk memastikan anaknya mendapatkan pendidikan yang semestinya, sebagaimana yang dijelaskan dalam jurnal Kholil (2021). Mirisnya, alih-alih menjalankan peran sebagaimana mestinya, membangun komunikasi dan kolaborasi positif dengan pihak sekolah, masih ada orang tua yang tampaknya mulai mengambil alih peran guru dan sekolah. Para orang tua ini biasanya sangat mendominasi bahkan mendikte bagaimana metode pengajaran yang dilakukan oleh guru, kebijakan sekolah, bahkan lebih mirisnya lagi, ada-ada saja orang tua yang “merasa adidaya” dengan relasi kuasanya, atau mungkin posisi dan jabatannya, sehingga bersikap super power untuk menekan para guru agar memberikan perlakuan khusus kepada anak-anak mereka. Hal ini adalah kedok yang mereka lakukan dengan alasan “demi kebaikan anak”.

Akibatnya, otonomi guru sebagai pendidik mulai terkikis, lalu sekolah, dengan menyesal harus saya katakan tidak lagi menjadi tempat pendidikan yang layak, melainkan menjadi tempat lahirnya generasi-generasi “adidaya” berikutnya, sehingga proses ini pada akhirnya menjadi pola yang berulang setiap waktu dan setiap generasinya. Para orang tua adidaya ini mulai mengabaikan fungsi komunikasi dan kolaborasi yang seharusnya memberikan dukungan, selagi masih dalam batas wajar dan sesuai aturan yang berlaku, maka percayakan pendidikan anaknya kepada guru dan sekolah tempat mereka menempuh pendidikan. Ketidakseimbangan ini jika dibiarkan terus terjadi, hanya akan memengaruhi kualitas pengajaran di sekolah, termasuk dapat menciptakan atmosfer yang tidak kondusif di lingkungan sekolah itu sendiri.

Guru dan Sekolah, Apa Daya?

Akibat adanya orang tua yang adidaya ini, membuat guru dan sekolah berada dalam posisi yang serba salah. Guru sebagai pendidik mulai kehilangan otoritasnya sebagai tenaga professional yang dipercayakan untuk menjalankan aktivitas pendidikan yang ideal bagi generasi. Mereka diharapkan menjadi tauladan dalam pendidikan, harus kreatif dan inovatif—namun di saat yang sama, mereka dibatasi oleh intervensi orang tua dan administrasi yang masih terbilang kaku.

Bukan hanya guru, bahkan sekolah yang menjadi institusi pendidikan formal juga menghadapi dilema yang terbilang besar. Bagaimana tidak, ketika kebijakan sekolah dianggap bertentangan dengan kehendak orang tua yang selalu berdalih “demi kebaikan anak”, sekolah kerap kali dipaksa untuk mengalah. Apalagi, di tengah keterbukaan informasi saat ini, dan adanya kekuatan media sosial, tak’ jarang sekolah justru menjadi objek kritik publik—dimana hal ini berdampak pada reputasi sekolah itu sendiri. Jika sudah begini, guru dan sekolah apa daya? Selain mendidik dengan apa adanya dan sewajarnya saja. Tidak peduli apa yang terjadi pada peserta didiknya, yang penting sudah melaksanakan kewajiban mengajar, menjalankan perintah kurikulum—maka selesai pula urusan dengan anak-anak dari orang tua yang adidaya ini. Akibatnya, orang tua yang kooperatif juga harus menanggung dan merasakan dampaknya.

Dampaknya!

Mari kita diskusikan, apa yang akan terjadi jika pendidikan “dikebiri” oleh dominasi orang tua semacam ini? Tentu dampaknya tidak hanya dirasakan oleh guru dan sekolah saja, anak-anak akan menjadi bingung akan otoritas yang mereka ikuti. Di satu sisi, mereka diajarkan untuk menghormati guru; di sisi lain, mereka justru menyaksikan bagaimana orang tua mereka merednahkan guru bahkan menyepelekan kebijakan atau regulasi yang berlaku di sekolah.

Jika kita telisik lebih jauh lagi, sistem pendidikan yang telah terdistorsi seperti ini akan melahirkan generasi yang kurang mandiri dan tidak siap menghadapi tantangan di dunia nyata. Hal ini disebabkan adanya ketergantungan pada perlindungan dan intervensi dari orang tua yang sebenarnya dapat menghambat perkembangan karakter anak, dalam hal ini tanggungjawab, kedisiplinan, etika, termasuk kemampuan dalam berpikir kritis.

Komunikasi yang sehat dan Kolaborasi yang Positif Menuju Pendidikan yang Seimbang

Lalu, apakah fenomena ini tak’ dapat diatasi? Solusinya cukup sederhana namun membutuhkan usaha yang serius pula. Perlu adanya sinergi yang lebih baik antara orang tua, guru, dan sekolah. Masing-masing pihak ini harus memahami dan menjalankan perannya dengan baik dan berkomitmen untuk bekerja sama demi kepentingan anak/generasi penerus. Guru perlu didukung dengan pelatihan dan kebijakan yang dapat memperkuat posisi serta potensi mereka di dalam mendidik. Orang tua, memiliki peran sebagai mitra sekolah yang mendukung pertumbuhan anak-anak mereka di sekolah, bukan pemegang kendali tunggal yang memaksakan kehendak pribadinya saja. Sekolah harus lebih terbuka dalam penyelarasan visi dan misi, kebijakan atau regulasi pendidikan dengan semua pihak, termasuk para orang tua.

Kita semua perlu menyadari ini, dimana pendidikan bukanlah arena kekuasaan yang didominasi oleh satu pihak saja. Pendidikan adalah ekosistem yang saling membutuhkan, memberikan keseimbangan dan kolaborasi positif. Jika semua pihak ini dapat menjalankan perannya dengan baik, maka pendidikan yang utuh dan berkualitas dapat tercipta sebagai realitas yang dapat diwujudkan untuk kemajuan generasinya.


Referensi:

  • Kholil, A. (2021). Kolaborasi Peran serta Orang Tua dan Guru dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Secara Daring. Jurnal Pendidikan Guru, 2 (1)
  • Minhaji, A. M. (2018). Otonomi dan Reformasi Pendidikan. Edupedia, 3 (1)




Rabu, 18 Desember 2024

OTONOMI DAERAH DALAM PERSPEKTIF HUKUM KONSTITUSI

 


OLEH: ANDI ASWAR

Mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum 

Fakultas Hukum

Universitas Negeri Gorontalo


Otonomi daerah merupakan elemen krusial dalam sistem pemerintahan Indonesia yang mendukung desentralisasi. Dengan memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, otonomi ini diharapkan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini penting untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik lokal, sehingga pembangunan dapat lebih merata dan relevan dengan kondisi masyarakat setempat.

Namun, pelaksanaan otonomi daerah tidak tanpa tantangan. Ketidakjelasan dalam alokasi kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah sering kali menimbulkan konflik kepentingan, terutama dalam hal anggaran dan tanggung jawab. Keterbatasan sumber daya manusia dan keuangan di tingkat pusat juga menjadi hambatan dalam mendukung pelaksanaan otonomi daerah secara efektif. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah pusat untuk memperjelas pembagian kewenangan dan meningkatkan dukungan terhadap daerah.

Peran konstitusi dalam menjaga keseimbangan antara otonomi pusat dan daerah sangatlah penting. Melalui pengaturan yang jelas mengenai kewenangan, konstitusi memberikan dasar hukum yang kuat untuk pelaksanaan otonomi daerah yang akuntabel. Pengawasan oleh lembaga independen dan masyarakat sipil juga perlu diperkuat untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan kebijakan daerah. Dengan demikian, diharapkan dapat tercipta hubungan yang harmonis antara kepentingan nasional dan kebutuhan lokal.

Untuk mengatasi tantangan yang ada, langkah-langkah strategis perlu diambil. Penguatan regulasi, peningkatan kapasitas daerah, dan pemanfaatan teknologi digital dalam tata kelola pemerintahan dapat menjadi solusi untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi. Selain itu, kolaborasi yang baik antara pemerintah pusat dan daerah sangat penting untuk mencapai tujuan otonomi daerah. Dengan upaya bersama, diharapkan otonomi daerah dapat berfungsi sebagai instrumen yang efektif dalam memperkuat integrasi nasional dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Secara keseluruhan, otonomi daerah memiliki potensi besar untuk mendorong pembangunan yang lebih inklusif dan merata di Indonesia. Namun, tantangan yang ada harus diatasi dengan pendekatan yang komprehensif dan kolaboratif. Dengan dukungan yang tepat dari pemerintah pusat dan partisipasi aktif masyarakat, otonomi daerah dapat menjadi pendorong utama dalam menciptakan pemerintahan yang lebih baik dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat di seluruh Indonesia.

Menjaga Hak Konstitusional Warga Negara Dalam Perlindungan Kebocoran Data Pribadi

 


Penulis: Fitria, dkk

Universitas Negeri Gorontalo


Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang pesat, khususnya dalam bentuk digitalisasi, telah membawa dampak signifikan terhadap kehidupan sosial, ekonomi, dan politik di seluruh dunia. Meskipun teknologi pada era digital ini membawa kemajuan yang signifikan sangat besar di Indonesia.

Namun, pada era saat ini transformasi digital juga dapat menimbulkan ketidaksetaraan dalam akses dan pemanfaatan teknologi yang dapat memperdalam kesenjangan sosial dan ekonomi. Selain itu, juga dapat membuka ruang untuk penyalahgunaan data pribadi dan hak privasi seseorang. Sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Pasal 28 G ayat (1): “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawa kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu”.

Tetapi terdapat tantangan yang dihadapi oleh pemerintah mengenai perlindungan hak privasi pada saat ini, yaitu maraknya pembobolan data pribadi masyarakat. Kebocoran data yang melibatkan jutaan pengguna harus menjadi peringatan serius bahwa negara harus memperkuat regulasi dan mewajibkan untuk menjaga privasi warga negaranya sendiri.

Kemudian, telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 Tentang Pelindungan data pribadi apabila terjadi kebocoran data yang telah merugikan subjek data diri seseorang. Nah, UU ini bertujuan untuk melindungi hak warga negara agar tidak terjadi penyalahgunaan data pribadi seseorang dan menyadarkan masyarakat akan pentingnya menjaga data pribadi kita sendiri. Terdapat juga sanksi pidana bagi pelaku penyebaran data pribadi yang bukan miliknya diatur dalam UU tersebut, yakni salah satunya penjara paling lama 5 tahun dan dikenakan denda paling banyak 5 miliar.

Jadi, penting untuk kita sebagai warga negara yang patuh terhadap aturan negara untuk meminimalisir terjadinya kebocoran data yang terjadi, kita sudah seharusnya menggunakan platfrom digital dengan positif, serta membatasi untuk mengekspos yang bersangkutan dengan data diri, contohnya seperti alamat rumah, nomor telepon, tanggal lahir dan lainnya yang bersangkutan pada privasi yang tidak boleh diketahui orang lain, bahkan orang yang tidak kita kenal.

Menyongsong Pemilu berkeadilan dalam Dinamika Sistem Hukum Konstitusi Indonesia


Penulis: Larasati Pantuko, dkk.
Universitas Negeri Gorontalo 


Perwujudan demokrasi salah satunya diwujudkan melalui terselenggaranya pemilihan umum sebagai sarana legalitas dan legitimasi suksesi pemerintahan, pada Pasal 1 Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945” Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Salah satu instrumen untuk melaksanakan kedaulatan rakyat itu adalah melalui Pemilu yang digelar secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (Luber Jurdil). 

Dalam konstitusi, pemilu dinyatakan sebagai sarana kedaulatan rakyat—sebuah hak konstitusional yang dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945. Sayangnya, dinamika dari masa ke masa, kualitas demokrasi elektoral di Indonesia masih dihadapkan pada tantangan yang tak kunjung usai. Fenomena seperti politik uang, polarisasi berbasis identitas, serta kecurangan dalam proses pemilu masih menjadi “hantu” yang merongrong integritas demokrasi kita. Lantas, di manakah posisi pemilu kita hari ini?

Konstitusi kita, khususnya Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945, menegaskan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Pemilu menjadi instrumen untuk mewujudkan kedaulatan tersebut dengan prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (Luber Jurdil). Prinsip ini bukan sekadar jargon, melainkan sebuah komitmen hukum untuk memastikan setiap warga negara dapat menggunakan hak pilihnya secara bebas tanpa tekanan dan intimidasi. Namun, praktiknya tidak semulus itu. Politik transaksional kerap mendistorsi hak suara rakyat, menjadikannya komoditas dalam kontestasi elektoral. Hal ini diperparah dengan lemahnya pengawasan dan rendahnya tingkat edukasi politik di tengah masyarakat.

Jika kita melihat ke belakang, pemilu di Indonesia telah mengalami perjalanan panjang yang merefleksikan dinamika demokrasi. Pemilu pada tahun 1955, sebagai tonggak awal melahirkan optimisme rakyat pasca-kemerdekaan. Namun, pada era Orde Baru pemilu kehilangan substansi demokratisnya. Rakyat hanya menjadi penonton dalam formalitas politik, sementara rezim yang berkuasa terus mendominasi. Baru pada tahun 1999, reformasi membuka ruang bagi pemilu yang lebih bebas dan adil, sekaligus menandai kebangkitan demokrasi elektoral. Perubahan signifikan lainnya terjadi pada 2004 ketika sistem proporsional terbuka diperkenalkan, memungkinkan pemilih untuk memilih langsung calon legislatif berdasarkan suara terbanyak. Sistem ini menjadi harapan baru, meskipun diiringi berbagai tantangan seperti tingginya biaya politik dan persaingan internal partai yang tidak sehat.

Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menjadi pijakan hukum dalam memastikan pemilu yang demokratis dan berkualitas. Regulasi ini mengatur peran penting lembaga independen seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dalam memastikan penyelenggaraan pemilu yang adil dan transparan. Selain itu, Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai “the guardian of constitution” memiliki kewenangan menyelesaikan sengketa pemilu untuk menjamin keadilan. Sayangnya, meskipun regulasi telah diperbarui, pelaksanaannya masih menyisakan berbagai tantangan. Netralitas penyelenggara pemilu kerap dipertanyakan, sementara praktik curang dalam proses pemilu masih marak terjadi.

Pemilu seharusnya tidak hanya menjadi sarana pergantian kekuasaan, tetapi juga momentum pendidikan politik bagi rakyat. Partisipasi aktif dalam pemilu mencerminkan kepercayaan rakyat terhadap sistem demokrasi. Namun, jika pemilu terus dibayangi oleh praktik kotor seperti politik uang dan polarisasi identitas, maka esensi demokrasi akan semakin terkikis. Diperlukan penegakan hukum yang tegas terhadap setiap pelanggaran pemilu, peningkatan profesionalisme penyelenggara, serta edukasi politik yang masif dan berkelanjutan.

Pada akhirnya, pemilu adalah ujian bagi bangsa ini dalam menjaga janji konstitusi. Keberhasilannya tidak hanya diukur dari angka partisipasi pemilih, tetapi juga dari seberapa jauh pemilu mampu mencerminkan keadilan, transparansi, dan representasi. Pemilu yang berkualitas adalah cerminan dari demokrasi yang sehat, di mana rakyat benar-benar berdaulat atas pilihannya. Jika kita ingin Indonesia menjadi negara yang demokratis dan berkeadilan, maka pemilu harus menjadi fondasi utama dalam membangun kepercayaan rakyat terhadap demokrasi. Menjaga pemilu yang berkualitas berarti menjaga harapan demokrasi tetap hidup di negeri ini.


Jumat, 13 Desember 2024

Kerajaan Milenial


 

“Ketika anak muda tidak mendapat tempat di sebuah kerajaan, maka buatlah kerajaan sendiri dan jadilah raja di dalamnya,” Basri Amin. Sebuah kalimat yang amat menguatkan diri bagi anak muda agar menjadi berani dan pantang menyerah. Pada kondisi dunia yang penuh dengan kemajuan dan identik dengan persaingan, para anak muda berlomba-lomba untuk tampil lebih baik agar mendapat tempat di atas panggung globalisasi.

Era globalisasi tidak hanya menjadi tantangan bagi anak muda, melainkan juga menjadi medan perang di abad 21 sehingga perlu adanya kekuatan yang teramat besar untuk bisa berjaya dan tampil sebagai pemenang. Kekuatan yang dimaksud berhubungan dengan mental dan skill yang dimiliki setiap anak muda sebagai modal untuk dapat bersaing dan memberikan kontribusi terhadap negeri yang begitu dicintai.

Menyinggung perihal globalisasi, Dana Moneter Internasional (IMF) mengidentifikasi dasar globalisasi dalam empat aspek yakni perdagangan dan transaksi, pergerakan modal dan investasi, migrasi dan perpindahan manusia, serta pembebasan ilmu pengetahuan. Sehubungan dengan empat aspek tersebut, telah terjadi perubahan besar-besaran yang mulai terasa pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 yang oleh Friedrich Engels dan Louis Auguste Blanqui menyebutnya sebagai revolusi industri dan hingga kini telah memasuki era ke-4 atau dikenal dengan istilah revolusi industri 4.0.

Bicara perihal revolusi industri 4.0, tentu tidak lepas dari keterlibatan anak muda sebagai generasi milenial yang disebut-sebut menjadi penggerak utama era 4.0, sehingga sebuah keharusan  dalam menghadapi perubahan dimaksud bukanlah hal yang absurd bahwa anak muda dihantui oleh penyesuaian perilaku hingga pemantapan keterampilan yang secara mutlak harus dimiliki dan dikuasai. Jika tidak, anak muda hanya akan menjadi penonton yang ahli dalam mengomentari tetapi tidak memiliki keterampilan atau skill sebagai alat untuk tampil di panggung dunia.

Sehubungan dengan itu, BAPPENAS (2018) menyatakan bahwa Indonesia akan mengalami bonus demografi di 2030 mendatang, sebagai hadiah yang harus disikapi dengan sedemikian serius. Artinya, anak muda akan menjadi pemeran utama dalam menghadapi tantangan global yang semakin maju dan penuh dengan persaingan.

Oleh karena itu, muncul pertanyaan besar, apakah saat itu Indonesia akan baik-baik saja di tangan anak mudanya? Atau justru sebaliknya? Hanya kita sebagai anak mudalah yang dapat menjawab pertanyaan tersebut. Namun begitu, sebagai warga negara yang memiliki cita-cita yang luhur, kita sepatutnya optimis tidak hanya dengan kondisi Indonesia sepuluh atau duapuluh tahun mendatang, tetapi akan seperti apa kita sebagai anak muda sepuluh hingga duapuluh tahun yang akan datang.

Optimisme anak muda sangat penting sebagai upaya meyakinkan diri bahwa kita mampu untuk menghadapi fenomena di era 4.0. Dalam fenomena revolusi industri 4.0 ini, selain kecanggihan teknologi, kemudahan mengakses informasi, banyaknya persaingan di dunia kerja, dan fenomena lain yang begitu rumitnya, hadir sebuah tantangan yang menjadi pekerjaan rumah terbesar kita saat ini. Tantangan tersebut adalah kesiapan sumber daya manusia yang ada khususnya kondisi anak muda itu sendiri. Seberapa berkualitasnya generasi milenial yang ada untuk menunjang kemajuan dan kecanggihan dunia.

Kemajuan dan kecanggihan teknologi telah menyebabkan munculnya konsekuensi sosial yang menjadi dorongan tersendiri bagi anak muda agar tidak menjadi generasi yang tertinggal atau diam di tempat. Lalu, apa yang seharusnya perlu dilakukan anak muda dalam menghadapi perang globalisasi di abad 21 ini? Tentu perang yang dimaksud bukanlah perang melawan orang lain, melainkan perang melawan tantangan kemajuan dan perang melawan diri sendiri. Oleh karena itulah saya selaku representatif dari anak muda berpandangan bahwa kerajaan yang dimaksud pada pembuka tulisan di atas adalah kerajaan yang lahir dari keterampilan dan kreativitas yang kita miliki lalu dibesarkan dengan saling bekerja sama atau berkolaborasi untuk meruntuhkan rumitnya tantangan globalisasi tersebut.

Keterampilan dan kreativitas yang dimaksud akan menjadi investasi paling besar sebagai upaya menaklukkan diri dari sikap apatis (acuh tak acuh), malas, dan pesimis (putus asa). Selain itu, keterampilan dan kreativitas akan menjadi senjata terbesar untuk menjaga dan mengokohkan kerajaan dimaksud. Setelah memperkuat kerajaan dengan keterampilan dan kreativitas tersebut, kemudian kita harus melibatkan orang lain sebagai bentuk kolaborasi dalam menghadapi tantangan globalisasi abad 21.

Dalam implementasinya, sebagai anak muda yang visioner kita harus pintar membaca peluang yang ada. Hal tersebut sangat penting untuk mengetahui keterampilan, minat/bakat (passion) apa yang kita miliki, sehingga memudahkan kita untuk mengembangkannya sebagai bekal diri sendiri di masa yang akan datang. 

Kita tentu sadar, bahwa setiap manusia dilahirkan dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing, sehingga melibatkan orang lain dalam setiap aktivitas penyesuaian diri bukanlah hal yang harus dihindari. Justru di era yang semakin terbuka ini kita pun harus terbuka menerima perubahan dan kelebihan orang lain agar tercipta lingkungan yang produktif dan saling menguntungkan. Kita boleh berprasangka baik agar mental anak muda atau generasi milenial tidak hanya dapat memperbaiki diri sendiri melainkan juga orang lain dan lingkungan sekitarnya.

Selasa, 10 Desember 2024

Kemarjinalan Informasi

 

Ketika semua aktivitas kehidupan kita belakangan ini disepuh kata-kata ajaib mondialisasi, tiba-tiba kita disudutkan oleh kenyataan lain yang tak kalah ajaibnya. Yakni, munculnya efek jurnalisme (Journalism effect), Wibowo (2007).

Kondisi manusia di era digitalisasi ini terbilang semakin rumit. Dalam implementasinya, manusia semakin disibukkan dengan kebiasaan ilmiah yang orang akademik menyebutnya dengan istilah ‘research’. Sebuah proses mencari tahu kata-kata ajaib dari mondialisasi dengan menggunakan instrumen yang telah ada sebagai upaya memperoleh informasi yang dapat dipercaya kebenarannya (autentik).

Namun pada kenyataannya, tidak sedikit orang yang terburu-buru menafsirkan informasi tanpa melakukan proses pengklarifikasian informasi tersebut. Akibatnya, orang-orang semakin tidak peduli dengan kebenaran informasi sehingga berdampak pada perpecahan dan kekacauan yang disebabkan oleh informasi yang tidak jelas kebenarannya.

Sejalan dengan perkembangan informasi yang semakin cepat, sebuah istilah ‘nakal’ bisa saja dianalogikan pada akibat yang teramat membahayakan ini. Sebut saja kondisi itu sebagai “kemarjinalan informasi.” Sebuah kondisi yang perlu dibenahi dengan sedemikian serius agar tidak berdampak buruk bagi Indonesia ke depannya.

Tentu bicara mengenai kemarjinalan tidak hanya berlaku pada kondisi sosial dan ekonomi saja, melainkan hal yang sama juga dapat dijabarkan untuk menjelaskan keberadaan masyarakat Indonesia dalam hal memperoleh dan menyebarkan informasi yang aktual dan dapat dipertanggungjawabkan.

Keberadaan informasi yang semakin berkembang dan luas ini, masyarakat dituntut untuk lebih bijak dalam menerima dan menyebarkan informasi. Tidak hanya itu, keberadaan media perlu juga mendapat pengawasan yang lebih ketat lagi untuk mencegah terjadinya kecacatan media dalam menyebarkan berita dan informasi.

Biasanya, Indonesia kerap kali dikacaukan oleh situasi yang amat serius sebagai akibat dari penyebaran informasi yang tidak autentik serta mengandung unsur kebencian. Mirisnya lagi, masyarakat Indonesia seolah terjebak oleh kedangkalan nalar yang berkepanjangan. Bagaimana tidak, harus diakui bahwa masyarakat Indonesia belum mampu mencerna informasi yang diterimanya. Baik melalui media masa maupun media cetak.

Oleh karena situasi yang sedemikian ricuh tersebut, saat ini Indonesia sedang dilanda krisis informasi. Bagaimana tidak, ajang PEMILU misalnya, menjadi alasan besar serta pemantik munculnya informasi-informasi palsu (hoax). Informasi ataupun berita palsu tersebut juga ditandai dengan munculnya situs-situs berita palsu maupun konten-konten yang mengandung kebencian sara dan sentimentil yang tersebar luas hampir di semua media sosial.

Munculnya berita palsu dikarenakan kebenaran ataupun keautentikan dari suatu berita maupun informasi tidak lagi menjadi hal yang substansial, melainkan siapa yang paling cepat dalam menyebarkan informasi tersebut. Akibatnya, banyak oknum baik individu maupun kelompok berlomba-lomba untuk menyajikan berita atau informasi yang belum jelas kebenarannya. Sehingga masyarakat pun dengan mudahnya bisa terprovokasi oleh informasi-informasi yang dapat menimbulkan perpecahan dan permusuhan antar sesama kelompok masyarakat.

Bicara mengenai hoax, tidak banyak masyarakat Indonesia yang paham betul bagaimana menyikapi informasi atau berita-berita yang diterima baik melalui media sosial maupun situs-situs web yang secara terang-terangan menyebarkan informasi yang belum tentu kebenarannya dan belum jelas referensinya. Oleh karena kebanyakan orang ataupun media ingin tampil terdepan dalam menyebarkan informasi, akibatnya penyebaran hoax-pun semakin tidak dapat terkendali.

Sementara itu, hoax sangatlah beragam, mulai dari isu agama, etnis, bahkan politik. Hoax juga mengakibatkan terjadinya kegelisahan yang amat serius bagi semua kalangan. Masyarakat yang ikut menyebarkan informasi palsu tersebut dikarenakan beberapa hal-diantaranya; ketidaktahuan terhadap informasi yang diterima dan yang disebarkan, unsur kesengajaan untuk menjatuhkan individu atau kelompok, ingin mendapat pengakuan, dan lain-lain.

Herannya lagi, para pelaku yang secara sadar ikut menyebarkan informasi palsu tidak hanya dilakukan oleh orang-orang biasa, melainkan juga orang-orang yang memiliki gelar sarjana atau yang berpendidikan tinggi. Oleh sebab itulah, eksistensi hoax ini terus bergulir dan berkepanjangan menghantui kedamaian dan ketenteraman masyarakat Indonesia.

Sebuah catatan histori memperkirakan kemunculan hoax ini dimulai sejak 1960-an hingga 1970-an. Sampai detik ini, penyebaran hoax makin meningkat. Eksistensi hoax yang paling menghebohkan dunia terjadi pada konstelasi pemilihan umum presiden Amerika Serikat 2016 silam. Sebelumnya Indonesia juga mengalami kondisi yang sama pada perhelatan pemilihan umum 2014 lalu. Terlebih lagi pada konstelasi pemilihan umum 2019 dan 2024 kemarin, puncak serangan hoax semakin menjadi-jadi. Oleh karena itu, pihak-pihak terkait yang merasa memiliki tanggungjawab penuh terhadap bahaya hoax, mengambil langkah strategis untuk menghentikan atau meminimalisir penyebaran berita atau informasi palsu tersebut.

Dalam kondisi yang cukup memprihatinkan ini, masyarakat perlu memperbanyak edukasi informasi melalui literasi media sebagai upaya untuk mendewasakan nalar atau pikiran agar terhindar dari kedangkalan-kedangkalan yang menyebabkan terjadinya kekacauan dan perpecahan tersebut.

Tidak hanya itu, masyarakat juga perlu untuk mengedukasi diri dalam memanfaatkan media sosial. Dengan begitu, situasi yang terbilang sulit ini dengan sendirinya perlahan tapi pasti jika sebagian besar masyarakat Indonesia mulai bijak dalam mengelola informasi dan memanfaatkan media sosial dengan baik, maka “kemarjinalan informasi” tersebut dapat diminimalisir.


Selasa, 03 Desember 2024

Orang Tua Kaya dan Anak Miskin VS Orang Tua Miskin dan Anak Kaya

 



Biasanya, dalam keseharian hidup, kita kerap kali menemukan berbagai macam fenomena yang bahkan tidak disangka-sangka bisa terjadi. Ada-ada saja kejutan hidup yang kita saksikan atau bahkan kita alami. Entah dalam waktu yang cukup singkat, atau bahkan bertahun-tahun kemudian. Dalam hal ini, saya sedang ingin membicarakan fenomena terbalik yang sebenarnya saya sendiri menyaksikan bahkan mengalami ini. Fenomena yang sudah teman-teman baca di bagian judul; "Orang Tua Kaya dan Anak Miskin VS Orang Tua Miskin dan Anak Kaya."

Meskipun sebenarnya, kita juga akan menemukan ada orang tua kaya dan anak kaya, pun orang tua miskin, anaknya juga miskin. Namun, dalam konteks ini, saya hanya akan berfokus membahas berdasarkan judul di atas.

Dulu, waktu masih sekolah, saya memiliki beberapa teman yang orang tuanya bisa dikatakan mapan atau kaya, dengan status dan jabatan yang beragam, mulai dari ASN, Pejabat, hingga Pengusaha. Oleh karena kekayaan dan kejayaan orang tua mereka, anak-anaknya juga ikut menikmatinya. Namun, mereka cenderung bersikap hedonisme, boros, malas belajar, suka buang-buang waktu, dan perilaku-perilaku negatif lainnya. Secara menyesal, saya harus sebut mereka sebagai anak-anak miskin (etika, perilaku dan cara pandang) dari orang tua yang kaya. Mereka mungkin berpikir, dengan orang tua yang kaya dan punya jabatan, hidup mereka sudah aman-aman saja, sehingga menikmati hasil keringat orang tua mereka sudah sangat cukup.

Sebaliknya, di lain orang, beberapa teman saya memiliki orang tua yang biasa-biasa saja, pekerjaan yang hanya cukup untuk makan sehari-hari, tetapi anak-anaknya justru yang paling rajin dan pintar di kelas. Pintar mengelola uang jajan hingga berhari-hari bahkan berminggu-minggu. Mereka sadar diri dengan kondisi orang tua dan ekonomi mereka. 

Singkat saja, setelah bertahun-tahun tidak bertemu, karena dipisahkan oleh pendidikan lanjut bahkan sampai perguruan tinggi, banyak hal yang kami lewatkan. Ada begitu banyak proses dan pelajaran hidup yang mungkin mereka dapatkan, tetapi satu hal yang pasti, kehidupan mereka yang saya kenal sudah sangat melekat di ingatan saya seperti apa karakter dan perilaku mereka.

Lalu, apa yang terjadi? Beberapa dari mereka, para anak miskin dari orang tua kaya pada akhirnya tidak menjadi apa-apa setelah dewasa. Sejauh kenalan yang saya punya, mereka yang seharusnya berpotensi memiliki atau bahkan melanjutkan privilege orang tua mereka, malah justru sebaliknya.  Tidak memiliki relasi yang kuat, pekerjaan yang mapan, bahkan jabatan penting. Beberapa yang saya kenal ada yang mendapat warisan usaha milik orang tua yang pada akhirnya harus tutup (bangkrut), bahkan ada yang terpaksa harus menjual isi rumah hanya agar bisa bertahan hidup beberapa hari bahkan bulan ke depan. 

Anggapan mereka soal hidup berkecukupan hanya karena memiliki orang tua kaya, adalah kesalahan yang sebenarnya bisa dihindari oleh para orang tuanya. Anak-anak mereka terbiasa hidup di hari ini dengan kesenangan yang bahkan bukan milik mereka. Tidak ada perencanaan masa depan yang baik, atau bahkan sekadar ingin jadi apa saja mereka bingung menjawabnya.

Di lain situasi, anak-anak dari orang tua miskin justru malah menjadi orang. Mereka tidak diwariskan harta, kekayaan dan jabatan oleh orang tuanya. Tidak ada materi yang berarti, hanya pelajaran hidup yang menyadarkan mereka, bahwa hidup serba berkecukupan cukup dirasakan oleh orang tuanya saja, sementara anak-anaknya, harus punya cukup bekal untuk menghadapi masa depan yang penuh dengan tantangan dan misteri. Pada akhirnya, justru anak-anak kaya dari orang tua miskin inilah yang memberikan kekayaan dan kejayaan bagi orang tuanya. 

Pada penutup tulisan ini, saya ingin memperjelas dan mempertegas, bahwa anak miskin dan kaya yang saya maksud pada tulisan ini sebenarnya berkaitan dengan sikap dan cara pandang. Bagaiman mereka seharusnya bersikap dan melihat segala sesuatu yang dimiliki oleh orang tuanya, belum tentu dapat menyelamatkan hidup mereka di kemudian hari, dan belum tentu juga dapat mencelakakan mereka. Punya orang tua kaya tidak menjamin anaknya bisa seberuntung orang tuanya, begitupun punya orang tua miskin, tidak menuntut kemungkinan, anaknya akan menjadi orang terpandang, relasi dan kemapanan yang dapat memperbaiki kehidupan orang tua dan keluarganya.

Tulisan ini hanya sebagai inspirasi bagi kita semua, meskipun pada nyatanya, masih banyak anak dari orang tua kaya yang bisa menjadi kaya, dan ada begitu banyak anak dari orang tua miskin yang tetap menjadi miskin. Sekali lagi, ini soal bagaimana kita bersikap dan bagaimana sudut pandang kita soal kehidupan.





Total Tayangan Halaman

Kategori

Recent Posts

Teknologi Canggih, Skill Harus Level Up: Gen Z Siap?

Zaman sekarang, siapa yang gak tau teknologi Artificial Intelligence (AI)? Semuanya bisa dikerjakan sama teknologi ini, bahkan dalam beberap...

Quotes

"Sebelum berpikir untuk mengubah dunia, terlebih dulu ubahlah pikiranmu" Arsa Danialsa_

Quotes

"Tidak ada yang namanya kegagalan, yang ada hanyalah feedback" Arsa Danialsa_

Butuh Bantuan?

Nama

Email *

Pesan *