• Ingin Cerita Anda Menginspirasi Dunia | Coming Soon

    Di Zona Insight, kami percaya bahwa setiap individu dan kelompok memiliki cerita yang layak didengar. Kami hadir untuk membantu Anda mempublikasikan ide, pengalaman, atau prestasi agar menjangkau lebih banyak audiens.

  • Ayo Jadi Penulis di Zona Insight | Klik di sini untuk Daftar

    Manfaatkan kesempatan selama 3 bulan bersama Zona Insight untuk memberi dampak dan inspirasi lewat tulisan. Kamu juga akan dibekali pengetahuan dan keterampilan menulis oleh mentor Zona Insight, serta mendapatkan sertifikat penghargaan sebagai penulis inspiratif.

Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan

Jumat, 30 Mei 2025

Bro, Jangan Keren di Dunia Maya tapi Miskin di Dunia Nyata. Stop Judi Online!

 



 

Sekarang ini, siapa sih yang gak punya HP? Semua orang pegang smartphoneTapi, makin canggih HP, makin banyak juga godaan. Salah satunya yaitu judi onlineDari yang awalnya cuma iseng-iseng pasang receh, lama kelamaan bisa jadi kebiasaan buruk yang merusak segalanya. Awalnya seru, Lama-lama bikin sengsara.

Kebanyakan orang yang terjerumus ke judi online itu awalnya cuma coba-coba. “Ah, iseng aja, siapa tahu dapet duit.” Tapi nyatanya? Bukan untung yang di dapat, malah buntung. Duit habis, waktu kebuang, kepala pusing, hubungan sama keluarga dan teman pun bisa renggang.

Judi online bukan jalan cepat untuk menjadi kaya. Jangan gampang percaya sama iklan yang bilang “main game bisa dapet duit jutaan!” Itu cuma pancingan. Yang kaya itu ya bandarnya, bukan pemainnya!  Sistemnya udah diatur biar kamu kalah terus. Kalau pun menang, itu cuma sesekali, biar kamu ketagihan dan balik lagi. Yang jadi korban gak cuma diri sendiri. Kalian pikir cuma kalian yang akan kena dampak? Salah besar. Keluarga juga bisa ikut susah karena kalian jadi sering minjam duit, bohongin orang tua, bahkan nyolong demi top up saldo, demi judi. Masa depan kalian bisa hancur hanya gara-gara satu aplikasi haram.

Daripada buat judi, mending duit kalian dipakai buat hal yang bener. Misalnya Nabung, bantu orang tua, beli buku, ikut kursus, ataupun investasi kecil-kecilan. Banyak kok hal-hal seru dan bermanfaat yang bisa kalian lakuin tanpa harus ambil risiko segila judi.

Kalo hanya karena bosan atau stres, jangan larinya ke judi. Coba cari hiburan lain yang sehat seperti main game offline, olahraga, nonton film, nongkrong bareng temen, atau bahkan curhat. Banyak cara buat ngilangin stres tanpa harus bikin hidup makin ribet. Intinya jangan sampai hidupmu dikuasai judi. Judi online itu sebuah jebakan. Sekali masuk, susah keluar. Jangan buang masa depanmu buat sesuatu yang gak ada ujungnya. Kalau kamu udah mulai menggunakan, berhenti sekarang juga. Kalau belum pernah coba, jangan pernah memulainya

Stop judi online, mulai hidup sehat dan bermanfaat. Kamu lebih berharga dari itu loh! Jangan sampai menyesal belakangan. Percaya deh, gak sedikit orang yang udah nyesel karena pernah main judi online. Duit tabungan habis, barang-barang dijualin, bahkan ada yang sampai ngutang sana-sini. Ujung-ujungnya stres, depresi, dan gak tahu harus mulai dari mana buat benerin hidupnya.

Kalau kalian masih di tahap awal dan ngerasa “masih bisa dikontrol,” mending kalian berhenti dari sekarang. Jangan tunggu sampai kalian gak bisa lepas. Karena makin lama kalian main, maka makin susah juga buat keluar. Cari support kalau udah terlanjur kecanduan. Kalau kalian udah ngerasa kecanduan judi online, jangan malu buat cari bantuan. Cerita ke orang terdekat, ke keluarga, atau cari komunitas yang bisa bantu kalian lepas. Yang penting kalian sadar dan mau berubah. Semua orang punya kesempatan kedua, asal niat dan mau usaha.

Yuk, jadi generasi yang insaf dan gak gampang ketipu!!


Penulis: Ririn Masaguni

 

 

 

Senin, 19 Mei 2025

Hidup itu nggak adil, dan mungkin emang begitu adanya


 

Kalian pernah merasa gak sih kadang dunia terasa kayak game yang curang. Ada orang yang dari kecil udah hidup enak kayak sekolah mahal, lingkungan nyaman, koneksi orang tua di mana-mana. Eh tapi, di satu sisi ada juga yang lahir dalam situasi serba terbatas, dan harus jungkir balik cuma buat bertahan hidup. Banyak yang bilang, “ya wajar, hidup memang nggak adil”. Tapi tetap aja, kalimat itu sering terasa lebih mirip pembenaran daripada penghiburan.

Tapi ya kalau dipikir-pikir, mungkin kalimat itu bukan sekadar omongan pasrah. Mungkin emang begitu adanya. Hidup memang nggak dirancang buat adil, dan itu bukan karena ada yang salah. Justru mungkin, ketidakadilan adalah bagian dari “aturan main” dunia ini.

Dalam filsafat eksistensialisme, ada pemahaman menarik soal ini. Seorang filsuf bernama Martin Heidegger pernah bilang bahwa manusia itu satu-satunya makhluk yang sadar kalau dia bakal mati. Nah berakar dari kesadaran itu bikin manusia bisa mikir soal makna hidup, dan juga soal absurditas dunia kayak kenapa kebaikan nggak selalu dibalas baik, atau kenapa orang baik justru sering kalah di dunia yang keras. Heidegger percaya bahwa justru dengan menyadari kenyataan pahit ini, manusia bisa mulai hidup dengan lebih jujur. Bukan karena dunia tiba-tiba jadi lebih ramah, tapi karena kita berhenti berharap semuanya harus selalu masuk akal.

Namun beda lagi dengan Jean-Paul Sartre, yang juga tokoh eksistensialisme. Dia percaya bahwa manusia itu bebas. Bebas banget malah. Tapi kebebasan itu datang dengan satu tanggung jawab besar yaitu setiap orang harus menentukan sendiri artinya hidup, bahkan di dunia yang kacau. Jadi waktu dunia terasa nggak adil, ya itu bukan hal baru. Dunia emang nggak punya peta moral yang pasti. Tapi justru karena itu, setiap manusia harus berani bikin petanya sendiri. Bahkan ketika hidup rasanya timpang, keputusan buat terus melangkah atau berhenti tetap ada di tangan masing-masing.

Kutipan yang paling ngena mungkin datang dari Albert Camus, filsuf lain yang ngulik hidup dari sisi yang absurd. Dia cerita soal tokoh mitologi Yunani bernama Sisyphus, yang dihukum dewa buat dorong batu ke atas bukit, tapi tiap kali udah sampai puncak, batunya selalu jatuh lagi ke bawah. Gitu terus, selamanya. Tapi Camus nggak lihat itu sebagai tragedi. Justru dia bilang bahwa kita harus membayangkan Sisyphus bahagia. Karena di tengah semua absurditas itu, dia tetap memilih untuk dorong batu itu lagi, dan lagi, dan lagi.

Hidup nggak selalu soal hasil. Nggak selalu soal menang. Kadang, makna justru muncul dari pilihan buat tetap jalan, bahkan waktu semuanya terasa nggak masuk akal. Dan mungkin, di situlah letak kekuatan manusia bukan karena hidupnya selalu adil, tapi karena tetap bisa berdiri di tengah ketidakadilan itu tanpa kehilangan dirinya sendiri.

Jadi ya… hidup emang nggak adil. Tapi mungkin memang itu bagian dari paket yang namanya hidup. Kita nggak harus setuju sama dunia, tapi bisa belajar buat tetap waras dan jalan terus, meski dunia nggak selalu ramah.

Dan di antara semua hal itu, mungkin yang paling sulit tapi juga paling menenangkan adalah belajar untuk bersyukur. Bukan dalam arti pasrah atau memaksa diri untuk bahagia, tapi lebih kepada menyadari bahwa di balik semua kekurangan dan luka, masih ada hal-hal kecil yang layak untuk dihargai.

Rasa syukur itu nggak selalu datang dalam bentuk besar seperti keberhasilan atau kemenangan. Kadang, dia tersembunyi dalam momen sederhana dalam napas yang masih bisa kita hirup, dalam teman yang mau mendengarkan tanpa menghakimi, atau dalam pagi yang tenang setelah malam yang berat. Hal-hal yang kelihatannya sepele, tapi justru sering kali jadi penopang saat semuanya terasa goyah.

Syukur bukan soal membandingkan hidup kita dengan hidup orang lain, tapi soal mengakui bahwa meski tidak sempurna, hidup kita tetap punya nilai. Ia membantu kita melihat bahwa bahkan di tengah ketimpangan dan ketidakadilan, masih ada ruang untuk merasa cukup dan dari perasaan cukup itu, lahirlah kekuatan untuk terus melangkah.

Jadi ya, hidup memang nggak adil. Tapi bukan berarti semua gelap. Ada cahaya, meski kecil. Ada makna, meski tidak langsung tampak. Dan ada alasan untuk bersyukur, meski kadang harus dicari dengan susah payah. Karena pada akhirnya, bukan keadaan yang menentukan hidup kita sepenuhnya, tapi bagaimana kita memilih untuk menjalaninya.

Penulis: Listanto Bima - Mitha Indah Sari

Jumat, 02 Mei 2025

KEREN, TAPI NGERI! YUK MENGENAL DEEPFAKE




Pernah nggak sih kamu lihat kasus penipuan yang pakai wajah seorang artis terkenal? Atau mungkin kamu pernah lihat wajah seorang pemimpin negara muncul dalam sebuah konteks yang tidak biasa? Nah, fenomena ini dikenal sebagai deepfake, sebernya apasih deepfake itu?

Deepfake adalah teknologi manipulasi gambar, video bahkan suara yang basisnya adalah kecerdasan buatan yang bisa bikin konten palsu jadi kayak nyata banget. Di dunia hiburan sendiri, deepfake bIasa dipakai buat “ngebangkitin” aktor yang udah meninggal biar kesan nostalgis dalam film tersebut bisa dirasain sama penonton, gak jarang juga deepfake dipakai buat bikin efek visual dengan budget yang minim tapi tetap kerasa realistis. Namun di balik kerennya deepfake ini ternyata ada potensi bahaya yant besar kalau sampai deepfake dipakai buat hal – hal negatif

Sudah ada beberapa penelitian yang nunjukin ngerinya deepfake. Menurut Dwi Putra, Sania Dan mitrin (2024) dalam jurnal Sagara Komunika, deepfake itu bisa merusak kredibilitas media tradisional. Loh kok bisa? Karena dengan adanya deepfake orang bakalan makin sulit bedain mana berita beneran dan mana yang hoaks. Nah Fadhilah dan kawan – kawan (2024) dalam jurnal Kawistara UGM juga ngungkapin hal yang sama, menurut mereka penyalahgunaan deepfake bisa nimbulin fenomena yang namanya infopocalypse, yaitu sebuah kondisi ketika masyarakat udah gak percaya atau kehilangan kepercayaan sama semua jenis informasi.

Kalau menurut Noerman dan Ibrahim (2024) dalam jurnal mereka yaitu USM Law Review, mereka bilang kalau Indonesia pada saat ini belum punya aturan khusus terkait fenomena deepfake yang meresahksn ini. Namun, kasusnya masih ditangani pakai UU ITE dan UU pornografi. Teknologi deepfake emang keren banget namun bahaya yang ditimbulin juga gak main – main.

Ibarat pisau bermata dua, di satu sisi bisa jadi alat untuk menuangkan kreativitas, namun di sisi lainnya bisa menjadi sesuatu untuk memfitnah orang yang gak bersalah & nimbulin hoaks yang meresahkan.

Biar gak gampang ketipu sama konten deepfake, ada beberapa hal yang bisa kamu perhatikan:

Perhatikan Gerakan Wajah dan Mata

Deepfake kadang masih punya kelemahan pada gerakan wajah, terutama bagian mata. Kalau kamu lihat mata yang jarang berkedip, atau ekspresi wajah yang terasa “kaku” dan gak natural, bisa jadi itu deepfake.

Cek Sinkronisasi Suara dan Bibir

Kalau suara terdengar aneh, kayak datar atau gak sinkron sama gerakan mulutnya, itu juga bisa tanda kalau videonya hasil deepfake.

Amati Pencahayaan dan Bayangan

Deepfake kadang suka mis di bagian pencahayaan. Misal, cahaya di wajah beda sama latar belakangnya, atau bayangannya aneh.

Gunakan Tools Pendukung

Sekarang udah banyak aplikasi atau website yang bisa bantu deteksi deepfake, misalnya Deepware Scanner, Sensity AI, atau Microsoft Video Authenticator.

Crosscheck ke Sumber Asli

Sebelum percaya sama video atau gambar yang aneh, sebaiknya  cek dulu beritanya di media terpercaya.

“JoMO: Bahagia Itu Gak Perlu Cari Validasi Sana-Sini!”



Kamu nggak update insta story hari ini?

Nggak ikut tren velocity?

Nggak ikut nongkrong di café?

Tenang, kamu nggak salah kok. Kamu nggak kudet. Kamu cuman lagi JoMO!

​Iya, JoMO alias Joy of Missing Out. Mungkin kalian tahunya cuman FoMO, kan? Nah sebenarnya ada juga istilah buat kalian yang ngerasa happy karena gak ikut-ikutan sama yang lain, apalagi sama tren TikTok yang velocity-nya nggak habis-habis. JoMo tuh kayak bilang “gue nggak ikutan, dan gue fine-fine aja”.

​Pernah gak sih kamu ngerasa capek banget ngeliat anak muda zaman sekarang yang apa-apa main cekrek. Scroll TikTok dikit, bermunculan video velocity yang semakin banyak versinya—udah kayak HP aja pake Pro Max segala! Bahkan nih, anak muda pada senang banget nongkrong ke café sampe pagi, seolah kayak gak ada beban sama sekali.

​Di tengah dunia yang sibuknya minta ampun ini, JoMO ngajarin kita buat istirahat sebentar. Nggak semua hal harus di-posting sana-sini. Nggak semua tren harus diikutin, dan nggak semua tempat viral harus didatengin. Daripada ngabisin duit di café mahal mending buat kopi aja di rumah. Kadang, obrolan ringan sambil sarapan bareng orang tersayang di pagi hari udah cukup bikin hati terasa penuh dan bahagia. Alih-alih ngerasa kudet, orang yang nerapin JoMO malah lebih bahagia. Nggak ada gangguan notifikasi apalagi tekanan sosial. Sebenarnya JoMO bisa ngasih ruang buat refleksi diri kita. Sadar kalau hidup nggak harus butuh validasi.

Mungkin kalian pernah bertanya, ​kenapa sih kita harus JoMO?

1. Biar mental gak capek!

Jujur deh, ngeliat orang-orang pada sibuk mikirin tren, liburan buat bahan insta story, produktif tiap hari capek kan? Padahal kita sama-sama manusia, dan kita gak harus compare terus.

2. Biar hidup bener-bener dinikmati

Sebelum makan gak harus cekrek, pas makan gak harus live IG, pas selesai makan gak harus TikTokan. Kadang, momen yang paling berharga malah yang gak terekam kamera.

3. Biar tahu kalau damai itu penting

JoMO itu kayak rebahan, dengerin lagu favorit, atau ngobrol santai tanpa harus mikirin impresi.

Udah deh dari pada haus validasi mending matiin notifikasi, unfollow akun yang bikin overthinking, nolak ajakan temen tanpa rasa salah (self care!) dan mending ngobrol sama diri sendiri bukan sama algoritma!

Intinya, kamu nggak harus ada di mana-mana buat valid, dan nggak harus viral buat bahagia. Yang kamu butuh itu cuman waktu sendiri, bernapas lega sama nonton series favorit tanpa gangguan siapa-siapa!

JoMO bukan soal menghindar dari dunia tapi soal pilihan. Bukan berarti kamu milih untuk nggak ikutan kamu kalah, tapi itulah yang namanya dewasa.

Jumat, 25 April 2025

Teknologi Canggih, Skill Harus Level Up: Gen Z Siap?




Zaman sekarang, siapa yang gak tau teknologi Artificial Intelligence (AI)? Semuanya bisa dikerjakan sama teknologi ini, bahkan dalam beberapa tahun terakhir AI udah kayak roket yang meluncur kencang tanpa batas. Mulai dari chatbot yang diajak ngobrol kayak manusia, sampai baru – baru ini lagi rame tuh tren bikin foto ala studio Ghibli, semuanya bikin kita tuh kagum sama teknologi ini. Tapi, kadang karena saking semua hal bisa dilakuin sama AI, kita agak deg-degan juga. Apalagi kita—Gen Z—yang katanya paling Tech-savvy, beneran udah siap belum sih menghadapi dunia yang didominasi sama AI? Atau justru malah panik karena takut digantikan?

AI sekarang bukan cuman sekadar nanya jawaban ujian doang. Bahkan di dunia pekerjaan, AI udah mulai masuk ke berbagai bidang mulai dari edukasi, kesehatan, keuangan, desain sampai industri kreatif. Banyak pekerjaan yang dulunya memakan waktu dan tenaga manusia, sekarang bisa dikerjakan bak pesulap sirkus dalam hitungan detik. Contohnya desainer grafis bisa aja saingan sama AI yang bikin ilustrasi hanya dalam waktu 10 detik. Penulis artikel harus bersaing sama program yang bisa buat artikel otomatis. Bahkan dosen pun harus bersaing sama teknologi yang semuanya bisa dijawab hanya hitungan detik.

Artificial Intelligence (AI) menjadi salah satu teknologi yang lagi naik daun di dunia. Bahkan dilansir dari sumber databoks, Indonesia menduduki peringkat ke 3 dari 10 Negara penyumbang kunjungan terbanyak ke aplikasi Artificial Intelligence (AI). Di tahun 2024 aja, pengguna AI di Indonesia mencapai 1,3 juta pengguna! Nggak heran kalau zaman sekarang orang-orang pada nggak bisa lepas dari yang namanya AI.

Kita sebagai Gen Z wajar gak sih panik? Takutnya kedepannya pekerjaan kita malah akan digantikan sama AI ini. Wajar kok kalau ada rasa khawatir kayak gitu. Tapi, alih-alih panik mending kita ubah minset jadi “Gimana cara kedepannya kita bisa kerja bareng AI”. Sebenarnya Gen Z tuh punya keuntungan salah satunya Digital Native yang harusnya sih adaptasi sama teknologi itu bukan hal yang baru. Yang paling penting sekarang yaitu:

Belajar, dunia itu perubahannya cepet banget. Bisa jadi skill sekarang yang kita punya besoknya malah jadi basi. Makanya penting buat kita apalagi Gen Z buat terus belajar dan upskilling.

Nilai emosional, hal ini masih menjadi “senjata rahasia” kita sebagai manusia. Emang sih AI bisa ngasih data dan output, tapi emang nilai emosional dan empati AI bisa? Itu masih jadi domain kita sampai sekarang.

Eksplorasi, nih buat para Gen Z jangan takut buat nyoba yang namanya teknologi baru. Minimal ngulik di YouTube lah biar kita juga gak Gaptek!

Jadi, buat Gen Z yang kerjanya cuman scroll-scroll HP doang, mageran sama multitasking. Udah saatnya melek, sama tunjukin kalau kita juga bisa. Nggak dicap generasi rebahan doang. Kita semua juga bisa sukses di era AI. Kita juga harus melek teknologi, terus belajar sama kreatif.

Kalau AI makin canggih, bukan berarti kita kalah dan malah makin panik. Tapi harusnya kita makin semangat buat beradaptasi dan terus eksplore hingga menciptakan peluang baru. Masa depan gak sepenuhnya ditentukan sama teknologi doang, tapi gimana kita siap buat ngadepinnya!

Burnout di kalangan pelajar: Beneran lelah atau hanya rasa malas?




Pernah nggak sih, kamu ngerasa capek banget waktu ngerjain tugas sekolah atau kuliah, padahal mulai aja belum. Atau tiba – tiba ngerasa males banget untuk ngerjain PR yang dikasih guru, padahal kamu biasanya semangat buat ngerjainnya? Hati – hati loh hal tersebut bisa jadi bukan rasa malas biasa, tapi kamu lagi ngalamin yang namanya burnout?

Menurut psikolog asal Amerika Serikat Christina Maslach, burnout sendiri adalah sindrom kelelahan emosional dan sinisme yang dialami oleh seseorang akibat stress kerja kronis. Walau umumnya burnout ini dialami oleh pekerja kantoran namun pelajar juga bisa terkena burnout loh. Burnout pada pelajar bisa terjadi karena tugas, ujian, ekskul bahkan ekspektasi yang diciptakan diri sendiri maupun lingkungan sekitar.

Banyak orang yang salah kaprah, mereka mikirnya pelajar kalo ngeluh capek itu ya karena mereka malas aja ngerjain tugas. Padahal menurut penelitian dari Mediva Syafira, Siti Khotimah, dan Eka Yuni Nugrahayu tahun 2023, dalam jurnal mereka disebutkan sekitar 35% mahasiswa ngalamin gejala burnout, hal ini udah termasuk kelelahan emosional, depersonalisasi atau mereka ngerasa asing sama diri sendiri, bahkan sampai ke menurunnya prestasi akademik. Angka ini bukan angka yang kecil loh.

Penelitian dari Eirene Priscilla C. Simatupang dan Yoanita Widjaja dalam jurnalnya tahun 2021 juga ngejelasin bahwa tekanan akademik yang tinggi serta manajemen waktu yang buruk jadi pemicu utama burnout pada pelajar SMA dan mahasiswa, ngelihat hal ini tentu aja semua yang terjadi bukan semata – mata karena malas, tetapi emang kondisi mental yang serius.

Rasa malas biasanya bersifat sementara, kadang muncul, kadang hilang, dan bisa diatasi dengan motivasi atau istirahat sejenak. Tapi burnout beda. Burnout membuat seseorang benar-benar kehilangan energi, motivasi, bahkan kepercayaan diri. Kamu bisa merasa lelah setiap hari meskipun sudah tidur cukup, sulit fokus meski suasana tenang, atau merasa kosong dan nggak tahu harus mulai dari mana.

Lalu, kalau kamu mulai ngerasa tanda-tanda itu, apa yang bisa dilakukan?

Nih, Tips Mengatasi Burnout pada Pelajar!

Kenali dan akui kondisimu

Langkah pertama adalah sadarilah kemungkinan kamu mengalami burnout. Jangan langsung menilai diri sendiri sebagai pemalas. Akui dan terima perasaan lelah kamu, itu hal yang wajar.

Atur ulang waktu dan prioritas

Coba evaluasi jadwal kamu. Apakah terlalu padat? Apakah semua kegiatan benar-benar perlu? Kadang kita terlalu memaksakan diri ikut banyak hal karena takut ketinggalan atau ingin terlihat produktif. Padahal tubuh dan pikiran punya batasnya.

Ambil jeda yang berkualitas

Istirahat bukan berarti rebahan seharian sambil scroll medsos (yang justru bisa bikin makin overthinking). Coba ambil waktu untuk benar-benar recharge, misalnya jalan santai sore, baca buku ringan, dengerin musik, atau ngobrol santai bareng teman.

Berani bilang “Cukup”

Nggak semua hal harus kamu lakukan sekarang juga. Tugas penting memang, tapi kesehatan mental juga nggak kalah penting. Kalau sudah terlalu berat, nggak apa-apa kok minta bantuan atau diskusi sama guru/dosen untuk cari solusi.

Jaga keseimbangan hidup

Sisihkan waktu untuk hal-hal yang kamu suka, selain belajar.  Main musik, gambar, nonton film, olahraga, apa aja yang bikin kamu merasa lebih hidup, nggak cuma jadi robot tugas.

Cari dukungan

Kalau kamu merasa burnout-nya makin parah dan mengganggu aktivitas sehari-hari, jangan ragu cari bantuan profesional. Konselor sekolah, psikolog, atau layanan kesehatan mental bisa jadi tempat curhat yang aman dan membantu kamu pulih. 

Jumat, 11 April 2025

Punya Hobi Main Sosmed? Kenapa Nggak Sekalian Jadi Cuan?

 


Kamu suka scroll-scroll TikTok, bikin konten IG, atau pantengin FYP sampe tengah malam? Selamat, kamu nggak sendirian! Sekarang tuh hampir semua orang hidupnya nempel banget sama internet. Bahkan, data dari Kominfo bilang kalau ada 129 juta orang Indonesia yang aktif di medsos, dan rata-rata habisin waktu 3,5 jam sehari cuma buat online.

Tapi, daripada cuma scrolling doang, gimana kalau hobi medsosan kamu itu di-upgrade jadi sumber penghasilan? Yes, sekarang banyak banget anak muda yang udah jadi konten kreator, influencer, atau jualan online hanya modal akun medsos. Dunia digital udah berubah banget—nggak cuma tempat buat curhat atau stalking mantan, tapi juga ladang buat cari cuan.

Nah, buat kamu yang kepo gimana caranya, yuk kenalan dulu sama cara-cara dapet duit dari medsos!

 1. Dapet Bayaran dari Brand

Pernah nggak liat selebgram atau TikTokers yang review produk dan bilang “ini bukan iklan ya, tapi emang suka”? Eits, itu biasanya konten bersponsor. Menurut laporan We Are Social 2023, 70% influencer di Indonesia dapet duit utama dari kerja sama brand. Jadi mereka dibayar buat promosi produk lewat foto, video, atau review.

Seru kan? Kamu bisa tetep jadi diri sendiri, bikin konten yang kamu suka, sambil dapet penghasilan.

 2. Jadi Youtuber atau TikToker Aktif

Kalau kamu suka bikin video, YouTube dan TikTok punya program monetisasi. Jadi, semakin banyak yang nonton video kamu, makin besar juga peluang dapet duit dari iklan.

Misalnya nih, YouTuber dengan 1 juta subscriber bisa dapet sekitar 3.000–5.000 USD per bulan. Tapi ingat ya, ini tergantung dari jumlah views, durasi video, dan asal penonton.

TikTok juga punya program kayak Creator Fund dan Live Gift. Walau penghasilannya nggak sebesar YouTube, tapi lumayan banget kalau digabung sama sponsor dan jualan barang.

3. Jualan Produk atau Jasa Sendiri

Kamu jago desain? Suka nulis? Atau punya ide merchandise lucu? Banyak konten kreator sekarang yang jualan produk sendiri, mulai dari kaos, tote bag, e-book, sampai kursus online. Selain nambah penghasilan, ini juga bantu ngebangun personal branding kamu loh!

Nielsen bilang, 92% orang lebih percaya rekomendasi dari kreator yang mereka ikutin daripada iklan biasa. Jadi kalau kamu punya followers yang loyal, mereka lebih gampang percaya dan beli produkmu.

 4. Ikut Program Afiliasi

Kamu sering liat kalimat “Cek link di bio ya”? Nah itu adalah bagian dari affiliate marketing. Jadi kamu share link produk, dan kalau ada yang beli lewat link itu, kamu dapet komisi!

Contohnya kayak Shopee Affiliate Program atau TikTok Shop Affiliate. Simpel dan nggak perlu repot stok barang. Cocok banget buat yang baru mulai nyari cuan dari medsos.

Intinya Sihhhh…

Medsos bukan cuma tempat buat pamer outfit atau lihat dance challenge. Kalau dimanfaatin dengan kreatif dan konsisten, kamu bisa banget dapetin penghasilan dari sana.

Mulai dari konten bersponsor, jadi kreator YouTube/TikTok, jualan produk, sampai ikut affiliate—all of it bisa kamu coba! Yang penting, temukan gaya kamu sendiri, terus konsisten dan nggak gampang nyerah.

Siapa tahu, hobimu main medsos bisa jadi jalan kamu jadi boss muda.

Penulis, Hajirah Ali

Nggak Mau Ketinggalan Tren? Hati-Hati Sama FoMO!





Zaman sekarang, siapa sih yang nggak main media sosial? Mulai dari upload daily life, ikut challenge, sampe share info menarik—semuanya bisa banget dilakuin di medsos. Apalagi banyak banget tren dari para konten kreator yang viral dan langsung bikin kita pengen ikutan. Tapi, kadang karena saking banyaknya info dan tren baru, kita jadi takut ketinggalan. Takut gak update itu yang biasa disebut FoMO alias Fear of Missing Out.

FoMO ini muncul waktu kita ngerasa semua orang ngalamin hal seru, tapi kita nggak. Misalnya, temen-temen pada healing ke Bali, eh kamu masih stuck di kamar. Atau semua orang lagi bahas trend dance TikTok baru, dan kamu belum sempet nonton—langsung deh muncul rasa nggak mau kalah dan buru-buru nyusul.

TikTok sendiri jadi salah satu aplikasi yang super booming, bukan cuma di Indonesia tapi juga dunia. Di 2023 aja, pengguna medsos di Indonesia udah tembus 99,1 juta orang! Nggak heran sih kalau medsos makin nempel di keseharian kita. Tapi, makin sering kita scroll, makin besar juga kemungkinan kita ngalamin kecemasan sosial kayak FoMO tadi.

Jadi, FoMO tuh kayak dorongan buat selalu terhubung sama dunia online—biar nggak merasa ditinggalin. Kita jadi ngerasa wajib banget tahu update terkini, walau itu bikin capek sendiri. Ciri-ciri FoMO tuh contohnya:

  1. Nggak bisa jauh dari HP. Rasanya gatal banget kalau belum buka IG, TikTok, atau WA.
  2. Lebih milih ngobrol di DM daripada ketemu langsung.
  3. Sering ke-distract sama postingan orang atau FYP yang seolah lebih seru dari hidup kita.

Menurut penelitian, remaja itu emang paling rentan kena FoMO. Mereka takut banget kehilangan momen bareng temen, apalagi kalau itu viral. Kadang, kita jadi maksa ikut lifestyle yang sebenernya bukan diri kita, cuma biar “nempel” sama circle atau biar diakui di medsos.

Ada juga yang mikir, posting di media sosial itu wajib. Kalau nggak upload, takut nggak dianggap eksis. Akhirnya, banyak yang jadi overposting, atau ikut tren cuma demi validasi. Padahal, hidup kita nggak harus selalu keliatan keren di internet, ya gak?

Parahnya, FoMO ini bisa ngaruh ke kesehatan mental. Karena terus-terusan bandingin diri sama orang lain di medsos, kita jadi lebih gampang stres, insecure, dan ngerasa hidup kita kurang banget. Lama-lama, itu bisa bikin kualitas hidup turun. Dikit-dikit cemas, dikit-dikit ngerasa gak cukup.

Makanya, penting banget buat kita—anak muda apalagi Gen Z—buat paham dampak dari FoMO. Jangan sampai kita terjebak dalam siklus ngejar validasi terus-terusan. Media sosial itu seru, tapi jangan sampai kita dikontrol olehnya. Gunain aja seperlunya, buat hal yang bikin kita bahagia dan berkembang.

Senin, 24 Maret 2025

Perundungan di Media Sosial: Apa sih Dampaknya?


 

Di zaman sekarang, teknologi berkembang super cepat, terutama media sosial. Semua orang dari berbagai kalangan, termasuk anak muda, pasti sudah nggak asing lagi sama platform kayak Instagram, TikTok, atau Twitter. Media sosial memang banyak manfaatnya, tapi sayangnya, bisa jadi tempat subur buat masalah sosial yang serius, salah satunya perundungan (bullying). Artikel ini bakal bahas tentang perundungan di media sosial, apa aja penyebabnya, dan gimana cara nyelesainnya. Semoga bisa nambahin kesadaran kita untuk bikin dunia digital yang lebih aman dan nyaman, khususnya buat anak muda.

Salah satu contoh kasunya adalah tragedi influencer Malaysia yang bunuh diri karena nggak tahan di-bully di media sosial. Perundungan di media sosial emang masalah besar, karena sifatnya yang mudah diakses dan jangkauan globalnya yang super luas. Ada beberapa faktor yang bikin perundungan makin parah, salah satunya adalah anonimitas. Pelaku bisa nyembunyiin identitasnya dan merasa lebih berani nge-bully tanpa takut ketahuan atau dihukum. Selain itu, media sosial juga kurang pengawasan, jadi banyak pelaku yang bisa nyebarin konten merugikan tanpa takut ditindak.

Salah satu kasus yang bikin heboh adalah kejadian di Malaysia, dimana seorang influencer bernama Rajeswary Appahu bunuh diri setelah di-bully di media sosial. Berdasarkan laporan dari Liputan 6, setelah dilakukan penyelidikan, ternyata ada dua orang yang jadi pelaku perundungan ini. Salah satunya adalah pemilik panti jompo, Shalini Periasamy, yang didenda RM100 (sekitar Rp. 356.700) karena komentar nggak pantas di TikTok. Yang satunya lagi, seorang sopir truk, Sathiskumar, dijatuhi hukuman penjara selama 1 tahun karena menyerang Rajeswary secara verbal lewat akun TikTok-nya.

Sayangnya, meskipun udah ada proses hukum, dampak perundungannya sangat besar. Rajeswary ditemukan meninggal di rumahnya pada 5 Juli 2024 setelah lebih dari sebulan di-bully tanpa henti. Insiden ini bikin publik Malaysia marah dan membuka mata banyak orang tentang bahaya perundungan di dunia maya, apalagi untuk perempuan.

Perundungan di media sosial bukan cuma masalah sepele. Ada banyak faktor yang bikin hal ini berkembang, seperti anonimitas pelaku, kurangnya pengawasan, budaya cyberbullying, dan tekanan sosial. Semua ini bisa ngasih dampak yang sangat buruk bagi korban, bahkan bisa berujung pada bunuh diri.

Untuk ngurangin perundungan di media sosial, kita perlu pendekatan yang lebih holistik, bukan cuma hukuman buat pelaku, tapi juga dengan menciptakan lingkungan digital yang positif dan mendukung. Salah satu caranya adalah dengan edukasi sejak dini. Kita harus ngajarin tentang etika digital, tanggung jawab online, dan pentingnya empati. Pendidikan ini gak cuma buat anak-anak dan remaja, tapi juga buat orang tua dan pendidik supaya mereka bisa lebih ngerti dunia digital, ngawasin aktivitas online, dan ngasih dukungan yang tepat. Sekolah juga perlu masukin pendidikan tentang literasi media ke dalam kurikulumnya.

Selain itu, platform media sosial juga punya peran penting. Mereka harus memperbaiki fitur pelaporan, respons cepat terhadap laporan perundungan, dan bikin algoritma yang bisa deteksi konten bullying. Platform juga harus punya kebijakan tegas soal perundungan dan transparan dalam proses penanganannya, biar pengguna bisa percaya dan merasa aman. Kerja sama antara platform dan organisasi anti-perundungan juga penting buat bikin solusi yang lebih efektif.

Jadi, ayo kita bareng-bareng buat menciptakan lingkungan digital yang lebih sehat, bebas dari perundungan!

Fenomena Affiliate Marketing

 


Sekarang ini, media sosial udah jadi bagian gak terpisahkan dari kehidupan anak muda, ya kan? Gak cuma buat ngobrol sama temen, tapi juga jadi tempat buat cari uang. Salah satunya lewat affiliate marketing. Jadi, affiliate marketing itu model bisnis di mana orang bisa dapetin komisi dengan promosiin produk atau layanan orang lain. Ini nih yang jadi tren di kalangan anak muda, yang pengen cari penghasilan tambahan lewat media sosial. Nah, artikel ini, kita bakal bahas gimana affiliate marketing berkembang di kalangan anak muda, dan apa aja strategi yang dipake buat manfaatin kesempatan ini.

Anak muda sekarang makin terbuka sama peluang buat cari duit lewat internet. Salah satu cara yang paling hits adalah affiliate marketing, di mana mereka bisa promosiin produk tanpa harus punya atau ngelola stok barang. Instagram, YouTube, dan TikTok jadi platform yang banyak dipake buat ini. Kenapa? Karena media sosial ngasih kesempatan buat menjangkau banyak orang, bahkan dari luar negeri sekalipun! Jadi, anak muda di Indonesia bisa promosiin produk dari brand di Eropa atau Amerika, dan tetep dapet komisi.

Selain itu, banyak juga yang terinspirasi sama influencer atau content creator yang udah sukses di affiliate marketing. Mereka sering banget cerita tentang gimana caranya dapet duit dari promosi produk, yang bikin anak muda lain pengen ikutan. Platform besar seperti Amazon dan Shopee juga bikin program afiliasi yang gampang diikuti, jadi makin banyak deh anak muda yang tertarik.

Anak muda kan kreatif banget ya, jadi mereka sering bikin konten yang menarik dan bisa viral. TikTok contohnya, jadi tempat yang super efektif buat bikin video yang nunjukin gimana cara pake produk sambil nyelipin link afiliasi. Gaya bahasa yang ringan dan tren terkini juga bikin audiens merasa dekat dan relate banget sama konten yang dibikin. Misalnya, ada remaja yang bikin video seru tentang cara pake sepatu terbaru, ini jadi menarik banget buat orang yang nonton, apalagi kalo kontennya lucu dan informatif.

Anak muda juga suka banget ngasih review jujur tentang produk yang mereka coba. Ini ngebantu banget buat bangun kepercayaan sama audiens. Di Instagram misalnya, banyak yang bikin post atau story sambil nunjukin produk yang mereka pakai, lengkap dengan link afiliasinya. Testimoni dari temen sebaya lebih dipercaya daripada iklan yang langsung dari brand. Jadi, kalo anak muda bisa berbagi pengalaman yang nyata dan authentic, audiens bakal lebih percaya dan mungkin bakal beli produk yang direkomendasiin.

Banyak banget anak muda yang kolaborasi sama influencer buat memperluas jangkauan mereka. Influencer ini kan punya banyak pengikut, jadi kerja bareng mereka dalam program afiliasi bisa ngebantu affiliate marketers buat dapetin penghasilan lebih besar. Misalnya di Instagram atau YouTube, influencer dan affiliate marketers sering kolaborasi lewat giveaway atau challenge yang ngajak audiens buat beli produk lewat link afiliasi. Ini jelas ngebantu banget buat ningkatin penjualan.

Buat ngejamin konten mereka bisa ditemukan banyak orang, affiliate marketers sering pake hashtag yang lagi ngetren dan strategi SEO yang tepat. Hashtag yang tepat bisa ngebantu mereka supaya konten mereka sampai ke audiens yang lebih spesifik. Misalnya, kalo ada yang promosiin skincare, hashtag kayak #skincare atau #beautytips bisa bikin konten mereka lebih mudah ditemukan. Begitu juga di YouTube, optimasi video dengan kata kunci yang tepat bisa bikin video muncul di pencarian, bikin lebih banyak orang yang nonton.

Fenomena affiliate marketing gak cuma jadi cara buat dapetin penghasilan, tapi juga ngubah cara anak muda konsumsi produk. Banyak brand yang sadar kalau pasar anak muda aktif di media sosial, jadi mereka pake strategi affiliate marketing buat nyampein produk mereka. Ini juga buka kesempatan buat anak muda jadi wirausaha digital meskipun gak punya produk sendiri. Misalnya brand fashion atau kosmetik sering kerja bareng affiliate marketers buat promosiin produk mereka. Ini ngebantu banget buat memperluas jangkauan dan ningkatin kredibilitas di mata audiens muda.

Tapi, ada tantangannya juga, loh. Terlalu banyak promosi tanpa pengawasan bisa bikin audiens kehilangan kepercayaan. Konsumerisme berlebihan juga bisa bikin kebiasaan beli tanpa mikir. Makanya, affiliate marketing perlu dikelola dengan hati-hati biar gak cuma jadi ajang promosi yang bikin orang gak percaya lagi.

Salah satu influencer Indonesia yang sukses banget di affiliate marketing adalah Rachel Goddard. Dia aktif banget di YouTube dan Instagram, dan bisa sukses banget dengan gabungin passion-nya di dunia kecantikan, fashion, dan lifestyle dengan peluang bisnis di media sosial. Rachel sering banget nge-review produk-produk yang bisa dibeli lewat e-commerce besar seperti Tokopedia, lengkap dengan link afiliasi. Setiap kali ada pengikut yang beli lewat link itu, Rachel dapet komisi. Keberhasilannya buktiin kalo anak muda di Indonesia bisa banget manfaatin media sosial buat ngembangin pendapatan tanpa harus punya produk sendiri.

Yang bikin Rachel sukses adalah kemampuannya bikin konten yang autentik dan relatable. Dia gak cuma sekedar promosiin produk, tapi juga ngasih review jujur, jadi pengikutnya lebih percaya sama rekomendasinya. Misalnya, di video tutorial makeup, dia gak cuma nunjukin cara pakai produk, tapi juga kasih info soal kelebihan dan kekurangannya, jadi pengikutnya bisa ngerasa lebih yakin buat beli lewat link afiliasi yang dia kasih. Rachel juga pintar milih produk yang sesuai sama minat audiensnya, seperti produk kecantikan dan fashion yang lagi tren.

Jadi, ini buktikan kalo dengan kreativitas, konsistensi, dan konten yang berbasis kepercayaan, affiliate marketing bisa jadi jalan sukses buat anak muda di dunia digital.

Fenomena Flexing: Pameran Mewah di Media Sosial, Realita atau Ilusi?



Di zaman sekarang, media sosial udah jadi tempat utama buat orang-orang nge-share kehidupan mereka. Ada banyak hal positif dari media sosial, tapi nggak sedikit juga yang bikin drama—salah satunya adalah fenomena flexing.

Buat yang belum familiar, flexing itu semacam ajang pamer kekayaan, entah itu barang branded, liburan mewah, atau saldo ATM yang fantastis. Tapi yang jadi pertanyaan, apakah semua yang dipamerin itu benar-benar real, atau cuma buat pencitraan doang?

Tren flexing ini makin rame gara-gara banyak influencer yang hobi banget nunjukin gaya hidup mewah mereka. Bahkan, ada penelitian dari Ety Nurhayat dan Rakhmaditya Dewi Noorriziki yang bilang kalau flexing sering dikaitin sama self-esteem alias kepercayaan diri seseorang. Beberapa influencer bahkan sampai terlibat kontroversi gara-gara ketahuan kalau kekayaan yang mereka pamerin ternyata nggak sesuai realita!

Salah satu contoh tren flexing yang sempat viral adalah review saldo ATM. Banyak orang yang ikut-ikutan nunjukin isi rekening mereka di media sosial. Tapi, tren ini malah memicu perdebatan. Ada yang kagum, ada yang insecure, dan ada juga yang ngerasa flexing kayak gini nggak ada etikanya.

Nggak cuma soal citra diri, flexing juga berdampak ke kesehatan mental. Penelitian lain yang berjudul Flexing di Instagram, Antara Narsisme dan Benefit” bilang kalau kebiasaan pamer ini bisa bikin pelakunya stres karena harus terus mempertahankan image mewahnya. Sementara buat netizen yang liat, bisa jadi malah minder dan ngerasa hidup mereka jauh dari standar kemewahan di media sosial.

Uniknya, tren flexing ini juga dimanfaatin sama banyak brand sebagai strategi pemasaran. Banyak produk yang pakai influencer dengan gaya hidup mewah buat branding mereka, biar kesan eksklusifnya “nular” ke produk tersebut. Bahkan, ada brand yang sengaja bikin konten ala-ala flexing supaya keliatan lebih premium dan menarik konsumen.

Jadi, flexing ini sebenarnya fenomena yang kompleks—bisa jadi representasi kesuksesan, bisa juga sekadar cari validasi. Apapun itu, baik influencer, brand, maupun netizen perlu lebih bijak dalam menyikapi tren ini, biar media sosial nggak cuma jadi ajang pamer, tapi juga tempat yang lebih positif buat semua orang.

Kamis, 06 Maret 2025

INDONESIA GELAP, SEGELAP APA?

 




Indonesia gelap, dua kata yang beredar di sosial media saat ini. Ada yang menganggapnya sebagai lelucon dan angin lalu, sebagian lagi menanggapinya seolah negeri tercinta kita akan segera runtuh esok hari. Namun sebagai generasi muda, kita harus bijak dalam menyikapi hal-hal yang beredar di media sosial.  Lantas apa arti dari “Indonesia gelap” dan bagaimana kita harus menanggapinya?

#Indonesiagelap adalah tagar yang awalnya beredar dari sosial media X. Tagar tersebut digunakan untuk menyuarakan keresahan masyarakat atas permasalahan yang sedang terjadi di Indonesia, terutama yang terjadi pada masa kepemimpinan presiden republik Indonesia ke 8 ini.           

Salah satu masalah yang sering diperbincangkan oleh masyarakat adalah keputusan pemerintah untuk melakukan efisiensi anggaran pada sejumlah lembaga kementrian di Indonesia, seperti Kementrian Pendidikan Dasar dan Menengah (KEMENDIKDASMEN), masyarakat khawatir bahwa pemotongan anggaran ini akan berdampak pada masa depan generasi muda saat ini. Selain itu Lembaga Pemerintah Non Kementrian (LPNK) seperti Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) turut terkena dampak dari efisiensi anggaran ini, mengurangi akurasi dari prediksi yang diberikan menjadi 60%.

Selain itu, masyarakat juga khawatir terhadap hak kebebasan berekspresi yang sekarang semakin sulit untuk digunakan. Berbagai karya yang mengkritik pemerintahan saat ini dibungkam satu per satu, contohnya lagu “Bayar Bayar Bayar” yang dibuat oleh band sukatani ditarik dari peredaran dan band tersebut mengunggah video klarifikasi setelah mengalami tekanan dan intimidasi, bahkan salah satu anggota band tersebut mengalami pemecatan dari tempat kerjanya setelah rilisnya lagu tersebut. Karya lain yang “menghilang” setelah menyinggung pihak pemerintahan adalah salah satu lukisan karya Rokhyat yang berjudul “Tikus dalam Burung Garuda”, lukisan tersebut diturunkan dari pameran seni agar menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, seperti pameran tunggal Yos Suprapto yang dibatalkan karena ada masalah dengan karyanya yang menyinggung tokoh politik.    

Berdasarkan argumen yang saya sebutkan di atas, seluruh permasalahan yang terjadi saat ini diakibatkan oleh keputusan pemerintah yang kurang memuaskan bagi masyarakat, kepemimpinan yang anti kritik, serta korupsi dan nepotisme yang masih terjadi dalam pemerintahan. Kita sebagai generasi muda tidak boleh menutup mata atas kesulitan yang dialami negara kita, kita harus mempertahankan nilai moral dan pancasila, agar tidak habis digerogoti tikus yang bersembunyi di dalam pemerintahan. Tugas kita adalah belajar dengan giat untuk menjaga masa depan negeri ini, karena para pemuda adalah cerminan masa depan bangsa.

Sabtu, 25 Januari 2025

PENDIDIKAN DIKEBIRI: ORANG TUA ADIDAYA, GURU DAN SEKOLAH APA DAYA?

 


Jika boleh saya menyebut bahwa pendidikan adalah proses memperkaya pengetahuan dan pengalaman, mengasah keterampilan dan menanamkan sikap/karakter kepada seseorang. Secara sederhana kita artikan bahwa pendidikan merupakan proses transformasi dari satu generasi kepada generasi lain, Minhaji (2018).

Kita semua tentu tahu, bahwa pendidikan merupakan fondasi utama dalam membangun peradaban. Namun, dalam praktiknya sistem pendidikan kita sering kali menghadapi masalah dan tantangan yang cukup kompleks. Ada begitu banyak isu yang tidak sederhana sering terjadi dan memicu adanya konflik antar berbagai pihak, salah satunya pergeseran peran antar orang tua, guru dan sekolah. Dimana peran guru dan sekolah tidak lagi memiliki marwah sebagai ekosistem utuh yang seharusnya dapat memfasilitasi semua kebutuhan dalam pendidikan. Sedangkan orang tua, secara langsung sering kali mendominasi peran dan tanggungjawab yang seharusnya dikerjakan oleh guru dan sekolah. Hal ini justru menyebabkan terjadinya ketimpangan dalam pelaksanaan pendidikan itu sendiri. Dengan berat hati saya harus mengatakan bahwa pendidikan kita telah dikebiri oleh orang tua yang adidaya, sementara guru dan sekolah apa daya?

Orang Tua, Antara Peran Pendukung dan Adidaya

Sebenarnya, peran orang tua terhadap pendidikan anak sangatlah penting. Mulai dari menyiapkan rencana jangka panjang baik dari keuangan, sampai pada outcome pekerjaan yang diharapkan. Hal ini tentu akan terlihat pada bagaimana keseriusan orang tua mengurusi persiapan pendidikan untuk anak-anak mereka. Memilih sekolah terbaik dan terjangkau versi mereka, sampai pada menyediakan fasilitas sekolah seperti buku dan pakaian—sebatas itu. Mungkin sesekali orang tua boleh mengontrol pertumbuhan anaknya di sekolah. Membangun komunikasi dan kolaborasi dengan pihak sekolah untuk memastikan anaknya mendapatkan pendidikan yang semestinya, sebagaimana yang dijelaskan dalam jurnal Kholil (2021). Mirisnya, alih-alih menjalankan peran sebagaimana mestinya, membangun komunikasi dan kolaborasi positif dengan pihak sekolah, masih ada orang tua yang tampaknya mulai mengambil alih peran guru dan sekolah. Para orang tua ini biasanya sangat mendominasi bahkan mendikte bagaimana metode pengajaran yang dilakukan oleh guru, kebijakan sekolah, bahkan lebih mirisnya lagi, ada-ada saja orang tua yang “merasa adidaya” dengan relasi kuasanya, atau mungkin posisi dan jabatannya, sehingga bersikap super power untuk menekan para guru agar memberikan perlakuan khusus kepada anak-anak mereka. Hal ini adalah kedok yang mereka lakukan dengan alasan “demi kebaikan anak”.

Akibatnya, otonomi guru sebagai pendidik mulai terkikis, lalu sekolah, dengan menyesal harus saya katakan tidak lagi menjadi tempat pendidikan yang layak, melainkan menjadi tempat lahirnya generasi-generasi “adidaya” berikutnya, sehingga proses ini pada akhirnya menjadi pola yang berulang setiap waktu dan setiap generasinya. Para orang tua adidaya ini mulai mengabaikan fungsi komunikasi dan kolaborasi yang seharusnya memberikan dukungan, selagi masih dalam batas wajar dan sesuai aturan yang berlaku, maka percayakan pendidikan anaknya kepada guru dan sekolah tempat mereka menempuh pendidikan. Ketidakseimbangan ini jika dibiarkan terus terjadi, hanya akan memengaruhi kualitas pengajaran di sekolah, termasuk dapat menciptakan atmosfer yang tidak kondusif di lingkungan sekolah itu sendiri.

Guru dan Sekolah, Apa Daya?

Akibat adanya orang tua yang adidaya ini, membuat guru dan sekolah berada dalam posisi yang serba salah. Guru sebagai pendidik mulai kehilangan otoritasnya sebagai tenaga professional yang dipercayakan untuk menjalankan aktivitas pendidikan yang ideal bagi generasi. Mereka diharapkan menjadi tauladan dalam pendidikan, harus kreatif dan inovatif—namun di saat yang sama, mereka dibatasi oleh intervensi orang tua dan administrasi yang masih terbilang kaku.

Bukan hanya guru, bahkan sekolah yang menjadi institusi pendidikan formal juga menghadapi dilema yang terbilang besar. Bagaimana tidak, ketika kebijakan sekolah dianggap bertentangan dengan kehendak orang tua yang selalu berdalih “demi kebaikan anak”, sekolah kerap kali dipaksa untuk mengalah. Apalagi, di tengah keterbukaan informasi saat ini, dan adanya kekuatan media sosial, tak’ jarang sekolah justru menjadi objek kritik publik—dimana hal ini berdampak pada reputasi sekolah itu sendiri. Jika sudah begini, guru dan sekolah apa daya? Selain mendidik dengan apa adanya dan sewajarnya saja. Tidak peduli apa yang terjadi pada peserta didiknya, yang penting sudah melaksanakan kewajiban mengajar, menjalankan perintah kurikulum—maka selesai pula urusan dengan anak-anak dari orang tua yang adidaya ini. Akibatnya, orang tua yang kooperatif juga harus menanggung dan merasakan dampaknya.

Dampaknya!

Mari kita diskusikan, apa yang akan terjadi jika pendidikan “dikebiri” oleh dominasi orang tua semacam ini? Tentu dampaknya tidak hanya dirasakan oleh guru dan sekolah saja, anak-anak akan menjadi bingung akan otoritas yang mereka ikuti. Di satu sisi, mereka diajarkan untuk menghormati guru; di sisi lain, mereka justru menyaksikan bagaimana orang tua mereka merednahkan guru bahkan menyepelekan kebijakan atau regulasi yang berlaku di sekolah.

Jika kita telisik lebih jauh lagi, sistem pendidikan yang telah terdistorsi seperti ini akan melahirkan generasi yang kurang mandiri dan tidak siap menghadapi tantangan di dunia nyata. Hal ini disebabkan adanya ketergantungan pada perlindungan dan intervensi dari orang tua yang sebenarnya dapat menghambat perkembangan karakter anak, dalam hal ini tanggungjawab, kedisiplinan, etika, termasuk kemampuan dalam berpikir kritis.

Komunikasi yang sehat dan Kolaborasi yang Positif Menuju Pendidikan yang Seimbang

Lalu, apakah fenomena ini tak’ dapat diatasi? Solusinya cukup sederhana namun membutuhkan usaha yang serius pula. Perlu adanya sinergi yang lebih baik antara orang tua, guru, dan sekolah. Masing-masing pihak ini harus memahami dan menjalankan perannya dengan baik dan berkomitmen untuk bekerja sama demi kepentingan anak/generasi penerus. Guru perlu didukung dengan pelatihan dan kebijakan yang dapat memperkuat posisi serta potensi mereka di dalam mendidik. Orang tua, memiliki peran sebagai mitra sekolah yang mendukung pertumbuhan anak-anak mereka di sekolah, bukan pemegang kendali tunggal yang memaksakan kehendak pribadinya saja. Sekolah harus lebih terbuka dalam penyelarasan visi dan misi, kebijakan atau regulasi pendidikan dengan semua pihak, termasuk para orang tua.

Kita semua perlu menyadari ini, dimana pendidikan bukanlah arena kekuasaan yang didominasi oleh satu pihak saja. Pendidikan adalah ekosistem yang saling membutuhkan, memberikan keseimbangan dan kolaborasi positif. Jika semua pihak ini dapat menjalankan perannya dengan baik, maka pendidikan yang utuh dan berkualitas dapat tercipta sebagai realitas yang dapat diwujudkan untuk kemajuan generasinya.


Referensi:

  • Kholil, A. (2021). Kolaborasi Peran serta Orang Tua dan Guru dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Secara Daring. Jurnal Pendidikan Guru, 2 (1)
  • Minhaji, A. M. (2018). Otonomi dan Reformasi Pendidikan. Edupedia, 3 (1)




Rabu, 18 Desember 2024

OTONOMI DAERAH DALAM PERSPEKTIF HUKUM KONSTITUSI

 


OLEH: ANDI ASWAR

Mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum 

Fakultas Hukum

Universitas Negeri Gorontalo


Otonomi daerah merupakan elemen krusial dalam sistem pemerintahan Indonesia yang mendukung desentralisasi. Dengan memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, otonomi ini diharapkan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini penting untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik lokal, sehingga pembangunan dapat lebih merata dan relevan dengan kondisi masyarakat setempat.

Namun, pelaksanaan otonomi daerah tidak tanpa tantangan. Ketidakjelasan dalam alokasi kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah sering kali menimbulkan konflik kepentingan, terutama dalam hal anggaran dan tanggung jawab. Keterbatasan sumber daya manusia dan keuangan di tingkat pusat juga menjadi hambatan dalam mendukung pelaksanaan otonomi daerah secara efektif. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah pusat untuk memperjelas pembagian kewenangan dan meningkatkan dukungan terhadap daerah.

Peran konstitusi dalam menjaga keseimbangan antara otonomi pusat dan daerah sangatlah penting. Melalui pengaturan yang jelas mengenai kewenangan, konstitusi memberikan dasar hukum yang kuat untuk pelaksanaan otonomi daerah yang akuntabel. Pengawasan oleh lembaga independen dan masyarakat sipil juga perlu diperkuat untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan kebijakan daerah. Dengan demikian, diharapkan dapat tercipta hubungan yang harmonis antara kepentingan nasional dan kebutuhan lokal.

Untuk mengatasi tantangan yang ada, langkah-langkah strategis perlu diambil. Penguatan regulasi, peningkatan kapasitas daerah, dan pemanfaatan teknologi digital dalam tata kelola pemerintahan dapat menjadi solusi untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi. Selain itu, kolaborasi yang baik antara pemerintah pusat dan daerah sangat penting untuk mencapai tujuan otonomi daerah. Dengan upaya bersama, diharapkan otonomi daerah dapat berfungsi sebagai instrumen yang efektif dalam memperkuat integrasi nasional dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Secara keseluruhan, otonomi daerah memiliki potensi besar untuk mendorong pembangunan yang lebih inklusif dan merata di Indonesia. Namun, tantangan yang ada harus diatasi dengan pendekatan yang komprehensif dan kolaboratif. Dengan dukungan yang tepat dari pemerintah pusat dan partisipasi aktif masyarakat, otonomi daerah dapat menjadi pendorong utama dalam menciptakan pemerintahan yang lebih baik dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat di seluruh Indonesia.

Menjaga Hak Konstitusional Warga Negara Dalam Perlindungan Kebocoran Data Pribadi

 


Penulis: Fitria, dkk

Universitas Negeri Gorontalo


Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang pesat, khususnya dalam bentuk digitalisasi, telah membawa dampak signifikan terhadap kehidupan sosial, ekonomi, dan politik di seluruh dunia. Meskipun teknologi pada era digital ini membawa kemajuan yang signifikan sangat besar di Indonesia.

Namun, pada era saat ini transformasi digital juga dapat menimbulkan ketidaksetaraan dalam akses dan pemanfaatan teknologi yang dapat memperdalam kesenjangan sosial dan ekonomi. Selain itu, juga dapat membuka ruang untuk penyalahgunaan data pribadi dan hak privasi seseorang. Sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Pasal 28 G ayat (1): “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawa kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu”.

Tetapi terdapat tantangan yang dihadapi oleh pemerintah mengenai perlindungan hak privasi pada saat ini, yaitu maraknya pembobolan data pribadi masyarakat. Kebocoran data yang melibatkan jutaan pengguna harus menjadi peringatan serius bahwa negara harus memperkuat regulasi dan mewajibkan untuk menjaga privasi warga negaranya sendiri.

Kemudian, telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 Tentang Pelindungan data pribadi apabila terjadi kebocoran data yang telah merugikan subjek data diri seseorang. Nah, UU ini bertujuan untuk melindungi hak warga negara agar tidak terjadi penyalahgunaan data pribadi seseorang dan menyadarkan masyarakat akan pentingnya menjaga data pribadi kita sendiri. Terdapat juga sanksi pidana bagi pelaku penyebaran data pribadi yang bukan miliknya diatur dalam UU tersebut, yakni salah satunya penjara paling lama 5 tahun dan dikenakan denda paling banyak 5 miliar.

Jadi, penting untuk kita sebagai warga negara yang patuh terhadap aturan negara untuk meminimalisir terjadinya kebocoran data yang terjadi, kita sudah seharusnya menggunakan platfrom digital dengan positif, serta membatasi untuk mengekspos yang bersangkutan dengan data diri, contohnya seperti alamat rumah, nomor telepon, tanggal lahir dan lainnya yang bersangkutan pada privasi yang tidak boleh diketahui orang lain, bahkan orang yang tidak kita kenal.

Menyongsong Pemilu berkeadilan dalam Dinamika Sistem Hukum Konstitusi Indonesia


Penulis: Larasati Pantuko, dkk.
Universitas Negeri Gorontalo 


Perwujudan demokrasi salah satunya diwujudkan melalui terselenggaranya pemilihan umum sebagai sarana legalitas dan legitimasi suksesi pemerintahan, pada Pasal 1 Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945” Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Salah satu instrumen untuk melaksanakan kedaulatan rakyat itu adalah melalui Pemilu yang digelar secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (Luber Jurdil). 

Dalam konstitusi, pemilu dinyatakan sebagai sarana kedaulatan rakyat—sebuah hak konstitusional yang dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945. Sayangnya, dinamika dari masa ke masa, kualitas demokrasi elektoral di Indonesia masih dihadapkan pada tantangan yang tak kunjung usai. Fenomena seperti politik uang, polarisasi berbasis identitas, serta kecurangan dalam proses pemilu masih menjadi “hantu” yang merongrong integritas demokrasi kita. Lantas, di manakah posisi pemilu kita hari ini?

Konstitusi kita, khususnya Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945, menegaskan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Pemilu menjadi instrumen untuk mewujudkan kedaulatan tersebut dengan prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (Luber Jurdil). Prinsip ini bukan sekadar jargon, melainkan sebuah komitmen hukum untuk memastikan setiap warga negara dapat menggunakan hak pilihnya secara bebas tanpa tekanan dan intimidasi. Namun, praktiknya tidak semulus itu. Politik transaksional kerap mendistorsi hak suara rakyat, menjadikannya komoditas dalam kontestasi elektoral. Hal ini diperparah dengan lemahnya pengawasan dan rendahnya tingkat edukasi politik di tengah masyarakat.

Jika kita melihat ke belakang, pemilu di Indonesia telah mengalami perjalanan panjang yang merefleksikan dinamika demokrasi. Pemilu pada tahun 1955, sebagai tonggak awal melahirkan optimisme rakyat pasca-kemerdekaan. Namun, pada era Orde Baru pemilu kehilangan substansi demokratisnya. Rakyat hanya menjadi penonton dalam formalitas politik, sementara rezim yang berkuasa terus mendominasi. Baru pada tahun 1999, reformasi membuka ruang bagi pemilu yang lebih bebas dan adil, sekaligus menandai kebangkitan demokrasi elektoral. Perubahan signifikan lainnya terjadi pada 2004 ketika sistem proporsional terbuka diperkenalkan, memungkinkan pemilih untuk memilih langsung calon legislatif berdasarkan suara terbanyak. Sistem ini menjadi harapan baru, meskipun diiringi berbagai tantangan seperti tingginya biaya politik dan persaingan internal partai yang tidak sehat.

Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menjadi pijakan hukum dalam memastikan pemilu yang demokratis dan berkualitas. Regulasi ini mengatur peran penting lembaga independen seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dalam memastikan penyelenggaraan pemilu yang adil dan transparan. Selain itu, Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai “the guardian of constitution” memiliki kewenangan menyelesaikan sengketa pemilu untuk menjamin keadilan. Sayangnya, meskipun regulasi telah diperbarui, pelaksanaannya masih menyisakan berbagai tantangan. Netralitas penyelenggara pemilu kerap dipertanyakan, sementara praktik curang dalam proses pemilu masih marak terjadi.

Pemilu seharusnya tidak hanya menjadi sarana pergantian kekuasaan, tetapi juga momentum pendidikan politik bagi rakyat. Partisipasi aktif dalam pemilu mencerminkan kepercayaan rakyat terhadap sistem demokrasi. Namun, jika pemilu terus dibayangi oleh praktik kotor seperti politik uang dan polarisasi identitas, maka esensi demokrasi akan semakin terkikis. Diperlukan penegakan hukum yang tegas terhadap setiap pelanggaran pemilu, peningkatan profesionalisme penyelenggara, serta edukasi politik yang masif dan berkelanjutan.

Pada akhirnya, pemilu adalah ujian bagi bangsa ini dalam menjaga janji konstitusi. Keberhasilannya tidak hanya diukur dari angka partisipasi pemilih, tetapi juga dari seberapa jauh pemilu mampu mencerminkan keadilan, transparansi, dan representasi. Pemilu yang berkualitas adalah cerminan dari demokrasi yang sehat, di mana rakyat benar-benar berdaulat atas pilihannya. Jika kita ingin Indonesia menjadi negara yang demokratis dan berkeadilan, maka pemilu harus menjadi fondasi utama dalam membangun kepercayaan rakyat terhadap demokrasi. Menjaga pemilu yang berkualitas berarti menjaga harapan demokrasi tetap hidup di negeri ini.


Total Tayangan Halaman

Kategori

Recent Posts

Tahukah kamu? Di Gorontalo ada museum keren yang penuh dengan sejarah luar biasa!

  Yup, namanya Museum Purbakala Popa Eyato ! Museum ini bukan sembarang museum, lho. Namanya diambil dari dua tokoh raja berpengaruh yang pe...

Quotes

"Sebelum berpikir untuk mengubah dunia, terlebih dulu ubahlah pikiranmu" Arsa Danialsa_

Quotes

"Tidak ada yang namanya kegagalan, yang ada hanyalah feedback" Arsa Danialsa_

Butuh Bantuan?

Nama

Email *

Pesan *