• Ingin Cerita Anda Menginspirasi Dunia | Coming Soon

    Di Zona Insight, kami percaya bahwa setiap individu dan kelompok memiliki cerita yang layak didengar. Kami hadir untuk membantu Anda mempublikasikan ide, pengalaman, atau prestasi agar menjangkau lebih banyak audiens.

  • Ayo Jadi Penulis di Zona Insight | Klik di sini untuk Daftar

    Manfaatkan kesempatan selama 3 bulan bersama Zona Insight untuk memberi dampak dan inspirasi lewat tulisan. Kamu juga akan dibekali pengetahuan dan keterampilan menulis oleh mentor Zona Insight, serta mendapatkan sertifikat penghargaan sebagai penulis inspiratif.

Sabtu, 25 Januari 2025

PENDIDIKAN DIKEBIRI: ORANG TUA ADIDAYA, GURU DAN SEKOLAH APA DAYA?

 


Jika boleh saya menyebut bahwa pendidikan adalah proses memperkaya pengetahuan dan pengalaman, mengasah keterampilan dan menanamkan sikap/karakter kepada seseorang. Secara sederhana kita artikan bahwa pendidikan merupakan proses transformasi dari satu generasi kepada generasi lain, Minhaji (2018).

Kita semua tentu tahu, bahwa pendidikan merupakan fondasi utama dalam membangun peradaban. Namun, dalam praktiknya sistem pendidikan kita sering kali menghadapi masalah dan tantangan yang cukup kompleks. Ada begitu banyak isu yang tidak sederhana sering terjadi dan memicu adanya konflik antar berbagai pihak, salah satunya pergeseran peran antar orang tua, guru dan sekolah. Dimana peran guru dan sekolah tidak lagi memiliki marwah sebagai ekosistem utuh yang seharusnya dapat memfasilitasi semua kebutuhan dalam pendidikan. Sedangkan orang tua, secara langsung sering kali mendominasi peran dan tanggungjawab yang seharusnya dikerjakan oleh guru dan sekolah. Hal ini justru menyebabkan terjadinya ketimpangan dalam pelaksanaan pendidikan itu sendiri. Dengan berat hati saya harus mengatakan bahwa pendidikan kita telah dikebiri oleh orang tua yang adidaya, sementara guru dan sekolah apa daya?

Orang Tua, Antara Peran Pendukung dan Adidaya

Sebenarnya, peran orang tua terhadap pendidikan anak sangatlah penting. Mulai dari menyiapkan rencana jangka panjang baik dari keuangan, sampai pada outcome pekerjaan yang diharapkan. Hal ini tentu akan terlihat pada bagaimana keseriusan orang tua mengurusi persiapan pendidikan untuk anak-anak mereka. Memilih sekolah terbaik dan terjangkau versi mereka, sampai pada menyediakan fasilitas sekolah seperti buku dan pakaian—sebatas itu. Mungkin sesekali orang tua boleh mengontrol pertumbuhan anaknya di sekolah. Membangun komunikasi dan kolaborasi dengan pihak sekolah untuk memastikan anaknya mendapatkan pendidikan yang semestinya, sebagaimana yang dijelaskan dalam jurnal Kholil (2021). Mirisnya, alih-alih menjalankan peran sebagaimana mestinya, membangun komunikasi dan kolaborasi positif dengan pihak sekolah, masih ada orang tua yang tampaknya mulai mengambil alih peran guru dan sekolah. Para orang tua ini biasanya sangat mendominasi bahkan mendikte bagaimana metode pengajaran yang dilakukan oleh guru, kebijakan sekolah, bahkan lebih mirisnya lagi, ada-ada saja orang tua yang “merasa adidaya” dengan relasi kuasanya, atau mungkin posisi dan jabatannya, sehingga bersikap super power untuk menekan para guru agar memberikan perlakuan khusus kepada anak-anak mereka. Hal ini adalah kedok yang mereka lakukan dengan alasan “demi kebaikan anak”.

Akibatnya, otonomi guru sebagai pendidik mulai terkikis, lalu sekolah, dengan menyesal harus saya katakan tidak lagi menjadi tempat pendidikan yang layak, melainkan menjadi tempat lahirnya generasi-generasi “adidaya” berikutnya, sehingga proses ini pada akhirnya menjadi pola yang berulang setiap waktu dan setiap generasinya. Para orang tua adidaya ini mulai mengabaikan fungsi komunikasi dan kolaborasi yang seharusnya memberikan dukungan, selagi masih dalam batas wajar dan sesuai aturan yang berlaku, maka percayakan pendidikan anaknya kepada guru dan sekolah tempat mereka menempuh pendidikan. Ketidakseimbangan ini jika dibiarkan terus terjadi, hanya akan memengaruhi kualitas pengajaran di sekolah, termasuk dapat menciptakan atmosfer yang tidak kondusif di lingkungan sekolah itu sendiri.

Guru dan Sekolah, Apa Daya?

Akibat adanya orang tua yang adidaya ini, membuat guru dan sekolah berada dalam posisi yang serba salah. Guru sebagai pendidik mulai kehilangan otoritasnya sebagai tenaga professional yang dipercayakan untuk menjalankan aktivitas pendidikan yang ideal bagi generasi. Mereka diharapkan menjadi tauladan dalam pendidikan, harus kreatif dan inovatif—namun di saat yang sama, mereka dibatasi oleh intervensi orang tua dan administrasi yang masih terbilang kaku.

Bukan hanya guru, bahkan sekolah yang menjadi institusi pendidikan formal juga menghadapi dilema yang terbilang besar. Bagaimana tidak, ketika kebijakan sekolah dianggap bertentangan dengan kehendak orang tua yang selalu berdalih “demi kebaikan anak”, sekolah kerap kali dipaksa untuk mengalah. Apalagi, di tengah keterbukaan informasi saat ini, dan adanya kekuatan media sosial, tak’ jarang sekolah justru menjadi objek kritik publik—dimana hal ini berdampak pada reputasi sekolah itu sendiri. Jika sudah begini, guru dan sekolah apa daya? Selain mendidik dengan apa adanya dan sewajarnya saja. Tidak peduli apa yang terjadi pada peserta didiknya, yang penting sudah melaksanakan kewajiban mengajar, menjalankan perintah kurikulum—maka selesai pula urusan dengan anak-anak dari orang tua yang adidaya ini. Akibatnya, orang tua yang kooperatif juga harus menanggung dan merasakan dampaknya.

Dampaknya!

Mari kita diskusikan, apa yang akan terjadi jika pendidikan “dikebiri” oleh dominasi orang tua semacam ini? Tentu dampaknya tidak hanya dirasakan oleh guru dan sekolah saja, anak-anak akan menjadi bingung akan otoritas yang mereka ikuti. Di satu sisi, mereka diajarkan untuk menghormati guru; di sisi lain, mereka justru menyaksikan bagaimana orang tua mereka merednahkan guru bahkan menyepelekan kebijakan atau regulasi yang berlaku di sekolah.

Jika kita telisik lebih jauh lagi, sistem pendidikan yang telah terdistorsi seperti ini akan melahirkan generasi yang kurang mandiri dan tidak siap menghadapi tantangan di dunia nyata. Hal ini disebabkan adanya ketergantungan pada perlindungan dan intervensi dari orang tua yang sebenarnya dapat menghambat perkembangan karakter anak, dalam hal ini tanggungjawab, kedisiplinan, etika, termasuk kemampuan dalam berpikir kritis.

Komunikasi yang sehat dan Kolaborasi yang Positif Menuju Pendidikan yang Seimbang

Lalu, apakah fenomena ini tak’ dapat diatasi? Solusinya cukup sederhana namun membutuhkan usaha yang serius pula. Perlu adanya sinergi yang lebih baik antara orang tua, guru, dan sekolah. Masing-masing pihak ini harus memahami dan menjalankan perannya dengan baik dan berkomitmen untuk bekerja sama demi kepentingan anak/generasi penerus. Guru perlu didukung dengan pelatihan dan kebijakan yang dapat memperkuat posisi serta potensi mereka di dalam mendidik. Orang tua, memiliki peran sebagai mitra sekolah yang mendukung pertumbuhan anak-anak mereka di sekolah, bukan pemegang kendali tunggal yang memaksakan kehendak pribadinya saja. Sekolah harus lebih terbuka dalam penyelarasan visi dan misi, kebijakan atau regulasi pendidikan dengan semua pihak, termasuk para orang tua.

Kita semua perlu menyadari ini, dimana pendidikan bukanlah arena kekuasaan yang didominasi oleh satu pihak saja. Pendidikan adalah ekosistem yang saling membutuhkan, memberikan keseimbangan dan kolaborasi positif. Jika semua pihak ini dapat menjalankan perannya dengan baik, maka pendidikan yang utuh dan berkualitas dapat tercipta sebagai realitas yang dapat diwujudkan untuk kemajuan generasinya.


Referensi:

  • Kholil, A. (2021). Kolaborasi Peran serta Orang Tua dan Guru dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Secara Daring. Jurnal Pendidikan Guru, 2 (1)
  • Minhaji, A. M. (2018). Otonomi dan Reformasi Pendidikan. Edupedia, 3 (1)




Total Tayangan Halaman

Kategori

Recent Posts

Teknologi Canggih, Skill Harus Level Up: Gen Z Siap?

Zaman sekarang, siapa yang gak tau teknologi Artificial Intelligence (AI)? Semuanya bisa dikerjakan sama teknologi ini, bahkan dalam beberap...

Quotes

"Sebelum berpikir untuk mengubah dunia, terlebih dulu ubahlah pikiranmu" Arsa Danialsa_

Quotes

"Tidak ada yang namanya kegagalan, yang ada hanyalah feedback" Arsa Danialsa_

Butuh Bantuan?

Nama

Email *

Pesan *