• Ingin Cerita Anda Menginspirasi Dunia | Coming Soon

    Di Zona Insight, kami percaya bahwa setiap individu dan kelompok memiliki cerita yang layak didengar. Kami hadir untuk membantu Anda mempublikasikan ide, pengalaman, atau prestasi agar menjangkau lebih banyak audiens.

  • Ayo Jadi Penulis di Zona Insight | Klik di sini untuk Daftar

    Manfaatkan kesempatan selama 3 bulan bersama Zona Insight untuk memberi dampak dan inspirasi lewat tulisan. Kamu juga akan dibekali pengetahuan dan keterampilan menulis oleh mentor Zona Insight, serta mendapatkan sertifikat penghargaan sebagai penulis inspiratif.

Tampilkan postingan dengan label Edukatif. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Edukatif. Tampilkan semua postingan

Jumat, 30 Mei 2025

Bro, Jangan Keren di Dunia Maya tapi Miskin di Dunia Nyata. Stop Judi Online!

 



 

Sekarang ini, siapa sih yang gak punya HP? Semua orang pegang smartphoneTapi, makin canggih HP, makin banyak juga godaan. Salah satunya yaitu judi onlineDari yang awalnya cuma iseng-iseng pasang receh, lama kelamaan bisa jadi kebiasaan buruk yang merusak segalanya. Awalnya seru, Lama-lama bikin sengsara.

Kebanyakan orang yang terjerumus ke judi online itu awalnya cuma coba-coba. “Ah, iseng aja, siapa tahu dapet duit.” Tapi nyatanya? Bukan untung yang di dapat, malah buntung. Duit habis, waktu kebuang, kepala pusing, hubungan sama keluarga dan teman pun bisa renggang.

Judi online bukan jalan cepat untuk menjadi kaya. Jangan gampang percaya sama iklan yang bilang “main game bisa dapet duit jutaan!” Itu cuma pancingan. Yang kaya itu ya bandarnya, bukan pemainnya!  Sistemnya udah diatur biar kamu kalah terus. Kalau pun menang, itu cuma sesekali, biar kamu ketagihan dan balik lagi. Yang jadi korban gak cuma diri sendiri. Kalian pikir cuma kalian yang akan kena dampak? Salah besar. Keluarga juga bisa ikut susah karena kalian jadi sering minjam duit, bohongin orang tua, bahkan nyolong demi top up saldo, demi judi. Masa depan kalian bisa hancur hanya gara-gara satu aplikasi haram.

Daripada buat judi, mending duit kalian dipakai buat hal yang bener. Misalnya Nabung, bantu orang tua, beli buku, ikut kursus, ataupun investasi kecil-kecilan. Banyak kok hal-hal seru dan bermanfaat yang bisa kalian lakuin tanpa harus ambil risiko segila judi.

Kalo hanya karena bosan atau stres, jangan larinya ke judi. Coba cari hiburan lain yang sehat seperti main game offline, olahraga, nonton film, nongkrong bareng temen, atau bahkan curhat. Banyak cara buat ngilangin stres tanpa harus bikin hidup makin ribet. Intinya jangan sampai hidupmu dikuasai judi. Judi online itu sebuah jebakan. Sekali masuk, susah keluar. Jangan buang masa depanmu buat sesuatu yang gak ada ujungnya. Kalau kamu udah mulai menggunakan, berhenti sekarang juga. Kalau belum pernah coba, jangan pernah memulainya

Stop judi online, mulai hidup sehat dan bermanfaat. Kamu lebih berharga dari itu loh! Jangan sampai menyesal belakangan. Percaya deh, gak sedikit orang yang udah nyesel karena pernah main judi online. Duit tabungan habis, barang-barang dijualin, bahkan ada yang sampai ngutang sana-sini. Ujung-ujungnya stres, depresi, dan gak tahu harus mulai dari mana buat benerin hidupnya.

Kalau kalian masih di tahap awal dan ngerasa “masih bisa dikontrol,” mending kalian berhenti dari sekarang. Jangan tunggu sampai kalian gak bisa lepas. Karena makin lama kalian main, maka makin susah juga buat keluar. Cari support kalau udah terlanjur kecanduan. Kalau kalian udah ngerasa kecanduan judi online, jangan malu buat cari bantuan. Cerita ke orang terdekat, ke keluarga, atau cari komunitas yang bisa bantu kalian lepas. Yang penting kalian sadar dan mau berubah. Semua orang punya kesempatan kedua, asal niat dan mau usaha.

Yuk, jadi generasi yang insaf dan gak gampang ketipu!!


Penulis: Ririn Masaguni

 

 

 

Senin, 19 Mei 2025

Hidup itu nggak adil, dan mungkin emang begitu adanya


 

Kalian pernah merasa gak sih kadang dunia terasa kayak game yang curang. Ada orang yang dari kecil udah hidup enak kayak sekolah mahal, lingkungan nyaman, koneksi orang tua di mana-mana. Eh tapi, di satu sisi ada juga yang lahir dalam situasi serba terbatas, dan harus jungkir balik cuma buat bertahan hidup. Banyak yang bilang, “ya wajar, hidup memang nggak adil”. Tapi tetap aja, kalimat itu sering terasa lebih mirip pembenaran daripada penghiburan.

Tapi ya kalau dipikir-pikir, mungkin kalimat itu bukan sekadar omongan pasrah. Mungkin emang begitu adanya. Hidup memang nggak dirancang buat adil, dan itu bukan karena ada yang salah. Justru mungkin, ketidakadilan adalah bagian dari “aturan main” dunia ini.

Dalam filsafat eksistensialisme, ada pemahaman menarik soal ini. Seorang filsuf bernama Martin Heidegger pernah bilang bahwa manusia itu satu-satunya makhluk yang sadar kalau dia bakal mati. Nah berakar dari kesadaran itu bikin manusia bisa mikir soal makna hidup, dan juga soal absurditas dunia kayak kenapa kebaikan nggak selalu dibalas baik, atau kenapa orang baik justru sering kalah di dunia yang keras. Heidegger percaya bahwa justru dengan menyadari kenyataan pahit ini, manusia bisa mulai hidup dengan lebih jujur. Bukan karena dunia tiba-tiba jadi lebih ramah, tapi karena kita berhenti berharap semuanya harus selalu masuk akal.

Namun beda lagi dengan Jean-Paul Sartre, yang juga tokoh eksistensialisme. Dia percaya bahwa manusia itu bebas. Bebas banget malah. Tapi kebebasan itu datang dengan satu tanggung jawab besar yaitu setiap orang harus menentukan sendiri artinya hidup, bahkan di dunia yang kacau. Jadi waktu dunia terasa nggak adil, ya itu bukan hal baru. Dunia emang nggak punya peta moral yang pasti. Tapi justru karena itu, setiap manusia harus berani bikin petanya sendiri. Bahkan ketika hidup rasanya timpang, keputusan buat terus melangkah atau berhenti tetap ada di tangan masing-masing.

Kutipan yang paling ngena mungkin datang dari Albert Camus, filsuf lain yang ngulik hidup dari sisi yang absurd. Dia cerita soal tokoh mitologi Yunani bernama Sisyphus, yang dihukum dewa buat dorong batu ke atas bukit, tapi tiap kali udah sampai puncak, batunya selalu jatuh lagi ke bawah. Gitu terus, selamanya. Tapi Camus nggak lihat itu sebagai tragedi. Justru dia bilang bahwa kita harus membayangkan Sisyphus bahagia. Karena di tengah semua absurditas itu, dia tetap memilih untuk dorong batu itu lagi, dan lagi, dan lagi.

Hidup nggak selalu soal hasil. Nggak selalu soal menang. Kadang, makna justru muncul dari pilihan buat tetap jalan, bahkan waktu semuanya terasa nggak masuk akal. Dan mungkin, di situlah letak kekuatan manusia bukan karena hidupnya selalu adil, tapi karena tetap bisa berdiri di tengah ketidakadilan itu tanpa kehilangan dirinya sendiri.

Jadi ya… hidup emang nggak adil. Tapi mungkin memang itu bagian dari paket yang namanya hidup. Kita nggak harus setuju sama dunia, tapi bisa belajar buat tetap waras dan jalan terus, meski dunia nggak selalu ramah.

Dan di antara semua hal itu, mungkin yang paling sulit tapi juga paling menenangkan adalah belajar untuk bersyukur. Bukan dalam arti pasrah atau memaksa diri untuk bahagia, tapi lebih kepada menyadari bahwa di balik semua kekurangan dan luka, masih ada hal-hal kecil yang layak untuk dihargai.

Rasa syukur itu nggak selalu datang dalam bentuk besar seperti keberhasilan atau kemenangan. Kadang, dia tersembunyi dalam momen sederhana dalam napas yang masih bisa kita hirup, dalam teman yang mau mendengarkan tanpa menghakimi, atau dalam pagi yang tenang setelah malam yang berat. Hal-hal yang kelihatannya sepele, tapi justru sering kali jadi penopang saat semuanya terasa goyah.

Syukur bukan soal membandingkan hidup kita dengan hidup orang lain, tapi soal mengakui bahwa meski tidak sempurna, hidup kita tetap punya nilai. Ia membantu kita melihat bahwa bahkan di tengah ketimpangan dan ketidakadilan, masih ada ruang untuk merasa cukup dan dari perasaan cukup itu, lahirlah kekuatan untuk terus melangkah.

Jadi ya, hidup memang nggak adil. Tapi bukan berarti semua gelap. Ada cahaya, meski kecil. Ada makna, meski tidak langsung tampak. Dan ada alasan untuk bersyukur, meski kadang harus dicari dengan susah payah. Karena pada akhirnya, bukan keadaan yang menentukan hidup kita sepenuhnya, tapi bagaimana kita memilih untuk menjalaninya.

Penulis: Listanto Bima - Mitha Indah Sari

Minggu, 11 Mei 2025

Mahasiswa atau Budak Gadget? Realita Pahitnya Generasi Digital

 



Di era sekarang, emang siapa sih orang yang bisa lepas dari gadget? Kayaknya hal yang mustahil bisa lepas dari gadget, terutama para mahasiswa yang notabene adalah kelompok yang paling akrab sama yang namanya teknologi. Mereka juga kelompok yang paling terdampak dari kehadiran gadget yang sekarang sangat canggih. Padahal awalnya gadget itu cuman sekadar alat untuk membantu kita ngerjain tugas ataupun join kelas online via Zoom. Tapi makin hari gadget justru jadi seperti hal yang mengontrol kita dan kehadirannya sulit banget untuk ditolak.

Yang jadi masalah, penggunaan gadget yang berlebihan banyak menyimpan sisi gelap yang berbahaya. Salah satu yang paling umum itu soal tidur. Penelitian dari Khairunnisa (2023) menyebutkan kalau penggunaan gadget sebelum tidur bisa bikin kualitas tidur kita jadi rusak. Pada intinya gadget ini bisa menganggu pola tidur kita jika kita gunakan secara berlebihan ketika waktu menjelang tidur.

Bukan hanya soal tidur, bahkan konsentrasi dan motivasi untuk belajar juga bisa ikut kena imbasnya lho. Berdasarkan penelitian dari Adelia (2023) nunjukin kalau sekitar 67% turunnya konsentrasi belajar siswa ya disebabkan oleh penggunaan gadget yang berlebihan ini. Coba deh bayangin, kita niatnya sebelum belajar mau buka Youtube buat nyari materi, eh ujung – ujungnya malah nyasar buat nonton video sapi main piano dan berakhir dengan tugas yang gak selesai.

Dan dampak paling buruk dari kecanduan gadget ini bikin interaksi sosial secara perlahan memudar dan menjadi hambar. Hyangsewu (2023) nemuin kalau hampir setengah mahasiswa lebih memilih ngumpul sambil mainin gadget-nya ketimbang ngobrol langsung sama temennya. Atau mungkin kita lagi nongkrong tapi tongkrongan rasanya sunyi banget karena semua pada sibuk dengan gadget masing – masing. Ironis banget gak sih? Padahal sekarang dunia itu serba terkoneksi, eh malah kita yang menjauh dari koneksi sesungguhnya yaitu koneksi antar sesama manusia.

Yang bikin ngeri, banyak dari kita yang udah kecanduan gadget tapi nggak sadar. Bangun tidur, langsung cek HP. Makan sambil scroll medsos.  Sebelum tidur, masih aja mantengin layar.  Beneran udah kebiasaan banget, ya?  Eh, tapi tunggu dulu,  kita jadi kehilangan waktu, susah fokus, dan mental juga ikutan drop, lho!

Lucunya, pas ada orang yang coba jauhin HP atau detoks digital, malah dianggap aneh. Budaya digital udah bikin standar baru: harus update, harus online terus, harus kelihatan eksis. Tapi di balik itu, banyak yang capek, ngerasa kosong, dan nggak tahu lagi mana yang nyata dan mana yang cuma pencitraan.

Gara-gara gadget juga, kita jadi lupa nikmatin hal-hal kecil di dunia nyata. Nongkrong sambil ngobrol dari hati ke hati udah jarang. Jalan-jalan bukan buat refreshing, tapi buat konten. Bahkan ngobrol langsung kalah seru sama chatting.

Pelan-pelan, kita mulai kehilangan rasa buat hadir secara utuh di kehidupan sehari-hari. Nggak heran kalau makin banyak yang ngerasa kesepian, padahal punya ratusan teman di media sosial. Kita ada, tapi nggak benar-benar hadir.

Gadget itu emang penting dan nggak bisa dipisahin dari hidup kita sekarang, apalagi buat mahasiswa. Tapi ya jangan sampai kita dikontrol balik sama benda kecil itu. Mulai deh coba atur waktumu. Contohnya, batasi penggunaan media sosial, matikan notifikasi yang tidak penting, atau coba deh  seminggu sekali  lewatkan sehari tanpa gadget.

Kalau lagi nongkrong, simpen dulu HP-nya. Nikmatin obrolan sama temen. Kalau lagi belajar, pake mode fokus atau aplikasi yang bisa blokir gangguan. Dan yang paling penting, sadarin bahwa hidup itu nggak cuma ada di balik layar. Masih banyak hal seru dan berharga di dunia nyata yang bisa bikin hidup lebih bermakna.

Jadi mahasiswa itu bukan cuma soal IPK, tapi juga soal gimana kita bisa ngatur hidup di tengah godaan digital yang nggak ada habisnya. Jangan sampai kita jadi generasi yang pinter secara teknologi, tapi tumpul secara sosial dan emosional.

Biar nggak makin tenggelam jadi budak gadget, ada beberapa hal simpel yang bisa dicoba. Nggak perlu langsung drastis, mulai dari hal-hal kecil aja dulu:


1
. Atur waktu main HP

Pasang alarm atau pengingat. Misalnya, maksimal 1 jam buat scroll medsos. Bisa juga aktifin fitur screen time.

2. Pisahin waktu belajar dan hiburan

Lagi belajar? Taruh HP agak jauh. Biar fokus. Setelah selesai, baru kasih reward buka TikTok sebentar.

3. Cari aktivitas offline

Baca buku, olahraga, ngobrol, atau ikut komunitas. Banyak banget keseruan yang bisa dirasain tanpa layar.

4.  4. Gunakan gadget untuk hal positif

Nonton video yang edukatif, cari referensi tugas, atau denger podcast yang bikin tambah ilmu.

5. Coba detoks digital

Sehari tanpa medsos atau beberapa jam tanpa HP. Biar pikiran istirahat dan kita bisa kembali fokus ke hal nyata.

Author: Listanto Bima – Ifa Audina Nabila

Jumat, 02 Mei 2025

KEREN, TAPI NGERI! YUK MENGENAL DEEPFAKE




Pernah nggak sih kamu lihat kasus penipuan yang pakai wajah seorang artis terkenal? Atau mungkin kamu pernah lihat wajah seorang pemimpin negara muncul dalam sebuah konteks yang tidak biasa? Nah, fenomena ini dikenal sebagai deepfake, sebernya apasih deepfake itu?

Deepfake adalah teknologi manipulasi gambar, video bahkan suara yang basisnya adalah kecerdasan buatan yang bisa bikin konten palsu jadi kayak nyata banget. Di dunia hiburan sendiri, deepfake bIasa dipakai buat “ngebangkitin” aktor yang udah meninggal biar kesan nostalgis dalam film tersebut bisa dirasain sama penonton, gak jarang juga deepfake dipakai buat bikin efek visual dengan budget yang minim tapi tetap kerasa realistis. Namun di balik kerennya deepfake ini ternyata ada potensi bahaya yant besar kalau sampai deepfake dipakai buat hal – hal negatif

Sudah ada beberapa penelitian yang nunjukin ngerinya deepfake. Menurut Dwi Putra, Sania Dan mitrin (2024) dalam jurnal Sagara Komunika, deepfake itu bisa merusak kredibilitas media tradisional. Loh kok bisa? Karena dengan adanya deepfake orang bakalan makin sulit bedain mana berita beneran dan mana yang hoaks. Nah Fadhilah dan kawan – kawan (2024) dalam jurnal Kawistara UGM juga ngungkapin hal yang sama, menurut mereka penyalahgunaan deepfake bisa nimbulin fenomena yang namanya infopocalypse, yaitu sebuah kondisi ketika masyarakat udah gak percaya atau kehilangan kepercayaan sama semua jenis informasi.

Kalau menurut Noerman dan Ibrahim (2024) dalam jurnal mereka yaitu USM Law Review, mereka bilang kalau Indonesia pada saat ini belum punya aturan khusus terkait fenomena deepfake yang meresahksn ini. Namun, kasusnya masih ditangani pakai UU ITE dan UU pornografi. Teknologi deepfake emang keren banget namun bahaya yang ditimbulin juga gak main – main.

Ibarat pisau bermata dua, di satu sisi bisa jadi alat untuk menuangkan kreativitas, namun di sisi lainnya bisa menjadi sesuatu untuk memfitnah orang yang gak bersalah & nimbulin hoaks yang meresahkan.

Biar gak gampang ketipu sama konten deepfake, ada beberapa hal yang bisa kamu perhatikan:

Perhatikan Gerakan Wajah dan Mata

Deepfake kadang masih punya kelemahan pada gerakan wajah, terutama bagian mata. Kalau kamu lihat mata yang jarang berkedip, atau ekspresi wajah yang terasa “kaku” dan gak natural, bisa jadi itu deepfake.

Cek Sinkronisasi Suara dan Bibir

Kalau suara terdengar aneh, kayak datar atau gak sinkron sama gerakan mulutnya, itu juga bisa tanda kalau videonya hasil deepfake.

Amati Pencahayaan dan Bayangan

Deepfake kadang suka mis di bagian pencahayaan. Misal, cahaya di wajah beda sama latar belakangnya, atau bayangannya aneh.

Gunakan Tools Pendukung

Sekarang udah banyak aplikasi atau website yang bisa bantu deteksi deepfake, misalnya Deepware Scanner, Sensity AI, atau Microsoft Video Authenticator.

Crosscheck ke Sumber Asli

Sebelum percaya sama video atau gambar yang aneh, sebaiknya  cek dulu beritanya di media terpercaya.

“JoMO: Bahagia Itu Gak Perlu Cari Validasi Sana-Sini!”



Kamu nggak update insta story hari ini?

Nggak ikut tren velocity?

Nggak ikut nongkrong di café?

Tenang, kamu nggak salah kok. Kamu nggak kudet. Kamu cuman lagi JoMO!

​Iya, JoMO alias Joy of Missing Out. Mungkin kalian tahunya cuman FoMO, kan? Nah sebenarnya ada juga istilah buat kalian yang ngerasa happy karena gak ikut-ikutan sama yang lain, apalagi sama tren TikTok yang velocity-nya nggak habis-habis. JoMo tuh kayak bilang “gue nggak ikutan, dan gue fine-fine aja”.

​Pernah gak sih kamu ngerasa capek banget ngeliat anak muda zaman sekarang yang apa-apa main cekrek. Scroll TikTok dikit, bermunculan video velocity yang semakin banyak versinya—udah kayak HP aja pake Pro Max segala! Bahkan nih, anak muda pada senang banget nongkrong ke café sampe pagi, seolah kayak gak ada beban sama sekali.

​Di tengah dunia yang sibuknya minta ampun ini, JoMO ngajarin kita buat istirahat sebentar. Nggak semua hal harus di-posting sana-sini. Nggak semua tren harus diikutin, dan nggak semua tempat viral harus didatengin. Daripada ngabisin duit di café mahal mending buat kopi aja di rumah. Kadang, obrolan ringan sambil sarapan bareng orang tersayang di pagi hari udah cukup bikin hati terasa penuh dan bahagia. Alih-alih ngerasa kudet, orang yang nerapin JoMO malah lebih bahagia. Nggak ada gangguan notifikasi apalagi tekanan sosial. Sebenarnya JoMO bisa ngasih ruang buat refleksi diri kita. Sadar kalau hidup nggak harus butuh validasi.

Mungkin kalian pernah bertanya, ​kenapa sih kita harus JoMO?

1. Biar mental gak capek!

Jujur deh, ngeliat orang-orang pada sibuk mikirin tren, liburan buat bahan insta story, produktif tiap hari capek kan? Padahal kita sama-sama manusia, dan kita gak harus compare terus.

2. Biar hidup bener-bener dinikmati

Sebelum makan gak harus cekrek, pas makan gak harus live IG, pas selesai makan gak harus TikTokan. Kadang, momen yang paling berharga malah yang gak terekam kamera.

3. Biar tahu kalau damai itu penting

JoMO itu kayak rebahan, dengerin lagu favorit, atau ngobrol santai tanpa harus mikirin impresi.

Udah deh dari pada haus validasi mending matiin notifikasi, unfollow akun yang bikin overthinking, nolak ajakan temen tanpa rasa salah (self care!) dan mending ngobrol sama diri sendiri bukan sama algoritma!

Intinya, kamu nggak harus ada di mana-mana buat valid, dan nggak harus viral buat bahagia. Yang kamu butuh itu cuman waktu sendiri, bernapas lega sama nonton series favorit tanpa gangguan siapa-siapa!

JoMO bukan soal menghindar dari dunia tapi soal pilihan. Bukan berarti kamu milih untuk nggak ikutan kamu kalah, tapi itulah yang namanya dewasa.

Jumat, 25 April 2025

Teknologi Canggih, Skill Harus Level Up: Gen Z Siap?




Zaman sekarang, siapa yang gak tau teknologi Artificial Intelligence (AI)? Semuanya bisa dikerjakan sama teknologi ini, bahkan dalam beberapa tahun terakhir AI udah kayak roket yang meluncur kencang tanpa batas. Mulai dari chatbot yang diajak ngobrol kayak manusia, sampai baru – baru ini lagi rame tuh tren bikin foto ala studio Ghibli, semuanya bikin kita tuh kagum sama teknologi ini. Tapi, kadang karena saking semua hal bisa dilakuin sama AI, kita agak deg-degan juga. Apalagi kita—Gen Z—yang katanya paling Tech-savvy, beneran udah siap belum sih menghadapi dunia yang didominasi sama AI? Atau justru malah panik karena takut digantikan?

AI sekarang bukan cuman sekadar nanya jawaban ujian doang. Bahkan di dunia pekerjaan, AI udah mulai masuk ke berbagai bidang mulai dari edukasi, kesehatan, keuangan, desain sampai industri kreatif. Banyak pekerjaan yang dulunya memakan waktu dan tenaga manusia, sekarang bisa dikerjakan bak pesulap sirkus dalam hitungan detik. Contohnya desainer grafis bisa aja saingan sama AI yang bikin ilustrasi hanya dalam waktu 10 detik. Penulis artikel harus bersaing sama program yang bisa buat artikel otomatis. Bahkan dosen pun harus bersaing sama teknologi yang semuanya bisa dijawab hanya hitungan detik.

Artificial Intelligence (AI) menjadi salah satu teknologi yang lagi naik daun di dunia. Bahkan dilansir dari sumber databoks, Indonesia menduduki peringkat ke 3 dari 10 Negara penyumbang kunjungan terbanyak ke aplikasi Artificial Intelligence (AI). Di tahun 2024 aja, pengguna AI di Indonesia mencapai 1,3 juta pengguna! Nggak heran kalau zaman sekarang orang-orang pada nggak bisa lepas dari yang namanya AI.

Kita sebagai Gen Z wajar gak sih panik? Takutnya kedepannya pekerjaan kita malah akan digantikan sama AI ini. Wajar kok kalau ada rasa khawatir kayak gitu. Tapi, alih-alih panik mending kita ubah minset jadi “Gimana cara kedepannya kita bisa kerja bareng AI”. Sebenarnya Gen Z tuh punya keuntungan salah satunya Digital Native yang harusnya sih adaptasi sama teknologi itu bukan hal yang baru. Yang paling penting sekarang yaitu:

Belajar, dunia itu perubahannya cepet banget. Bisa jadi skill sekarang yang kita punya besoknya malah jadi basi. Makanya penting buat kita apalagi Gen Z buat terus belajar dan upskilling.

Nilai emosional, hal ini masih menjadi “senjata rahasia” kita sebagai manusia. Emang sih AI bisa ngasih data dan output, tapi emang nilai emosional dan empati AI bisa? Itu masih jadi domain kita sampai sekarang.

Eksplorasi, nih buat para Gen Z jangan takut buat nyoba yang namanya teknologi baru. Minimal ngulik di YouTube lah biar kita juga gak Gaptek!

Jadi, buat Gen Z yang kerjanya cuman scroll-scroll HP doang, mageran sama multitasking. Udah saatnya melek, sama tunjukin kalau kita juga bisa. Nggak dicap generasi rebahan doang. Kita semua juga bisa sukses di era AI. Kita juga harus melek teknologi, terus belajar sama kreatif.

Kalau AI makin canggih, bukan berarti kita kalah dan malah makin panik. Tapi harusnya kita makin semangat buat beradaptasi dan terus eksplore hingga menciptakan peluang baru. Masa depan gak sepenuhnya ditentukan sama teknologi doang, tapi gimana kita siap buat ngadepinnya!

Burnout di kalangan pelajar: Beneran lelah atau hanya rasa malas?




Pernah nggak sih, kamu ngerasa capek banget waktu ngerjain tugas sekolah atau kuliah, padahal mulai aja belum. Atau tiba – tiba ngerasa males banget untuk ngerjain PR yang dikasih guru, padahal kamu biasanya semangat buat ngerjainnya? Hati – hati loh hal tersebut bisa jadi bukan rasa malas biasa, tapi kamu lagi ngalamin yang namanya burnout?

Menurut psikolog asal Amerika Serikat Christina Maslach, burnout sendiri adalah sindrom kelelahan emosional dan sinisme yang dialami oleh seseorang akibat stress kerja kronis. Walau umumnya burnout ini dialami oleh pekerja kantoran namun pelajar juga bisa terkena burnout loh. Burnout pada pelajar bisa terjadi karena tugas, ujian, ekskul bahkan ekspektasi yang diciptakan diri sendiri maupun lingkungan sekitar.

Banyak orang yang salah kaprah, mereka mikirnya pelajar kalo ngeluh capek itu ya karena mereka malas aja ngerjain tugas. Padahal menurut penelitian dari Mediva Syafira, Siti Khotimah, dan Eka Yuni Nugrahayu tahun 2023, dalam jurnal mereka disebutkan sekitar 35% mahasiswa ngalamin gejala burnout, hal ini udah termasuk kelelahan emosional, depersonalisasi atau mereka ngerasa asing sama diri sendiri, bahkan sampai ke menurunnya prestasi akademik. Angka ini bukan angka yang kecil loh.

Penelitian dari Eirene Priscilla C. Simatupang dan Yoanita Widjaja dalam jurnalnya tahun 2021 juga ngejelasin bahwa tekanan akademik yang tinggi serta manajemen waktu yang buruk jadi pemicu utama burnout pada pelajar SMA dan mahasiswa, ngelihat hal ini tentu aja semua yang terjadi bukan semata – mata karena malas, tetapi emang kondisi mental yang serius.

Rasa malas biasanya bersifat sementara, kadang muncul, kadang hilang, dan bisa diatasi dengan motivasi atau istirahat sejenak. Tapi burnout beda. Burnout membuat seseorang benar-benar kehilangan energi, motivasi, bahkan kepercayaan diri. Kamu bisa merasa lelah setiap hari meskipun sudah tidur cukup, sulit fokus meski suasana tenang, atau merasa kosong dan nggak tahu harus mulai dari mana.

Lalu, kalau kamu mulai ngerasa tanda-tanda itu, apa yang bisa dilakukan?

Nih, Tips Mengatasi Burnout pada Pelajar!

Kenali dan akui kondisimu

Langkah pertama adalah sadarilah kemungkinan kamu mengalami burnout. Jangan langsung menilai diri sendiri sebagai pemalas. Akui dan terima perasaan lelah kamu, itu hal yang wajar.

Atur ulang waktu dan prioritas

Coba evaluasi jadwal kamu. Apakah terlalu padat? Apakah semua kegiatan benar-benar perlu? Kadang kita terlalu memaksakan diri ikut banyak hal karena takut ketinggalan atau ingin terlihat produktif. Padahal tubuh dan pikiran punya batasnya.

Ambil jeda yang berkualitas

Istirahat bukan berarti rebahan seharian sambil scroll medsos (yang justru bisa bikin makin overthinking). Coba ambil waktu untuk benar-benar recharge, misalnya jalan santai sore, baca buku ringan, dengerin musik, atau ngobrol santai bareng teman.

Berani bilang “Cukup”

Nggak semua hal harus kamu lakukan sekarang juga. Tugas penting memang, tapi kesehatan mental juga nggak kalah penting. Kalau sudah terlalu berat, nggak apa-apa kok minta bantuan atau diskusi sama guru/dosen untuk cari solusi.

Jaga keseimbangan hidup

Sisihkan waktu untuk hal-hal yang kamu suka, selain belajar.  Main musik, gambar, nonton film, olahraga, apa aja yang bikin kamu merasa lebih hidup, nggak cuma jadi robot tugas.

Cari dukungan

Kalau kamu merasa burnout-nya makin parah dan mengganggu aktivitas sehari-hari, jangan ragu cari bantuan profesional. Konselor sekolah, psikolog, atau layanan kesehatan mental bisa jadi tempat curhat yang aman dan membantu kamu pulih. 

Jumat, 11 April 2025

Punya Hobi Main Sosmed? Kenapa Nggak Sekalian Jadi Cuan?

 


Kamu suka scroll-scroll TikTok, bikin konten IG, atau pantengin FYP sampe tengah malam? Selamat, kamu nggak sendirian! Sekarang tuh hampir semua orang hidupnya nempel banget sama internet. Bahkan, data dari Kominfo bilang kalau ada 129 juta orang Indonesia yang aktif di medsos, dan rata-rata habisin waktu 3,5 jam sehari cuma buat online.

Tapi, daripada cuma scrolling doang, gimana kalau hobi medsosan kamu itu di-upgrade jadi sumber penghasilan? Yes, sekarang banyak banget anak muda yang udah jadi konten kreator, influencer, atau jualan online hanya modal akun medsos. Dunia digital udah berubah banget—nggak cuma tempat buat curhat atau stalking mantan, tapi juga ladang buat cari cuan.

Nah, buat kamu yang kepo gimana caranya, yuk kenalan dulu sama cara-cara dapet duit dari medsos!

 1. Dapet Bayaran dari Brand

Pernah nggak liat selebgram atau TikTokers yang review produk dan bilang “ini bukan iklan ya, tapi emang suka”? Eits, itu biasanya konten bersponsor. Menurut laporan We Are Social 2023, 70% influencer di Indonesia dapet duit utama dari kerja sama brand. Jadi mereka dibayar buat promosi produk lewat foto, video, atau review.

Seru kan? Kamu bisa tetep jadi diri sendiri, bikin konten yang kamu suka, sambil dapet penghasilan.

 2. Jadi Youtuber atau TikToker Aktif

Kalau kamu suka bikin video, YouTube dan TikTok punya program monetisasi. Jadi, semakin banyak yang nonton video kamu, makin besar juga peluang dapet duit dari iklan.

Misalnya nih, YouTuber dengan 1 juta subscriber bisa dapet sekitar 3.000–5.000 USD per bulan. Tapi ingat ya, ini tergantung dari jumlah views, durasi video, dan asal penonton.

TikTok juga punya program kayak Creator Fund dan Live Gift. Walau penghasilannya nggak sebesar YouTube, tapi lumayan banget kalau digabung sama sponsor dan jualan barang.

3. Jualan Produk atau Jasa Sendiri

Kamu jago desain? Suka nulis? Atau punya ide merchandise lucu? Banyak konten kreator sekarang yang jualan produk sendiri, mulai dari kaos, tote bag, e-book, sampai kursus online. Selain nambah penghasilan, ini juga bantu ngebangun personal branding kamu loh!

Nielsen bilang, 92% orang lebih percaya rekomendasi dari kreator yang mereka ikutin daripada iklan biasa. Jadi kalau kamu punya followers yang loyal, mereka lebih gampang percaya dan beli produkmu.

 4. Ikut Program Afiliasi

Kamu sering liat kalimat “Cek link di bio ya”? Nah itu adalah bagian dari affiliate marketing. Jadi kamu share link produk, dan kalau ada yang beli lewat link itu, kamu dapet komisi!

Contohnya kayak Shopee Affiliate Program atau TikTok Shop Affiliate. Simpel dan nggak perlu repot stok barang. Cocok banget buat yang baru mulai nyari cuan dari medsos.

Intinya Sihhhh…

Medsos bukan cuma tempat buat pamer outfit atau lihat dance challenge. Kalau dimanfaatin dengan kreatif dan konsisten, kamu bisa banget dapetin penghasilan dari sana.

Mulai dari konten bersponsor, jadi kreator YouTube/TikTok, jualan produk, sampai ikut affiliate—all of it bisa kamu coba! Yang penting, temukan gaya kamu sendiri, terus konsisten dan nggak gampang nyerah.

Siapa tahu, hobimu main medsos bisa jadi jalan kamu jadi boss muda.

Penulis, Hajirah Ali

Nggak Mau Ketinggalan Tren? Hati-Hati Sama FoMO!





Zaman sekarang, siapa sih yang nggak main media sosial? Mulai dari upload daily life, ikut challenge, sampe share info menarik—semuanya bisa banget dilakuin di medsos. Apalagi banyak banget tren dari para konten kreator yang viral dan langsung bikin kita pengen ikutan. Tapi, kadang karena saking banyaknya info dan tren baru, kita jadi takut ketinggalan. Takut gak update itu yang biasa disebut FoMO alias Fear of Missing Out.

FoMO ini muncul waktu kita ngerasa semua orang ngalamin hal seru, tapi kita nggak. Misalnya, temen-temen pada healing ke Bali, eh kamu masih stuck di kamar. Atau semua orang lagi bahas trend dance TikTok baru, dan kamu belum sempet nonton—langsung deh muncul rasa nggak mau kalah dan buru-buru nyusul.

TikTok sendiri jadi salah satu aplikasi yang super booming, bukan cuma di Indonesia tapi juga dunia. Di 2023 aja, pengguna medsos di Indonesia udah tembus 99,1 juta orang! Nggak heran sih kalau medsos makin nempel di keseharian kita. Tapi, makin sering kita scroll, makin besar juga kemungkinan kita ngalamin kecemasan sosial kayak FoMO tadi.

Jadi, FoMO tuh kayak dorongan buat selalu terhubung sama dunia online—biar nggak merasa ditinggalin. Kita jadi ngerasa wajib banget tahu update terkini, walau itu bikin capek sendiri. Ciri-ciri FoMO tuh contohnya:

  1. Nggak bisa jauh dari HP. Rasanya gatal banget kalau belum buka IG, TikTok, atau WA.
  2. Lebih milih ngobrol di DM daripada ketemu langsung.
  3. Sering ke-distract sama postingan orang atau FYP yang seolah lebih seru dari hidup kita.

Menurut penelitian, remaja itu emang paling rentan kena FoMO. Mereka takut banget kehilangan momen bareng temen, apalagi kalau itu viral. Kadang, kita jadi maksa ikut lifestyle yang sebenernya bukan diri kita, cuma biar “nempel” sama circle atau biar diakui di medsos.

Ada juga yang mikir, posting di media sosial itu wajib. Kalau nggak upload, takut nggak dianggap eksis. Akhirnya, banyak yang jadi overposting, atau ikut tren cuma demi validasi. Padahal, hidup kita nggak harus selalu keliatan keren di internet, ya gak?

Parahnya, FoMO ini bisa ngaruh ke kesehatan mental. Karena terus-terusan bandingin diri sama orang lain di medsos, kita jadi lebih gampang stres, insecure, dan ngerasa hidup kita kurang banget. Lama-lama, itu bisa bikin kualitas hidup turun. Dikit-dikit cemas, dikit-dikit ngerasa gak cukup.

Makanya, penting banget buat kita—anak muda apalagi Gen Z—buat paham dampak dari FoMO. Jangan sampai kita terjebak dalam siklus ngejar validasi terus-terusan. Media sosial itu seru, tapi jangan sampai kita dikontrol olehnya. Gunain aja seperlunya, buat hal yang bikin kita bahagia dan berkembang.

Senin, 24 Maret 2025

Perundungan di Media Sosial: Apa sih Dampaknya?


 

Di zaman sekarang, teknologi berkembang super cepat, terutama media sosial. Semua orang dari berbagai kalangan, termasuk anak muda, pasti sudah nggak asing lagi sama platform kayak Instagram, TikTok, atau Twitter. Media sosial memang banyak manfaatnya, tapi sayangnya, bisa jadi tempat subur buat masalah sosial yang serius, salah satunya perundungan (bullying). Artikel ini bakal bahas tentang perundungan di media sosial, apa aja penyebabnya, dan gimana cara nyelesainnya. Semoga bisa nambahin kesadaran kita untuk bikin dunia digital yang lebih aman dan nyaman, khususnya buat anak muda.

Salah satu contoh kasunya adalah tragedi influencer Malaysia yang bunuh diri karena nggak tahan di-bully di media sosial. Perundungan di media sosial emang masalah besar, karena sifatnya yang mudah diakses dan jangkauan globalnya yang super luas. Ada beberapa faktor yang bikin perundungan makin parah, salah satunya adalah anonimitas. Pelaku bisa nyembunyiin identitasnya dan merasa lebih berani nge-bully tanpa takut ketahuan atau dihukum. Selain itu, media sosial juga kurang pengawasan, jadi banyak pelaku yang bisa nyebarin konten merugikan tanpa takut ditindak.

Salah satu kasus yang bikin heboh adalah kejadian di Malaysia, dimana seorang influencer bernama Rajeswary Appahu bunuh diri setelah di-bully di media sosial. Berdasarkan laporan dari Liputan 6, setelah dilakukan penyelidikan, ternyata ada dua orang yang jadi pelaku perundungan ini. Salah satunya adalah pemilik panti jompo, Shalini Periasamy, yang didenda RM100 (sekitar Rp. 356.700) karena komentar nggak pantas di TikTok. Yang satunya lagi, seorang sopir truk, Sathiskumar, dijatuhi hukuman penjara selama 1 tahun karena menyerang Rajeswary secara verbal lewat akun TikTok-nya.

Sayangnya, meskipun udah ada proses hukum, dampak perundungannya sangat besar. Rajeswary ditemukan meninggal di rumahnya pada 5 Juli 2024 setelah lebih dari sebulan di-bully tanpa henti. Insiden ini bikin publik Malaysia marah dan membuka mata banyak orang tentang bahaya perundungan di dunia maya, apalagi untuk perempuan.

Perundungan di media sosial bukan cuma masalah sepele. Ada banyak faktor yang bikin hal ini berkembang, seperti anonimitas pelaku, kurangnya pengawasan, budaya cyberbullying, dan tekanan sosial. Semua ini bisa ngasih dampak yang sangat buruk bagi korban, bahkan bisa berujung pada bunuh diri.

Untuk ngurangin perundungan di media sosial, kita perlu pendekatan yang lebih holistik, bukan cuma hukuman buat pelaku, tapi juga dengan menciptakan lingkungan digital yang positif dan mendukung. Salah satu caranya adalah dengan edukasi sejak dini. Kita harus ngajarin tentang etika digital, tanggung jawab online, dan pentingnya empati. Pendidikan ini gak cuma buat anak-anak dan remaja, tapi juga buat orang tua dan pendidik supaya mereka bisa lebih ngerti dunia digital, ngawasin aktivitas online, dan ngasih dukungan yang tepat. Sekolah juga perlu masukin pendidikan tentang literasi media ke dalam kurikulumnya.

Selain itu, platform media sosial juga punya peran penting. Mereka harus memperbaiki fitur pelaporan, respons cepat terhadap laporan perundungan, dan bikin algoritma yang bisa deteksi konten bullying. Platform juga harus punya kebijakan tegas soal perundungan dan transparan dalam proses penanganannya, biar pengguna bisa percaya dan merasa aman. Kerja sama antara platform dan organisasi anti-perundungan juga penting buat bikin solusi yang lebih efektif.

Jadi, ayo kita bareng-bareng buat menciptakan lingkungan digital yang lebih sehat, bebas dari perundungan!

Sabtu, 25 Januari 2025

PENDIDIKAN DIKEBIRI: ORANG TUA ADIDAYA, GURU DAN SEKOLAH APA DAYA?

 


Jika boleh saya menyebut bahwa pendidikan adalah proses memperkaya pengetahuan dan pengalaman, mengasah keterampilan dan menanamkan sikap/karakter kepada seseorang. Secara sederhana kita artikan bahwa pendidikan merupakan proses transformasi dari satu generasi kepada generasi lain, Minhaji (2018).

Kita semua tentu tahu, bahwa pendidikan merupakan fondasi utama dalam membangun peradaban. Namun, dalam praktiknya sistem pendidikan kita sering kali menghadapi masalah dan tantangan yang cukup kompleks. Ada begitu banyak isu yang tidak sederhana sering terjadi dan memicu adanya konflik antar berbagai pihak, salah satunya pergeseran peran antar orang tua, guru dan sekolah. Dimana peran guru dan sekolah tidak lagi memiliki marwah sebagai ekosistem utuh yang seharusnya dapat memfasilitasi semua kebutuhan dalam pendidikan. Sedangkan orang tua, secara langsung sering kali mendominasi peran dan tanggungjawab yang seharusnya dikerjakan oleh guru dan sekolah. Hal ini justru menyebabkan terjadinya ketimpangan dalam pelaksanaan pendidikan itu sendiri. Dengan berat hati saya harus mengatakan bahwa pendidikan kita telah dikebiri oleh orang tua yang adidaya, sementara guru dan sekolah apa daya?

Orang Tua, Antara Peran Pendukung dan Adidaya

Sebenarnya, peran orang tua terhadap pendidikan anak sangatlah penting. Mulai dari menyiapkan rencana jangka panjang baik dari keuangan, sampai pada outcome pekerjaan yang diharapkan. Hal ini tentu akan terlihat pada bagaimana keseriusan orang tua mengurusi persiapan pendidikan untuk anak-anak mereka. Memilih sekolah terbaik dan terjangkau versi mereka, sampai pada menyediakan fasilitas sekolah seperti buku dan pakaian—sebatas itu. Mungkin sesekali orang tua boleh mengontrol pertumbuhan anaknya di sekolah. Membangun komunikasi dan kolaborasi dengan pihak sekolah untuk memastikan anaknya mendapatkan pendidikan yang semestinya, sebagaimana yang dijelaskan dalam jurnal Kholil (2021). Mirisnya, alih-alih menjalankan peran sebagaimana mestinya, membangun komunikasi dan kolaborasi positif dengan pihak sekolah, masih ada orang tua yang tampaknya mulai mengambil alih peran guru dan sekolah. Para orang tua ini biasanya sangat mendominasi bahkan mendikte bagaimana metode pengajaran yang dilakukan oleh guru, kebijakan sekolah, bahkan lebih mirisnya lagi, ada-ada saja orang tua yang “merasa adidaya” dengan relasi kuasanya, atau mungkin posisi dan jabatannya, sehingga bersikap super power untuk menekan para guru agar memberikan perlakuan khusus kepada anak-anak mereka. Hal ini adalah kedok yang mereka lakukan dengan alasan “demi kebaikan anak”.

Akibatnya, otonomi guru sebagai pendidik mulai terkikis, lalu sekolah, dengan menyesal harus saya katakan tidak lagi menjadi tempat pendidikan yang layak, melainkan menjadi tempat lahirnya generasi-generasi “adidaya” berikutnya, sehingga proses ini pada akhirnya menjadi pola yang berulang setiap waktu dan setiap generasinya. Para orang tua adidaya ini mulai mengabaikan fungsi komunikasi dan kolaborasi yang seharusnya memberikan dukungan, selagi masih dalam batas wajar dan sesuai aturan yang berlaku, maka percayakan pendidikan anaknya kepada guru dan sekolah tempat mereka menempuh pendidikan. Ketidakseimbangan ini jika dibiarkan terus terjadi, hanya akan memengaruhi kualitas pengajaran di sekolah, termasuk dapat menciptakan atmosfer yang tidak kondusif di lingkungan sekolah itu sendiri.

Guru dan Sekolah, Apa Daya?

Akibat adanya orang tua yang adidaya ini, membuat guru dan sekolah berada dalam posisi yang serba salah. Guru sebagai pendidik mulai kehilangan otoritasnya sebagai tenaga professional yang dipercayakan untuk menjalankan aktivitas pendidikan yang ideal bagi generasi. Mereka diharapkan menjadi tauladan dalam pendidikan, harus kreatif dan inovatif—namun di saat yang sama, mereka dibatasi oleh intervensi orang tua dan administrasi yang masih terbilang kaku.

Bukan hanya guru, bahkan sekolah yang menjadi institusi pendidikan formal juga menghadapi dilema yang terbilang besar. Bagaimana tidak, ketika kebijakan sekolah dianggap bertentangan dengan kehendak orang tua yang selalu berdalih “demi kebaikan anak”, sekolah kerap kali dipaksa untuk mengalah. Apalagi, di tengah keterbukaan informasi saat ini, dan adanya kekuatan media sosial, tak’ jarang sekolah justru menjadi objek kritik publik—dimana hal ini berdampak pada reputasi sekolah itu sendiri. Jika sudah begini, guru dan sekolah apa daya? Selain mendidik dengan apa adanya dan sewajarnya saja. Tidak peduli apa yang terjadi pada peserta didiknya, yang penting sudah melaksanakan kewajiban mengajar, menjalankan perintah kurikulum—maka selesai pula urusan dengan anak-anak dari orang tua yang adidaya ini. Akibatnya, orang tua yang kooperatif juga harus menanggung dan merasakan dampaknya.

Dampaknya!

Mari kita diskusikan, apa yang akan terjadi jika pendidikan “dikebiri” oleh dominasi orang tua semacam ini? Tentu dampaknya tidak hanya dirasakan oleh guru dan sekolah saja, anak-anak akan menjadi bingung akan otoritas yang mereka ikuti. Di satu sisi, mereka diajarkan untuk menghormati guru; di sisi lain, mereka justru menyaksikan bagaimana orang tua mereka merednahkan guru bahkan menyepelekan kebijakan atau regulasi yang berlaku di sekolah.

Jika kita telisik lebih jauh lagi, sistem pendidikan yang telah terdistorsi seperti ini akan melahirkan generasi yang kurang mandiri dan tidak siap menghadapi tantangan di dunia nyata. Hal ini disebabkan adanya ketergantungan pada perlindungan dan intervensi dari orang tua yang sebenarnya dapat menghambat perkembangan karakter anak, dalam hal ini tanggungjawab, kedisiplinan, etika, termasuk kemampuan dalam berpikir kritis.

Komunikasi yang sehat dan Kolaborasi yang Positif Menuju Pendidikan yang Seimbang

Lalu, apakah fenomena ini tak’ dapat diatasi? Solusinya cukup sederhana namun membutuhkan usaha yang serius pula. Perlu adanya sinergi yang lebih baik antara orang tua, guru, dan sekolah. Masing-masing pihak ini harus memahami dan menjalankan perannya dengan baik dan berkomitmen untuk bekerja sama demi kepentingan anak/generasi penerus. Guru perlu didukung dengan pelatihan dan kebijakan yang dapat memperkuat posisi serta potensi mereka di dalam mendidik. Orang tua, memiliki peran sebagai mitra sekolah yang mendukung pertumbuhan anak-anak mereka di sekolah, bukan pemegang kendali tunggal yang memaksakan kehendak pribadinya saja. Sekolah harus lebih terbuka dalam penyelarasan visi dan misi, kebijakan atau regulasi pendidikan dengan semua pihak, termasuk para orang tua.

Kita semua perlu menyadari ini, dimana pendidikan bukanlah arena kekuasaan yang didominasi oleh satu pihak saja. Pendidikan adalah ekosistem yang saling membutuhkan, memberikan keseimbangan dan kolaborasi positif. Jika semua pihak ini dapat menjalankan perannya dengan baik, maka pendidikan yang utuh dan berkualitas dapat tercipta sebagai realitas yang dapat diwujudkan untuk kemajuan generasinya.


Referensi:

  • Kholil, A. (2021). Kolaborasi Peran serta Orang Tua dan Guru dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Secara Daring. Jurnal Pendidikan Guru, 2 (1)
  • Minhaji, A. M. (2018). Otonomi dan Reformasi Pendidikan. Edupedia, 3 (1)




Minggu, 15 Desember 2024

Pendidikan Mental Berbasis Neo Neuro Linguistic Programming (NLP)




Dilansir dari laman KOMPAS.com menyatakan bahwa “setiap 40 detik ada satu orang di dunia yang bunuh diri. Sementara di Indonesia, menurut  Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kementerian Kesehatan RI dr. Fidiansyah, Sp.Kj. menyatakan bahwa setiap hari ada 5 orang yang bunuh diri.”

Data di atas menunjukkan dampak dari adanya gangguan kesehatan mental atau jiwa setiap orang yang memiliki masalah kehidupan yang cukup berat sehingga berakibat pada keputusan untuk bunuh diri. Ditambah lagi dengan adanya survei oleh Global Health Data Exchange 2017 menyebutkan bahwa di Indonesia ada 27.3 juta orang yang mengalami gangguan mental atau kejiwaan.  Hal ini membuktikan minimnya penanganan dan pencegahan gangguan mental dan kejiwaan di Indonesia.

Gangguan mental atau kejiwaan itu sendiri merupakan penyakit yang memengaruhi emosi, pola pikir, dan perilaku penderitanya, (alodokter.com). Mental yang sehat dan positif tentu saja menjadi hal penting yang harus diperhatikan oleh siapa pun. Mengingat ini bukanlah penyakit baru, selama bertahun-tahun penyakit ini justru menjadi perhatian khusus bagi semua kalangan terutama bagi para psikolog dan psikiater. 

Adanya gangguan mental itu sendiri dapat diminimalisir dan dapat pula dicegah. Sayangnya hingga saat ini pun masalah kesehatan mental masih disepelekan oleh masyarakat Indonesia. Belum lagi, kondisi saat ini bisa dibilang dapat menjadi pemicu meningkatnya gangguan mental bagi masyarakat Indonesia. 

Berdasarkan permasalahan di atas, saya coba merekomendasikan pencegahan terhadap gangguan kesehatan mental melalui Pendidikan Mental Berbasis Neo Neuro Linguistic Programming (NLP). NLP merupakan ilmu yang juga mempelajari mengenai psikoterapi dan dapat menjadi solusi untuk mencegah terjadinya gangguan kesehatan mental pada individu.

Dalam implementasinya, berikut beberapa metode yang dapat dilakukan untuk mengatasi atau mencegah terjadinya gangguan kesehatan mental: 

Presupositions, merupakan metode yang berfokus kepada cara pengoperasian otak secara lebih efektif dengan berbagai sudut pandang. Dengan metode ini setiap individu akan diajarkan mengenai bagaimana menggunakan kinerja otak secara tepat untuk penyembuhan psikologis, meningkatkan motivasi, mencapai goal, dan segala aspek yang memerlukan fungsi otak.

Afirmasi dan Anchoring, merupakan proses pemberian sugesti positif serta melakukan penjangkaran di alam bawah sadar manusia. Dengan metode ini mereka akan dilatih untuk selalu mengingat dan mengucapkan hal-hal positif sehingga dapat memengaruhi saraf-saraf mereka untuk melakukan hal-hal yang baik dan positif serta mencegah dari tindakan yang dapat merugikan baik diri sendiri mau pun orang lain.

WFO (Well-formed outcome), merupakan metode yang dapat melatih setiap orang untuk mencapai tujuan dengan lebih efektif dengan strategi dan pola-pola yang ada dalam NLP itu sendiri.

Dengan menerapkan pendidikan mental berbasis NLP yakni Presuposition, Afirmasi dan Anchoring serta WFO tersebut diyakini mampu meminimalisir permasalahan yang ada kaitannya dengan gangguan mental yang dapat berakibat pada tindakan bunuh diri. Hasilnya, masyarakat Indonesia dapat hidup dengan sehat dan positif tentunya. -

Selasa, 10 Desember 2024

Kemarjinalan Informasi

 

Ketika semua aktivitas kehidupan kita belakangan ini disepuh kata-kata ajaib mondialisasi, tiba-tiba kita disudutkan oleh kenyataan lain yang tak kalah ajaibnya. Yakni, munculnya efek jurnalisme (Journalism effect), Wibowo (2007).

Kondisi manusia di era digitalisasi ini terbilang semakin rumit. Dalam implementasinya, manusia semakin disibukkan dengan kebiasaan ilmiah yang orang akademik menyebutnya dengan istilah ‘research’. Sebuah proses mencari tahu kata-kata ajaib dari mondialisasi dengan menggunakan instrumen yang telah ada sebagai upaya memperoleh informasi yang dapat dipercaya kebenarannya (autentik).

Namun pada kenyataannya, tidak sedikit orang yang terburu-buru menafsirkan informasi tanpa melakukan proses pengklarifikasian informasi tersebut. Akibatnya, orang-orang semakin tidak peduli dengan kebenaran informasi sehingga berdampak pada perpecahan dan kekacauan yang disebabkan oleh informasi yang tidak jelas kebenarannya.

Sejalan dengan perkembangan informasi yang semakin cepat, sebuah istilah ‘nakal’ bisa saja dianalogikan pada akibat yang teramat membahayakan ini. Sebut saja kondisi itu sebagai “kemarjinalan informasi.” Sebuah kondisi yang perlu dibenahi dengan sedemikian serius agar tidak berdampak buruk bagi Indonesia ke depannya.

Tentu bicara mengenai kemarjinalan tidak hanya berlaku pada kondisi sosial dan ekonomi saja, melainkan hal yang sama juga dapat dijabarkan untuk menjelaskan keberadaan masyarakat Indonesia dalam hal memperoleh dan menyebarkan informasi yang aktual dan dapat dipertanggungjawabkan.

Keberadaan informasi yang semakin berkembang dan luas ini, masyarakat dituntut untuk lebih bijak dalam menerima dan menyebarkan informasi. Tidak hanya itu, keberadaan media perlu juga mendapat pengawasan yang lebih ketat lagi untuk mencegah terjadinya kecacatan media dalam menyebarkan berita dan informasi.

Biasanya, Indonesia kerap kali dikacaukan oleh situasi yang amat serius sebagai akibat dari penyebaran informasi yang tidak autentik serta mengandung unsur kebencian. Mirisnya lagi, masyarakat Indonesia seolah terjebak oleh kedangkalan nalar yang berkepanjangan. Bagaimana tidak, harus diakui bahwa masyarakat Indonesia belum mampu mencerna informasi yang diterimanya. Baik melalui media masa maupun media cetak.

Oleh karena situasi yang sedemikian ricuh tersebut, saat ini Indonesia sedang dilanda krisis informasi. Bagaimana tidak, ajang PEMILU misalnya, menjadi alasan besar serta pemantik munculnya informasi-informasi palsu (hoax). Informasi ataupun berita palsu tersebut juga ditandai dengan munculnya situs-situs berita palsu maupun konten-konten yang mengandung kebencian sara dan sentimentil yang tersebar luas hampir di semua media sosial.

Munculnya berita palsu dikarenakan kebenaran ataupun keautentikan dari suatu berita maupun informasi tidak lagi menjadi hal yang substansial, melainkan siapa yang paling cepat dalam menyebarkan informasi tersebut. Akibatnya, banyak oknum baik individu maupun kelompok berlomba-lomba untuk menyajikan berita atau informasi yang belum jelas kebenarannya. Sehingga masyarakat pun dengan mudahnya bisa terprovokasi oleh informasi-informasi yang dapat menimbulkan perpecahan dan permusuhan antar sesama kelompok masyarakat.

Bicara mengenai hoax, tidak banyak masyarakat Indonesia yang paham betul bagaimana menyikapi informasi atau berita-berita yang diterima baik melalui media sosial maupun situs-situs web yang secara terang-terangan menyebarkan informasi yang belum tentu kebenarannya dan belum jelas referensinya. Oleh karena kebanyakan orang ataupun media ingin tampil terdepan dalam menyebarkan informasi, akibatnya penyebaran hoax-pun semakin tidak dapat terkendali.

Sementara itu, hoax sangatlah beragam, mulai dari isu agama, etnis, bahkan politik. Hoax juga mengakibatkan terjadinya kegelisahan yang amat serius bagi semua kalangan. Masyarakat yang ikut menyebarkan informasi palsu tersebut dikarenakan beberapa hal-diantaranya; ketidaktahuan terhadap informasi yang diterima dan yang disebarkan, unsur kesengajaan untuk menjatuhkan individu atau kelompok, ingin mendapat pengakuan, dan lain-lain.

Herannya lagi, para pelaku yang secara sadar ikut menyebarkan informasi palsu tidak hanya dilakukan oleh orang-orang biasa, melainkan juga orang-orang yang memiliki gelar sarjana atau yang berpendidikan tinggi. Oleh sebab itulah, eksistensi hoax ini terus bergulir dan berkepanjangan menghantui kedamaian dan ketenteraman masyarakat Indonesia.

Sebuah catatan histori memperkirakan kemunculan hoax ini dimulai sejak 1960-an hingga 1970-an. Sampai detik ini, penyebaran hoax makin meningkat. Eksistensi hoax yang paling menghebohkan dunia terjadi pada konstelasi pemilihan umum presiden Amerika Serikat 2016 silam. Sebelumnya Indonesia juga mengalami kondisi yang sama pada perhelatan pemilihan umum 2014 lalu. Terlebih lagi pada konstelasi pemilihan umum 2019 dan 2024 kemarin, puncak serangan hoax semakin menjadi-jadi. Oleh karena itu, pihak-pihak terkait yang merasa memiliki tanggungjawab penuh terhadap bahaya hoax, mengambil langkah strategis untuk menghentikan atau meminimalisir penyebaran berita atau informasi palsu tersebut.

Dalam kondisi yang cukup memprihatinkan ini, masyarakat perlu memperbanyak edukasi informasi melalui literasi media sebagai upaya untuk mendewasakan nalar atau pikiran agar terhindar dari kedangkalan-kedangkalan yang menyebabkan terjadinya kekacauan dan perpecahan tersebut.

Tidak hanya itu, masyarakat juga perlu untuk mengedukasi diri dalam memanfaatkan media sosial. Dengan begitu, situasi yang terbilang sulit ini dengan sendirinya perlahan tapi pasti jika sebagian besar masyarakat Indonesia mulai bijak dalam mengelola informasi dan memanfaatkan media sosial dengan baik, maka “kemarjinalan informasi” tersebut dapat diminimalisir.


Sabtu, 30 November 2024

Ini Dia Tips Mengelola Emosi dalam Aktivitas Sehari-Hari Yang Harus Kamu Tahu

 


Pada tulisan ini kita akan mendiskusikan mengenai teknik mengelola stress, teknik mindfulness dan meditasi, serta megendalikan emosi negatif.

1. Teknik Mengelola Stress

Pada situs ini, saya pernah menyinggung salah satu penyebab terjadinya stress adalah penggunaan media sosial yang berlebihan pun tidak adanya perencanaan agenda dan skala prioritas setiap harinya. Beban kerja yang banyak, tugas yang menumpuk, serta tidak adanya waktu istirahat juga menjadi pemicu utama dari adanya stress tersebut.

Ada 5 tips yang bisa kita lakukan agar dapat mengelola stress:

Pertama, manajemen waktu dan skala prioritas. Sudah pasti ini menjadi keharusan yang paling utama untuk kita lakukan. Tujuannya agar setiap aktivitas yang kita lakukan setiap hari lebih produktif dan terarah, sehingga terhindar dari aktivitas-aktivitas yang bisa memicu terjadinya stress berkepanjangan. Termasuk bermain media sosial setiap waktu.

Kedua, olahraga yang teratur. Tidak perlu melakukan olahraga berat seperti angkat beban, cukup dengan berjalan minimal 10.000 langkah setiap harinya, atau peregangan di sela-sela aktivitas atau pekerjaan, berenang, yoga, dan lain sebagainya. Lakukan secara rutin dan terjadwal setiap harinya. Hal ini dapat memicu peningkatan produksi endorfin yang dapat meningkatkan suasana hati dan menekan terjadinya stress berkepanjangan.

Ketiga, hobi dan rekreasi. Kita dapat meningkatkan kebahagiaan atau suasana hati yang baik dengan cara menghabiskan waktu untuk hobi. Apalagi jika hobinya adalah olahraga. Selain itu, aktivitas rekreasi juga dapat dijadikan pilihan untuk menjaga dan meningkatkan suasana hati menjadi lebih baik dan bahagia.

Keempat, relaksasi otot progresif. Dalam mempraktikkan poin ini, kita perlu didampingi oleh seseorang yang sudah ahli atau seorang praktisi di bidang ini. Jika tidak memiliki relasi, kita boleh mencari sumber-sumber dari berbagai media, salah satunya media sosial yakni youtube.

Keenam, teknik pernapasan 4-7-8. Teknik ini mampu mengatasi stress dan dapat digunakan untuk relaksasi. Selain itu, teknik ini juga dapat digunakan untuk mengatasi gugup dan sulit tidur. Penggunaan teknik ini cukup sederhana, dengan cara menghirup udara selama 4 detik, lalu ditahan selama 7 detik, dan diembuskan selama 8 detik melalui mulut. Lakukan setiap pagi dan malam hari sebelum istirahat, pun saat akan tampil di atas panggung atau penampilan apapun yang membuat adrenalin kita meningkat. Setiap kali melakukan teknik ini, ulangi 4-6 kali.

2. Teknik Mindfulness dan Meditasi

Teknik mindfulness dan meditasi ini sudah menjadi teknik umum yang tidak hanya diketahui, melainkan dipraktikkan banyak orang—bahkan tanpa bantuan professional sekalipun.

Mindfulness, kita hanya perlu sadar dan menaruh perhatian, hadir pada setiap momen yang kita lakukan (sedang berlangsung/saat ini). Banyak orang yang meskipun tubuhnya sedang dengan apa yang dia kerjakan, tapi tidak dengan pikirannya yang mungkin berada di tempat lain. Ada salah satu metode yang biasa saya lakukan untuk menarik diri agar bisa sepenuhnya dan seutuhnya hadir dan fokus pada apa yang dikerjakan saat ini. Namanya metode 5-4-3-2-1: mencari 5 benda yang bisa kita lihat secara visual yang ada di dekat kita, lalu menyentuh 4 benda, dengarkan 3 suara/bunyi, membaui 2 bau, dan mengecap 1 makanan/sesuatu yang bisa dirasakan lidah.

Meditasi mindfulness, teknik ini cukup sederhana, kita hanya perlu duduk diam dengan posisi senyaman mungkin (direkomendasikan posisi duduk meditasi dengan kaki bersila, tangan di atas lutut, dan mata ditutup). Gunakan teknik pernapasan 4-7-8, fokuslah pada apa yang muncul di pikiran kita tanpa berusaha mengubahnya. Latihan ini dapat membantu kita untuk menenangkan pikiran dan meningkatkan kesadaran diri.

Body Scan, latihan ini merupakan cara kita untuk memindai dan merasakan sensasi di setiap bagian tubuh kita. Apakah itu perasaan tidak nyaman atau rasa sakit. Hal ini dapat membantu meningkatkan kesadaran diri dan relaksasi.

3.  Mengendalikan Emosi Negatif

Identifikasi pemicu negatif, kenali situasi atau pikiran yang memicu emosi negatif. Mengetahui pemicu dapat membantu kita untuk mengelola reaksi dengan lebih baik.

Pengalihan positif, kita juga dapat mengalihkan pikiran dengan cara melakukan aktivitas yang menyenangkan, entah melakukan hobi atau sekadar mendengarkan musik, nonton film, bersepeda, dan aktivitas menyenangkan lainnya.

Tuliskan masalah dengan rinci, dengan menuliskan semua masalah atau pemicu emosi negatif, kita telah berhasil menyelesaikan Sebagian masalah tersebut. Biasanya hal ini terjadi karena kadang kala kita tidak bisa mengidentifikasi masalah apa yang kita hadapi sehingga membatasi kita dalam penemuan solusinya.

Mengeskpresikan emosi, sebaiknya kita tidak menahan atau menekan perasaan atau emosi negatif yang kita rasakan. Ekspresikan emosi itu dengan cara yang sehat seperti menulis jurnal, bercerita dengan teman kepercayaan atau orang tua, atau melakukan meditasi.

Sebenarnya masih banyak cara yang dapat kita lakukan, tetapi, apa yang saya tuliskan di atas secukupnya dapat membantu kita dalam mengatasi dan mengendalikan emosi negatif.

 

Total Tayangan Halaman

Kategori

Recent Posts

Tahukah kamu? Di Gorontalo ada museum keren yang penuh dengan sejarah luar biasa!

  Yup, namanya Museum Purbakala Popa Eyato ! Museum ini bukan sembarang museum, lho. Namanya diambil dari dua tokoh raja berpengaruh yang pe...

Quotes

"Sebelum berpikir untuk mengubah dunia, terlebih dulu ubahlah pikiranmu" Arsa Danialsa_

Quotes

"Tidak ada yang namanya kegagalan, yang ada hanyalah feedback" Arsa Danialsa_

Butuh Bantuan?

Nama

Email *

Pesan *