Ibu
Kota dengan keramaiannya, menyimpan seorang gadis yang terselip di antara
hiruk-pikuk yang tak peduli. Gadis itu adalah bagian dari lautan manusia yang
berlalu-lalang, asing di antara keramaian yang tak mengenal nama. Gadis yang membawa
sejumput harapan dari tempat jauh, meretas jalan dari desa kecilnya dengan
semangat yang gemilang. Namun, di sini, di jantung kota yang benderang,
mimpinya perlahan menjadi sayup.
Kamar
kosan itu sederhana, berukuran 3x4 meter, cukup untuk ia dan mimpi-mimpinya
yang mulai memudar. Dinding-dindingnya pucat, sedikit retak di beberapa sudut,
dengan cat yang mengelupas di pinggir-pinggir jendela. Hanya ada satu jendela
kecil di sisi ruangan, membiarkan cahaya lampu jalan masuk samar-samar, memberikan
nuansa remang yang melankolis saat malam tiba.
Di
satu sudut, ada kasur tipis dengan sprei yang mulai kusam, bantal yang sedikit
lepek, dan selimut yang tergulung tak rapi. Meja kecil di samping kasur
dipenuhi barang-barang pribadi; setumpuk buku dengan pembatas halaman yang tak
pernah beranjak, mug kopi dengan noda bekas, serta kalender kecil yang masih
terhenti pada bulan sebelumnya. Di atas meja, sebuah lampu belajar yang mulai
redup menemani catatan-catatan lama, sisa dari hari-hari penuh harapan.
Gantungan baju yang menempel di balik pintu memajang beberapa helai pakaian
yang sering dipakai, terlihat sederhana dan sedikit pudar warnanya. Di sudut
lain, koper yang tak lagi dibuka tergeletak, dan di sampingnya terdapat kardus
berisi barang-barang dari kampung halaman.
Ini
adalah tempat berteduh yang sementara, namun baginya, kamar kecil ini telah
menjadi saksi banyak malam panjang penuh sunyi, tempat di mana ia berjuang dan
pada akhirnya, berdamai dengan ketidakpastian. Di meja kecil tepat di samping
kasur, ia mulai menulis. Tertulis dengan tangan yang gemetar, tetapi hatinya
mantap. Surat itu bukan sekadar wasiat melainkan sebuah pengakuan, penutup dari
perjalanan panjang seorang gadis yang pernah menggenggam mimpi-mimpi besar,
namun kini tinggal bayangan diri yang lelah.
----
Untuk
Ibu dan Bapak tersayang,
Di
kamar yang sunyi ini, aku mengenang rumah kita dengan jalan setapak yang
berdebu. Aku ingat senyummu, Bu, yang mengantarku pergi, meskipun berat, dengan
penuh doa di bibirmu. Dan Bapak, kau yang diam-diam menyeka air mata di balik
topi lusuh itu, seolah memberi keberanian yang bahkan tak kau punya.
Pak,
Bu, kupikir kota besar akan mengulurkan tangannya yang ramah dan memelukku
dengan kehangatan. Ternyata, ia dingin, Ibu. Kota ini menakutkan. Setiap
langkah yang kubangun dari mimpi-mimpi kita kini hanya gema sunyi yang menggema
tanpa suara. Mimpi-mimpi yang pernah berkilau, satu per satu, kusadari kian
pudar.
Kalian
mungkin akan kecewa, mungkin akan terkejut, tapi inilah kenyataan yang kupeluk
setiap malam. Sebab di balik gemerlap lampu kota, aku kerap merasa asing. Tak
ada tangan yang meraih, tak ada senyum yang benar-benar tulus. Yang tersisa
hanya bayanganku sendiri, yang semakin menjauh dari sosok yang kalian harapkan.
Hufhhh….
Namun,
aku ingin kalian tahu, semua ini adalah pilihanku. Aku pergi bukan karena tak
mencintai tanah kita, tetapi justru karena cinta itulah aku ingin membuktikan
diri. Aku tak menyesal, tapi aku juga tak ingin kalian terus berharap lebih.
Kalian telah mengajarkanku segala yang bisa kubawa, dan semua telah kujalani
dengan segala kekuatanku. Pun, jika ada yang hilang dari diriku dalam
perjalanan ini, itu adalah bagian dari pencarian yang panjang.
Pak,
bu, di lemari dan di meja yang kupakai menulis ini, ada sekumpulan buku yang
pernah kujanjikan untuk kubawa pulang bagi anak-anak di rumah belajarku.
Mimpi-mimpi itu tak sepenuhnya hilang. Tolong, berikan buku-buku itu pada
anak-anak di sana. Aku ingin mereka memiliki cerita yang lebih baik dari
sekadar bayangan yang kupeluk saat ini. Biarkan mereka bermimpi lebih tinggi
dari langit kota yang pernah kuraih. Mungkin, mereka akan lebih kuat dariku.
Di
atas lemari, ada tas carrier berukuran 50L dari nenek. Tas itu adalah
satu-satunya hadiah paling mewah yang sempat beliau berikan padaku sebelum aku
berangkat ke kota. Berikan tas itu kepada adik perempuanku. Aku ingin ia
merasakan dukungan yang sama dari keluarga, seperti yang kurasakan saat pertama
kali berangkat meninggalkan rumah. Biarkan tas itu menemaninya meraih mimpi,
seperti halnya ia pernah menjadi saksi langkah-langkah awal perjuanganku.
Tolong,
jangan tinggalkan potret keluarga yang kutaruh di atas meja kecil ini. Potret
itu telah menjadi pengingat sekaligus penguat bagiku setiap kali rindu melanda.
Di balik senyum yang terekam di sana, aku menemukan alasan untuk terus bertahan
meski seringkali lelah. Gantunglah potret itu di ruang tamu rumah kita, supaya
ia tetap menjadi saksi cinta kalian, dan barangkali, sebagai pengingat kecil
untukku, yang tak lagi bisa pulang.
Di
buku harian kecilku, kalian akan menemukan coretan-coretan tentang segala
harapan dan kegagalan yang kualami. Ada mimpi yang tidak terwujud, ada
kekecewaan yang tak terucap, dan ada doa-doa untuk kebahagiaan kita. Simpanlah
buku itu. Barangkali, di balik semua kata yang tercoret, kalian akan menemukan
alasan mengapa aku berhenti melangkah.
Lalu,
pak, bu, tolong jaga akun Instagram-ku. Di sana, ada potongan-potongan cerita
yang mungkin tak pernah sempat kusampaikan langsung pada kalian. Ada
momen-momen kecil yang meski terlihat sederhana, telah menjadi bagian dari
perjalananku. Ubah private foto-fotoku yang menampilkan senyuman manis yang
bisa menarik simpati orang lain. Foto-foto bersama kolega dan teman-teman,
terlebih hasil-hasil tulisan tanganku, biarkan semua tetap ada, agar kalian
bisa mengenangku dari setiap gambar dan dari setiap kata yang kutulis.
Di
album fotoku, ada beberapa potret yang kuposting dengan senyuman, meski mungkin
tak selalu menggambarkan perasaanku yang sebenarnya. Foto-foto itu adalah
caraku untuk tetap terlihat kuat, walau sebenarnya ada kalanya aku merasa
hampa. Namun, aku ingin kalian tahu, setiap foto itu adalah bagian dari harapan
yang kubawa, dari mimpi yang pernah begitu indah di mataku. Biarkan foto-foto
itu menjadi bukti bahwa aku pernah mencoba sebaik mungkin.
Terakhir,
tolong sampaikan ke semua orang yang mengenalku secara baik, untuk tidak
menangisiku secara berlebihan. Sedih boleh, tapi tolong tetap realistis bahwa
hidup akan terus berjalan, bahwa aku hanyalah secuil kenangan yang melintas di
kehidupan mereka.
Ohiya,
bu, pak, kalian jangan pernah merasa bersalah atas keputusanku pergi merantau.
Semua ini adalah jalanku sendiri, jalan yang sudah kutempuh dengan sepenuh
hati, meskipun pada akhirnya harus berhenti. Kalian adalah alasan aku bertahan
sejauh ini. Jadi, jangan pernah merasa kurang telah mendukungku; semua cinta
yang kalian beri adalah harta terbesarku. Selamanya aku bersyukur, dan maafkan
aku jika harapan yang kalian titipkan padaku belum sepenuhnya tercapai.
Ini
bukan akhir yang kubayangkan, Bu, Pak. Tapi ini akhir yang mesti kuterima. Aku
harap kalian akan memaafkan segala langkahku yang tak sampai, harapanku yang
memudar, dan mimpi yang berhenti di sini. Kalian adalah titik awal dari semua
mimpi ini. Terima kasih karena telah mempercayai gadis kecil ini untuk terbang
meskipun akhirnya ia jatuh.
Dengan
segenap cinta—yang entah bisa kuraih atau tidak—yang aku tahu hanyalah bahwa
cinta kalian tetap menjadi tempatku berpulang.
Aku,
Anak
kalian yang hilang dalam keramaian kota.