• Ingin Cerita Anda Menginspirasi Dunia | Coming Soon

    Di Zona Insight, kami percaya bahwa setiap individu dan kelompok memiliki cerita yang layak didengar. Kami hadir untuk membantu Anda mempublikasikan ide, pengalaman, atau prestasi agar menjangkau lebih banyak audiens.

  • Ayo Jadi Penulis di Zona Insight | Klik di sini untuk Daftar

    Manfaatkan kesempatan selama 3 bulan bersama Zona Insight untuk memberi dampak dan inspirasi lewat tulisan. Kamu juga akan dibekali pengetahuan dan keterampilan menulis oleh mentor Zona Insight, serta mendapatkan sertifikat penghargaan sebagai penulis inspiratif.

Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan

Minggu, 09 Maret 2025

Setelah Kita Menjalani Hidup Masing-Masing

 


Kita pernah menjadi dua manusia yang berjalan sejajar, menyeberangi waktu dengan langkah serupa. Kita pernah mengukir rencana di langit senja, mengira bahwa garis takdir adalah sesuatu yang bisa kita genggam erat dalam genggaman. Tapi, waktu selalu punya cara untuk melepaskan jemari yang bertaut, menyisakan ruang yang lambat laun melebar menjadi jarak.

Kau memilih jalurmu, aku memilih jalurku. Kita tak pernah saling menahan, hanya sesekali menoleh, memastikan bahwa bayangan masing-masing masih ada dalam pandangan. Sampai akhirnya, kelokan-kelokan kehidupan membawa kita ke arah yang berbeda, mengaburkan siluet yang dulu akrab dalam ingatan.

Aku pernah bertanya-tanya, apakah di suatu pagi yang sibuk, kau sempat mengingat aku? Apakah di sela-sela kesibukanmu, namaku masih bergema di sudut kecil benakmu? Aku tahu, dunia ini luas, dan jalan yang kita tempuh tak lagi bersinggungan seperti dulu. Tapi ada saat-saat di mana aku melihat pantulan dirimu dalam hal-hal kecil—sebuah lagu yang dulu kita dengarkan bersama, aroma kopi Golda yang mengingatkan pada percakapan santai kita, atau bahkan sinar matahari yang menyengat tubuhku—dulu, kau suka ngomel kalo matahari itu leluasa menyentuh kulitku, hehehe. 

Kini, setelah waktu menjauhkan kita, aku tak lagi ingin bertanya tentang apa yang telah terjadi. Aku hanya berharap, di mana pun kau berada, kehidupan memperlakukanmu dengan baik. Kuulangi, dunia memperlakukanmu dengan baik. Aku berharap langkahmu ringan, harimu penuh cahaya, dan kau bahagia dengan segala yang telah kau pilih.

Dan jika suatu hari takdir mempertemukan kita kembali, meski hanya dalam pertemuan singkat di antara keramaian, aku ingin percaya bahwa kita akan saling tersenyum—tanpa sesal, tanpa penyesalan, hanya penerimaan bahwa kehidupan telah membawa kita ke tempat yang seharusnya.

Misalnya, dalam pertemuan singkat itu, ada sekelebat hening di antara kita. Bukan karena tak tahu harus berkata apa, tapi karena ada sesuatu yang mengendap di dada, sesuatu yang tak akan pernah terucapkan.

Mungkin aku akan melihatmu dengan senyum yang tak sepenuhnya lepas, lalu dalam hatiku, samar-samar sebuah tanya menggema: "Ah, andai dulu kita tidak pisah… apakah kita akan tetap berdiri di sini sebagai kita, bukan sebagai dua orang asing yang pura-pura baik-baik saja?"

Atau mungkin di antara percakapan ringan tentang pekerjaan, kota yang kita tinggali, kehidupan yang berjalan setelah perpisahan, atau bisa jadi cerita tentang seseorang yang kini menemani kita. 

Aku yakin, jika itu terjadi, pasti akan ada momen di mana mata kita bertemu lebih lama dari yang seharusnya. Sebuah tatapan yang mengisyaratkan sesuatu yang tak pernah selesai, sesuatu yang hanya bisa diutarakan dalam bisikan hati:

"Andai dulu kita lebih berjuang, apakah cerita kita akan berbeda?"

Saat pertemuan itu berakhir, kita akan berjalan pergi dengan langkah yang terasa berat, bukan karena ingin kembali, tapi karena sadar bahwa waktu tak bisa diputar, dan kemungkinan yang dulu ada, kini hanya tinggal kenangan yang berpendar.


2025

Minggu, 01 Desember 2024

SURAT WASIAT




Ibu Kota dengan keramaiannya, menyimpan seorang gadis yang terselip di antara hiruk-pikuk yang tak peduli. Gadis itu adalah bagian dari lautan manusia yang berlalu-lalang, asing di antara keramaian yang tak mengenal nama. Gadis yang membawa sejumput harapan dari tempat jauh, meretas jalan dari desa kecilnya dengan semangat yang gemilang. Namun, di sini, di jantung kota yang benderang, mimpinya perlahan menjadi sayup.

Kamar kosan itu sederhana, berukuran 3x4 meter, cukup untuk ia dan mimpi-mimpinya yang mulai memudar. Dinding-dindingnya pucat, sedikit retak di beberapa sudut, dengan cat yang mengelupas di pinggir-pinggir jendela. Hanya ada satu jendela kecil di sisi ruangan, membiarkan cahaya lampu jalan masuk samar-samar, memberikan nuansa remang yang melankolis saat malam tiba.

Di satu sudut, ada kasur tipis dengan sprei yang mulai kusam, bantal yang sedikit lepek, dan selimut yang tergulung tak rapi. Meja kecil di samping kasur dipenuhi barang-barang pribadi; setumpuk buku dengan pembatas halaman yang tak pernah beranjak, mug kopi dengan noda bekas, serta kalender kecil yang masih terhenti pada bulan sebelumnya. Di atas meja, sebuah lampu belajar yang mulai redup menemani catatan-catatan lama, sisa dari hari-hari penuh harapan. Gantungan baju yang menempel di balik pintu memajang beberapa helai pakaian yang sering dipakai, terlihat sederhana dan sedikit pudar warnanya. Di sudut lain, koper yang tak lagi dibuka tergeletak, dan di sampingnya terdapat kardus berisi barang-barang dari kampung halaman.

Ini adalah tempat berteduh yang sementara, namun baginya, kamar kecil ini telah menjadi saksi banyak malam panjang penuh sunyi, tempat di mana ia berjuang dan pada akhirnya, berdamai dengan ketidakpastian. Di meja kecil tepat di samping kasur, ia mulai menulis. Tertulis dengan tangan yang gemetar, tetapi hatinya mantap. Surat itu bukan sekadar wasiat melainkan sebuah pengakuan, penutup dari perjalanan panjang seorang gadis yang pernah menggenggam mimpi-mimpi besar, namun kini tinggal bayangan diri yang lelah.

----

Untuk Ibu dan Bapak tersayang,

Di kamar yang sunyi ini, aku mengenang rumah kita dengan jalan setapak yang berdebu. Aku ingat senyummu, Bu, yang mengantarku pergi, meskipun berat, dengan penuh doa di bibirmu. Dan Bapak, kau yang diam-diam menyeka air mata di balik topi lusuh itu, seolah memberi keberanian yang bahkan tak kau punya.

Pak, Bu, kupikir kota besar akan mengulurkan tangannya yang ramah dan memelukku dengan kehangatan. Ternyata, ia dingin, Ibu. Kota ini menakutkan. Setiap langkah yang kubangun dari mimpi-mimpi kita kini hanya gema sunyi yang menggema tanpa suara. Mimpi-mimpi yang pernah berkilau, satu per satu, kusadari kian pudar.

Kalian mungkin akan kecewa, mungkin akan terkejut, tapi inilah kenyataan yang kupeluk setiap malam. Sebab di balik gemerlap lampu kota, aku kerap merasa asing. Tak ada tangan yang meraih, tak ada senyum yang benar-benar tulus. Yang tersisa hanya bayanganku sendiri, yang semakin menjauh dari sosok yang kalian harapkan. Hufhhh….

Namun, aku ingin kalian tahu, semua ini adalah pilihanku. Aku pergi bukan karena tak mencintai tanah kita, tetapi justru karena cinta itulah aku ingin membuktikan diri. Aku tak menyesal, tapi aku juga tak ingin kalian terus berharap lebih. Kalian telah mengajarkanku segala yang bisa kubawa, dan semua telah kujalani dengan segala kekuatanku. Pun, jika ada yang hilang dari diriku dalam perjalanan ini, itu adalah bagian dari pencarian yang panjang.

Pak, bu, di lemari dan di meja yang kupakai menulis ini, ada sekumpulan buku yang pernah kujanjikan untuk kubawa pulang bagi anak-anak di rumah belajarku. Mimpi-mimpi itu tak sepenuhnya hilang. Tolong, berikan buku-buku itu pada anak-anak di sana. Aku ingin mereka memiliki cerita yang lebih baik dari sekadar bayangan yang kupeluk saat ini. Biarkan mereka bermimpi lebih tinggi dari langit kota yang pernah kuraih. Mungkin, mereka akan lebih kuat dariku.

Di atas lemari, ada tas carrier berukuran 50L dari nenek. Tas itu adalah satu-satunya hadiah paling mewah yang sempat beliau berikan padaku sebelum aku berangkat ke kota. Berikan tas itu kepada adik perempuanku. Aku ingin ia merasakan dukungan yang sama dari keluarga, seperti yang kurasakan saat pertama kali berangkat meninggalkan rumah. Biarkan tas itu menemaninya meraih mimpi, seperti halnya ia pernah menjadi saksi langkah-langkah awal perjuanganku.

Tolong, jangan tinggalkan potret keluarga yang kutaruh di atas meja kecil ini. Potret itu telah menjadi pengingat sekaligus penguat bagiku setiap kali rindu melanda. Di balik senyum yang terekam di sana, aku menemukan alasan untuk terus bertahan meski seringkali lelah. Gantunglah potret itu di ruang tamu rumah kita, supaya ia tetap menjadi saksi cinta kalian, dan barangkali, sebagai pengingat kecil untukku, yang tak lagi bisa pulang.

Di buku harian kecilku, kalian akan menemukan coretan-coretan tentang segala harapan dan kegagalan yang kualami. Ada mimpi yang tidak terwujud, ada kekecewaan yang tak terucap, dan ada doa-doa untuk kebahagiaan kita. Simpanlah buku itu. Barangkali, di balik semua kata yang tercoret, kalian akan menemukan alasan mengapa aku berhenti melangkah.

Lalu, pak, bu, tolong jaga akun Instagram-ku. Di sana, ada potongan-potongan cerita yang mungkin tak pernah sempat kusampaikan langsung pada kalian. Ada momen-momen kecil yang meski terlihat sederhana, telah menjadi bagian dari perjalananku. Ubah private foto-fotoku yang menampilkan senyuman manis yang bisa menarik simpati orang lain. Foto-foto bersama kolega dan teman-teman, terlebih hasil-hasil tulisan tanganku, biarkan semua tetap ada, agar kalian bisa mengenangku dari setiap gambar dan dari setiap kata yang kutulis.

Di album fotoku, ada beberapa potret yang kuposting dengan senyuman, meski mungkin tak selalu menggambarkan perasaanku yang sebenarnya. Foto-foto itu adalah caraku untuk tetap terlihat kuat, walau sebenarnya ada kalanya aku merasa hampa. Namun, aku ingin kalian tahu, setiap foto itu adalah bagian dari harapan yang kubawa, dari mimpi yang pernah begitu indah di mataku. Biarkan foto-foto itu menjadi bukti bahwa aku pernah mencoba sebaik mungkin.

Terakhir, tolong sampaikan ke semua orang yang mengenalku secara baik, untuk tidak menangisiku secara berlebihan. Sedih boleh, tapi tolong tetap realistis bahwa hidup akan terus berjalan, bahwa aku hanyalah secuil kenangan yang melintas di kehidupan mereka.

Ohiya, bu, pak, kalian jangan pernah merasa bersalah atas keputusanku pergi merantau. Semua ini adalah jalanku sendiri, jalan yang sudah kutempuh dengan sepenuh hati, meskipun pada akhirnya harus berhenti. Kalian adalah alasan aku bertahan sejauh ini. Jadi, jangan pernah merasa kurang telah mendukungku; semua cinta yang kalian beri adalah harta terbesarku. Selamanya aku bersyukur, dan maafkan aku jika harapan yang kalian titipkan padaku belum sepenuhnya tercapai.

Ini bukan akhir yang kubayangkan, Bu, Pak. Tapi ini akhir yang mesti kuterima. Aku harap kalian akan memaafkan segala langkahku yang tak sampai, harapanku yang memudar, dan mimpi yang berhenti di sini. Kalian adalah titik awal dari semua mimpi ini. Terima kasih karena telah mempercayai gadis kecil ini untuk terbang meskipun akhirnya ia jatuh.

Dengan segenap cinta—yang entah bisa kuraih atau tidak—yang aku tahu hanyalah bahwa cinta kalian tetap menjadi tempatku berpulang.

 

Aku,

Anak kalian yang hilang dalam keramaian kota.





Total Tayangan Halaman

Kategori

Recent Posts

Teknologi Canggih, Skill Harus Level Up: Gen Z Siap?

Zaman sekarang, siapa yang gak tau teknologi Artificial Intelligence (AI)? Semuanya bisa dikerjakan sama teknologi ini, bahkan dalam beberap...

Quotes

"Sebelum berpikir untuk mengubah dunia, terlebih dulu ubahlah pikiranmu" Arsa Danialsa_

Quotes

"Tidak ada yang namanya kegagalan, yang ada hanyalah feedback" Arsa Danialsa_

Butuh Bantuan?

Nama

Email *

Pesan *