• Ingin Cerita Anda Menginspirasi Dunia | Coming Soon

    Di Zona Insight, kami percaya bahwa setiap individu dan kelompok memiliki cerita yang layak didengar. Kami hadir untuk membantu Anda mempublikasikan ide, pengalaman, atau prestasi agar menjangkau lebih banyak audiens.

  • Ayo Jadi Penulis di Zona Insight | Klik di sini untuk Daftar

    Manfaatkan kesempatan selama 3 bulan bersama Zona Insight untuk memberi dampak dan inspirasi lewat tulisan. Kamu juga akan dibekali pengetahuan dan keterampilan menulis oleh mentor Zona Insight, serta mendapatkan sertifikat penghargaan sebagai penulis inspiratif.

Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan

Kamis, 31 Juli 2025

Saat Kau Hampir Menyambutku

 



Ia mengenalnya dari cerita-cerita kecil yang dilontarkan temannya, sepotong-sepotong, seperti mozaik yang ia susun dalam benaknya: lelaki yang pendiam, katanya, tapi setia mendengarkan. Ia yang tak pernah menonjol dalam keramaian, tapi senyumnya mampu membungkam gaduh di dada.

Namanya Dira. Ia tak tahu persis kapan mulai tertarik. Mungkin saat melihat foto lelaki itu sedang menyiram tanaman, dengan mata yang tak menatap kamera tapi memandang hidup dengan cara yang tenang. Atau mungkin saat ia tahu bahwa lelaki itu suka menulis catatan kecil di punggung buku-bukunya. Dira mulai memperhatikan detail-detail kecil, seperti jenis tanaman yang ia rawat, atau judul buku yang tak sengaja tertangkap kamera. Semua itu membuatnya merasa seolah ia sedang membaca seseorang, bukan sekadar melihat.

Perlahan, ia mulai mencari celah untuk mengenal lelaki itu lebih dekat. Bertanya lewat teman yang memperkenalkan, menelusuri akun media sosialnya, memperhatikan cerita-cerita yang ia bagi: lagu yang ia dengarkan, kutipan yang ia unggah, dan cara ia menuliskan kegelisahan tanpa benar-benar mengeluh. Ia menyusun potongan-potongan itu menjadi citra tentang seseorang yang tak sempurna, tapi nyata—dan justru karena itulah, memikat. Setiap informasi kecil menjadi seperti benih harapan, yang ia sirami diam-diam dengan rasa dan kemungkinan.

Berulang kali Dira menatap layar ponselnya, menunggu notifikasi yang tak kunjung muncul dari Satya—nama lelaki itu. Ada dorongan besar dalam dirinya untuk sekadar menyapa lebih dulu, tapi gengsi menahannya seperti tembok yang tinggi dan dingin. Ia terlalu ingin segera saling terhubung, terlalu ingin rasa ini berbalas, tapi juga terlalu takut terlihat lebih dulu menginginkan.

Beberapa kali ia mengetik pesan pendek, “Hai, kamu suka buku itu juga ya?” atau “Lagunya enak, aku juga sering dengar”—lalu menghapusnya sebelum sempat dikirim. Ia ingin terlihat tenang, padahal hatinya gaduh. Ingin tampak santai, padahal dalam diam, ia berdoa agar laki-laki itu mengerti sinyal-sinyal yang ia kirimkan dengan sangat halus. Ia merasa lucu pada dirinya sendiri—bagaimana seseorang bisa begitu takut untuk memulai, padahal hanya satu kalimat yang dibutuhkan. Tapi bagi Dira, satu sapaan terasa seperti pertaruhan atas seluruh harga diri. Ia takut penolakan tak datang dalam bentuk kata, melainkan dalam sunyi yang menggantung terlalu lama.

Dira yakin, bahwa mereka akan cocok. Ia menyukai ketenangan lelaki itu, dan percaya lelaki itu membutuhkan keberanian yang ia miliki. Di benaknya, mereka seperti dua sisi yang diciptakan untuk menyatu—satu mengisi kekosongan yang lain. Ia membayangkan duduk berdampingan dengannya, tanpa perlu banyak kata, cukup saling tahu bahwa keberadaan masing-masing sudah cukup. Namun, waktu terus berjalan, dan selama enam bulan itu, mereka hanya bertahan sebagai dua nama yang saling pandang di layar. Tak ada percakapan. Tak ada sapaan.

Pernah, Dira mencoba semua makanan dan minuman yang ia lihat dari story Satya. Entah itu kopi hitam tanpa gula, mie ayam pedas level tinggi, atau donat klasik dari toko kecil di pojokan kota—semuanya ia cicipi satu per satu. Ia berpikir, siapa tahu suatu saat mereka akan duduk bersama, menikmati hal-hal kecil itu berdua, dan ia tak akan terlihat canggung atau terkejut dengan rasanya. Ia ingin segala sesuatu tentang Satya terasa akrab, seolah mereka sudah sering berbagi hari-hari, meski hanya Dira yang benar-benar menjalaninya. Ia mencatat rasa dan kesan dari setiap kunjungan, seakan sedang menulis panduan diam-diam untuk mendekati dunia lelaki itu. Bahkan ia memotret makanannya, tapi tak pernah diunggah ke media sosialnya, karena takut terlihat terlalu jelas sedang menyusuri jejak orang lain.

Awalnya hanya seperti kebetulan kecil yang berulang, tapi lama-lama terasa seperti pola yang tak bisa diabaikan—dan di sanalah Satya mulai notice pada Dira. Satya menyadari sesuatu yang pelan tapi pasti muncul dari Dira. Cara Dira menyukai unggahan-unggahannya tepat setelah ia mengunggahnya. Cara Dira mulai sering muncul di tempat-tempat yang sama, entah di acara komunitas, pameran kecil, atau kafe yang biasa ia kunjungi. Ia juga beberapa kali me-repost kutipan dari unggahan Satya, tanpa menyebut namanya, tapi cukup untuk membuat Satya bertanya-tanya. Dan tentu saja, teman-temannya yang mulai menggoda dengan kalimat-kalimat ringan: "Sepertinya Dira suka kamu, Sat." Mereka bukan teman Satya saja, tapi juga kenal dekat dengan Dira. Mereka adalah orang-orang yang sama-sama mengenal keduanya dan mulai membaca dinamika yang tak diucapkan. “Dia tuh selalu nanya kabar kamu kalau lagi ngobrol,” ujar salah satu dari mereka sambil tersenyum penuh arti. “Satya, buka matamu dikit lah.”

Satya mulai bertanya dalam diam, “Apa yang ia sukai dariku? Aku bukan siapa-siapa. Ia bisa bersama pria yang jauh lebih tampan, lebih jenaka, lebih… sederajat.” Ia menggenggam perasaan itu seperti menggenggam air, ragu-ragu dan takut tumpah.

Ada malam-malam di mana Satya memandangi layar ponselnya lebih lama dari biasanya, membaca ulang komentar atau story Dira yang tampak biasa, tapi baginya menyimpan isyarat. Ia mulai mengingat momen-momen kecil—tatapan singkat, senyum yang tertahan, atau cara Dira mendekat tanpa benar-benar mendeklarasikan apa pun. Semua itu mengendap pelan, menumbuhkan keyakinan bahwa mungkin memang ada sesuatu di antara mereka.

Namun, di balik semua tanda itu, Satya tetap dihantui keraguan. Ia takut hanya membangun harapan dari kebetulan yang dibacanya terlalu jauh. Ia tidak ingin geer—berpikir disukai, padahal mungkin Dira hanya bersikap ramah seperti biasa. Lagipula, ia sering merasa dirinya bukan tipe yang mudah disukai. Ia bukan yang paling menarik di ruangan, bukan pula yang paling percaya diri untuk memulai lebih dulu. Ada bagian dalam dirinya yang selalu merasa kurang, seolah-olah perasaan orang lain tak mungkin benar-benar memilih dirinya.

Tapi suatu malam, saat Dira membagikan lagu lama yang sama persis dengan yang baru saja ia unggah dua jam sebelumnya, lengkap dengan kutipan lirik yang seolah menjawab isi kepalanya, Satya terdiam cukup lama. Rasanya seperti konfirmasi yang tak diucapkan, tapi terasa begitu jelas. Ia kembali membuka riwayat ‘interaksi’ mereka, menelusuri ulang semua isyarat kecil. Mereka memang tak pernah berbicara langsung, tapi rasanya seperti sudah lama saling menyapa lewat kode-kode yang hanya mereka pahami. Dan saat ia menyatukan semuanya, perlahan benang merah itu tampak jelas—bahwa Dira memang tidak hanya hadir, tapi menunggu.

Saat itulah, ia mulai benar-benar yakin. Ia mulai menepis keraguan yang selama ini membelenggunya. Mungkin, pikirnya, rasa tidak percaya diri itu hanyalah bayang-bayang yang diciptakan oleh ketakutan kehilangan sesuatu yang belum sempat dimiliki. Hingga bulan ketujuh datang dan Satya mulai membuka dirinya. Ia membalas cerita-cerita yang dibagikan Dira di Instagram Story, menanggapi dengan singkat, lalu lebih panjang. Ia menyukai foto diri yang diunggah Dira. Baru kali itu Satya benar-benar memperhatikan senyumnya, dan ia tersadar, ada kehangatan tenang dalam senyum itu, sesuatu yang manis tanpa dibuat-buat, seolah mampu meredakan hal-hal yang tak terucap. Ia mulai memikirkan: "Mungkin ini yang disebut cinta yang tumbuh pelan-pelan." Ia ingin mengatakannya, segera.

Namun, yang tak ia tahu, cinta yang pelan juga bisa kalah oleh waktu.

***

Tepat ketika ia bersiap menyusun kata, mengalahkan rasa minder dan akhirnya hendak mengajaknya bertemu, kabar itu sampai di telinganya lewat teman yang dulu mengenalkan mereka: “Sat, kenal Dira ‘kan? Dia akan menikah bulan depan. Dipinang temannya sendiri. Sudah dekat lama, katanya. Heboh di sosmed. Si cowoknya keliatan kecintaan banget.”

Satya duduk diam, “Oh gitu?” jawabnya singkat.

Dunia dalam dirinya bergetar, tapi tak ada gempa yang terlihat dari luar. Ia hanya tertawa kecil, lalu menunduk. Ada sesuatu dalam dadanya yang remuk perlahan, tapi tidak ia biarkan terdengar. Ia membiarkan senyumnya tetap tinggal di wajah, seolah kabar itu bukan apa-apa. Padahal di dalam, ia sedang mengubur kata-kata yang tak sempat lahir menjadi nyata.

Di sudut gelap malam, ia menulis di buku catatannya:

“Mungkin aku adalah rumah yang ia tunggui terlalu lama, sampai akhirnya ia memutuskan membangun rumah lain.”

Dan begitulah cinta itu selesai. Bukan karena tak ada rasa. Tapi karena rasa itu datang saat pintu telah terkunci dari dalam. Ia baru mengerti: risiko terbesar dalam menunggu bukan hanya tidak didengar—melainkan kehilangan sebelum sempat menyapa.

Minggu, 09 Maret 2025

Setelah Kita Menjalani Hidup Masing-Masing

 


Kita pernah menjadi dua manusia yang berjalan sejajar, menyeberangi waktu dengan langkah serupa. Kita pernah mengukir rencana di langit senja, mengira bahwa garis takdir adalah sesuatu yang bisa kita genggam erat dalam genggaman. Tapi, waktu selalu punya cara untuk melepaskan jemari yang bertaut, menyisakan ruang yang lambat laun melebar menjadi jarak.

Kau memilih jalurmu, aku memilih jalurku. Kita tak pernah saling menahan, hanya sesekali menoleh, memastikan bahwa bayangan masing-masing masih ada dalam pandangan. Sampai akhirnya, kelokan-kelokan kehidupan membawa kita ke arah yang berbeda, mengaburkan siluet yang dulu akrab dalam ingatan.

Aku pernah bertanya-tanya, apakah di suatu pagi yang sibuk, kau sempat mengingat aku? Apakah di sela-sela kesibukanmu, namaku masih bergema di sudut kecil benakmu? Aku tahu, dunia ini luas, dan jalan yang kita tempuh tak lagi bersinggungan seperti dulu. Tapi ada saat-saat di mana aku melihat pantulan dirimu dalam hal-hal kecil—sebuah lagu yang dulu kita dengarkan bersama, aroma kopi Golda yang mengingatkan pada percakapan santai kita, atau bahkan sinar matahari yang menyengat tubuhku—dulu, kau suka ngomel kalo matahari itu leluasa menyentuh kulitku, hehehe. 

Kini, setelah waktu menjauhkan kita, aku tak lagi ingin bertanya tentang apa yang telah terjadi. Aku hanya berharap, di mana pun kau berada, kehidupan memperlakukanmu dengan baik. Kuulangi, dunia memperlakukanmu dengan baik. Aku berharap langkahmu ringan, harimu penuh cahaya, dan kau bahagia dengan segala yang telah kau pilih.

Dan jika suatu hari takdir mempertemukan kita kembali, meski hanya dalam pertemuan singkat di antara keramaian, aku ingin percaya bahwa kita akan saling tersenyum—tanpa sesal, tanpa penyesalan, hanya penerimaan bahwa kehidupan telah membawa kita ke tempat yang seharusnya.

Misalnya, dalam pertemuan singkat itu, ada sekelebat hening di antara kita. Bukan karena tak tahu harus berkata apa, tapi karena ada sesuatu yang mengendap di dada, sesuatu yang tak akan pernah terucapkan.

Mungkin aku akan melihatmu dengan senyum yang tak sepenuhnya lepas, lalu dalam hatiku, samar-samar sebuah tanya menggema: "Ah, andai dulu kita tidak pisah… apakah kita akan tetap berdiri di sini sebagai kita, bukan sebagai dua orang asing yang pura-pura baik-baik saja?"

Atau mungkin di antara percakapan ringan tentang pekerjaan, kota yang kita tinggali, kehidupan yang berjalan setelah perpisahan, atau bisa jadi cerita tentang seseorang yang kini menemani kita. 

Aku yakin, jika itu terjadi, pasti akan ada momen di mana mata kita bertemu lebih lama dari yang seharusnya. Sebuah tatapan yang mengisyaratkan sesuatu yang tak pernah selesai, sesuatu yang hanya bisa diutarakan dalam bisikan hati:

"Andai dulu kita lebih berjuang, apakah cerita kita akan berbeda?"

Saat pertemuan itu berakhir, kita akan berjalan pergi dengan langkah yang terasa berat, bukan karena ingin kembali, tapi karena sadar bahwa waktu tak bisa diputar, dan kemungkinan yang dulu ada, kini hanya tinggal kenangan yang berpendar.


2025

Minggu, 01 Desember 2024

SURAT WASIAT




Ibu Kota dengan keramaiannya, menyimpan seorang gadis yang terselip di antara hiruk-pikuk yang tak peduli. Gadis itu adalah bagian dari lautan manusia yang berlalu-lalang, asing di antara keramaian yang tak mengenal nama. Gadis yang membawa sejumput harapan dari tempat jauh, meretas jalan dari desa kecilnya dengan semangat yang gemilang. Namun, di sini, di jantung kota yang benderang, mimpinya perlahan menjadi sayup.

Kamar kosan itu sederhana, berukuran 3x4 meter, cukup untuk ia dan mimpi-mimpinya yang mulai memudar. Dinding-dindingnya pucat, sedikit retak di beberapa sudut, dengan cat yang mengelupas di pinggir-pinggir jendela. Hanya ada satu jendela kecil di sisi ruangan, membiarkan cahaya lampu jalan masuk samar-samar, memberikan nuansa remang yang melankolis saat malam tiba.

Di satu sudut, ada kasur tipis dengan sprei yang mulai kusam, bantal yang sedikit lepek, dan selimut yang tergulung tak rapi. Meja kecil di samping kasur dipenuhi barang-barang pribadi; setumpuk buku dengan pembatas halaman yang tak pernah beranjak, mug kopi dengan noda bekas, serta kalender kecil yang masih terhenti pada bulan sebelumnya. Di atas meja, sebuah lampu belajar yang mulai redup menemani catatan-catatan lama, sisa dari hari-hari penuh harapan. Gantungan baju yang menempel di balik pintu memajang beberapa helai pakaian yang sering dipakai, terlihat sederhana dan sedikit pudar warnanya. Di sudut lain, koper yang tak lagi dibuka tergeletak, dan di sampingnya terdapat kardus berisi barang-barang dari kampung halaman.

Ini adalah tempat berteduh yang sementara, namun baginya, kamar kecil ini telah menjadi saksi banyak malam panjang penuh sunyi, tempat di mana ia berjuang dan pada akhirnya, berdamai dengan ketidakpastian. Di meja kecil tepat di samping kasur, ia mulai menulis. Tertulis dengan tangan yang gemetar, tetapi hatinya mantap. Surat itu bukan sekadar wasiat melainkan sebuah pengakuan, penutup dari perjalanan panjang seorang gadis yang pernah menggenggam mimpi-mimpi besar, namun kini tinggal bayangan diri yang lelah.

----

Untuk Ibu dan Bapak tersayang,

Di kamar yang sunyi ini, aku mengenang rumah kita dengan jalan setapak yang berdebu. Aku ingat senyummu, Bu, yang mengantarku pergi, meskipun berat, dengan penuh doa di bibirmu. Dan Bapak, kau yang diam-diam menyeka air mata di balik topi lusuh itu, seolah memberi keberanian yang bahkan tak kau punya.

Pak, Bu, kupikir kota besar akan mengulurkan tangannya yang ramah dan memelukku dengan kehangatan. Ternyata, ia dingin, Ibu. Kota ini menakutkan. Setiap langkah yang kubangun dari mimpi-mimpi kita kini hanya gema sunyi yang menggema tanpa suara. Mimpi-mimpi yang pernah berkilau, satu per satu, kusadari kian pudar.

Kalian mungkin akan kecewa, mungkin akan terkejut, tapi inilah kenyataan yang kupeluk setiap malam. Sebab di balik gemerlap lampu kota, aku kerap merasa asing. Tak ada tangan yang meraih, tak ada senyum yang benar-benar tulus. Yang tersisa hanya bayanganku sendiri, yang semakin menjauh dari sosok yang kalian harapkan. Hufhhh….

Namun, aku ingin kalian tahu, semua ini adalah pilihanku. Aku pergi bukan karena tak mencintai tanah kita, tetapi justru karena cinta itulah aku ingin membuktikan diri. Aku tak menyesal, tapi aku juga tak ingin kalian terus berharap lebih. Kalian telah mengajarkanku segala yang bisa kubawa, dan semua telah kujalani dengan segala kekuatanku. Pun, jika ada yang hilang dari diriku dalam perjalanan ini, itu adalah bagian dari pencarian yang panjang.

Pak, bu, di lemari dan di meja yang kupakai menulis ini, ada sekumpulan buku yang pernah kujanjikan untuk kubawa pulang bagi anak-anak di rumah belajarku. Mimpi-mimpi itu tak sepenuhnya hilang. Tolong, berikan buku-buku itu pada anak-anak di sana. Aku ingin mereka memiliki cerita yang lebih baik dari sekadar bayangan yang kupeluk saat ini. Biarkan mereka bermimpi lebih tinggi dari langit kota yang pernah kuraih. Mungkin, mereka akan lebih kuat dariku.

Di atas lemari, ada tas carrier berukuran 50L dari nenek. Tas itu adalah satu-satunya hadiah paling mewah yang sempat beliau berikan padaku sebelum aku berangkat ke kota. Berikan tas itu kepada adik perempuanku. Aku ingin ia merasakan dukungan yang sama dari keluarga, seperti yang kurasakan saat pertama kali berangkat meninggalkan rumah. Biarkan tas itu menemaninya meraih mimpi, seperti halnya ia pernah menjadi saksi langkah-langkah awal perjuanganku.

Tolong, jangan tinggalkan potret keluarga yang kutaruh di atas meja kecil ini. Potret itu telah menjadi pengingat sekaligus penguat bagiku setiap kali rindu melanda. Di balik senyum yang terekam di sana, aku menemukan alasan untuk terus bertahan meski seringkali lelah. Gantunglah potret itu di ruang tamu rumah kita, supaya ia tetap menjadi saksi cinta kalian, dan barangkali, sebagai pengingat kecil untukku, yang tak lagi bisa pulang.

Di buku harian kecilku, kalian akan menemukan coretan-coretan tentang segala harapan dan kegagalan yang kualami. Ada mimpi yang tidak terwujud, ada kekecewaan yang tak terucap, dan ada doa-doa untuk kebahagiaan kita. Simpanlah buku itu. Barangkali, di balik semua kata yang tercoret, kalian akan menemukan alasan mengapa aku berhenti melangkah.

Lalu, pak, bu, tolong jaga akun Instagram-ku. Di sana, ada potongan-potongan cerita yang mungkin tak pernah sempat kusampaikan langsung pada kalian. Ada momen-momen kecil yang meski terlihat sederhana, telah menjadi bagian dari perjalananku. Ubah private foto-fotoku yang menampilkan senyuman manis yang bisa menarik simpati orang lain. Foto-foto bersama kolega dan teman-teman, terlebih hasil-hasil tulisan tanganku, biarkan semua tetap ada, agar kalian bisa mengenangku dari setiap gambar dan dari setiap kata yang kutulis.

Di album fotoku, ada beberapa potret yang kuposting dengan senyuman, meski mungkin tak selalu menggambarkan perasaanku yang sebenarnya. Foto-foto itu adalah caraku untuk tetap terlihat kuat, walau sebenarnya ada kalanya aku merasa hampa. Namun, aku ingin kalian tahu, setiap foto itu adalah bagian dari harapan yang kubawa, dari mimpi yang pernah begitu indah di mataku. Biarkan foto-foto itu menjadi bukti bahwa aku pernah mencoba sebaik mungkin.

Terakhir, tolong sampaikan ke semua orang yang mengenalku secara baik, untuk tidak menangisiku secara berlebihan. Sedih boleh, tapi tolong tetap realistis bahwa hidup akan terus berjalan, bahwa aku hanyalah secuil kenangan yang melintas di kehidupan mereka.

Ohiya, bu, pak, kalian jangan pernah merasa bersalah atas keputusanku pergi merantau. Semua ini adalah jalanku sendiri, jalan yang sudah kutempuh dengan sepenuh hati, meskipun pada akhirnya harus berhenti. Kalian adalah alasan aku bertahan sejauh ini. Jadi, jangan pernah merasa kurang telah mendukungku; semua cinta yang kalian beri adalah harta terbesarku. Selamanya aku bersyukur, dan maafkan aku jika harapan yang kalian titipkan padaku belum sepenuhnya tercapai.

Ini bukan akhir yang kubayangkan, Bu, Pak. Tapi ini akhir yang mesti kuterima. Aku harap kalian akan memaafkan segala langkahku yang tak sampai, harapanku yang memudar, dan mimpi yang berhenti di sini. Kalian adalah titik awal dari semua mimpi ini. Terima kasih karena telah mempercayai gadis kecil ini untuk terbang meskipun akhirnya ia jatuh.

Dengan segenap cinta—yang entah bisa kuraih atau tidak—yang aku tahu hanyalah bahwa cinta kalian tetap menjadi tempatku berpulang.

 

Aku,

Anak kalian yang hilang dalam keramaian kota.





Total Tayangan Halaman

Kategori

Recent Posts

Saat Kau Hampir Menyambutku

  Ia mengenalnya dari cerita-cerita kecil yang dilontarkan temannya, sepotong-sepotong, seperti mozaik yang ia susun dalam benaknya: lelaki ...

Quotes

"Sebelum berpikir untuk mengubah dunia, terlebih dulu ubahlah pikiranmu" Arsa Danialsa_

Quotes

"Tidak ada yang namanya kegagalan, yang ada hanyalah feedback" Arsa Danialsa_

Butuh Bantuan?

Nama

Email *

Pesan *