Kalian pernah
merasa gak sih kadang
dunia terasa kayak game yang curang. Ada orang yang dari kecil udah hidup enak kayak sekolah mahal, lingkungan
nyaman, koneksi orang tua di mana-mana. Eh tapi, di satu sisi ada juga yang lahir dalam
situasi serba terbatas, dan harus jungkir balik cuma buat bertahan hidup.
Banyak yang bilang, “ya wajar, hidup memang nggak adil”. Tapi tetap aja,
kalimat itu sering terasa lebih mirip pembenaran daripada penghiburan.
Tapi ya kalau dipikir-pikir, mungkin kalimat
itu bukan sekadar omongan pasrah. Mungkin emang begitu adanya. Hidup memang
nggak dirancang buat adil, dan itu bukan karena ada yang salah. Justru mungkin,
ketidakadilan adalah bagian dari “aturan main” dunia ini.
Dalam filsafat eksistensialisme, ada
pemahaman menarik soal ini. Seorang filsuf bernama Martin Heidegger pernah
bilang bahwa manusia itu satu-satunya makhluk yang sadar kalau dia bakal mati. Nah berakar
dari kesadaran
itu bikin manusia bisa mikir soal makna hidup, dan juga soal absurditas dunia
kayak kenapa kebaikan nggak selalu dibalas baik, atau kenapa orang baik justru
sering kalah di dunia yang keras. Heidegger percaya bahwa justru dengan
menyadari kenyataan pahit ini, manusia bisa mulai hidup dengan lebih jujur.
Bukan karena dunia tiba-tiba jadi lebih ramah, tapi karena kita berhenti
berharap semuanya harus selalu masuk akal.
Namun beda lagi dengan Jean-Paul
Sartre, yang juga tokoh eksistensialisme. Dia percaya bahwa manusia itu bebas.
Bebas banget malah. Tapi kebebasan itu datang dengan satu tanggung jawab besar yaitu setiap orang harus
menentukan sendiri artinya hidup, bahkan di dunia yang kacau. Jadi waktu dunia
terasa nggak adil, ya itu bukan hal baru. Dunia emang nggak punya peta moral
yang pasti. Tapi justru karena itu, setiap manusia harus berani bikin petanya
sendiri. Bahkan ketika hidup rasanya timpang, keputusan buat terus melangkah
atau berhenti tetap ada di tangan masing-masing.
Kutipan yang paling ngena mungkin
datang dari Albert Camus, filsuf lain yang ngulik hidup dari sisi yang absurd.
Dia cerita soal tokoh mitologi Yunani bernama Sisyphus, yang dihukum dewa buat
dorong batu ke atas bukit, tapi tiap kali udah sampai puncak, batunya selalu
jatuh lagi ke bawah. Gitu terus, selamanya. Tapi Camus nggak lihat itu sebagai
tragedi. Justru dia bilang bahwa kita harus membayangkan Sisyphus bahagia. Karena di tengah
semua absurditas itu, dia tetap memilih untuk dorong batu itu lagi, dan lagi, dan lagi.
Hidup nggak selalu soal hasil. Nggak
selalu soal menang. Kadang, makna justru muncul dari pilihan buat tetap jalan,
bahkan waktu semuanya terasa nggak masuk akal. Dan mungkin, di situlah letak
kekuatan manusia bukan karena hidupnya selalu adil, tapi karena tetap bisa
berdiri di tengah ketidakadilan itu tanpa kehilangan dirinya sendiri.
Jadi ya… hidup emang nggak adil. Tapi
mungkin memang itu bagian dari paket yang namanya hidup. Kita nggak harus
setuju sama dunia, tapi bisa belajar buat tetap waras dan jalan terus, meski
dunia nggak selalu ramah.
Dan di antara semua hal itu, mungkin
yang paling sulit tapi juga paling menenangkan adalah belajar untuk bersyukur.
Bukan dalam arti pasrah atau memaksa diri untuk bahagia, tapi lebih kepada
menyadari bahwa di balik semua kekurangan dan luka, masih ada hal-hal kecil
yang layak untuk dihargai.
Rasa syukur itu nggak selalu datang
dalam bentuk besar seperti keberhasilan atau kemenangan. Kadang, dia
tersembunyi dalam momen sederhana dalam napas yang masih bisa kita hirup, dalam
teman yang mau mendengarkan tanpa menghakimi, atau dalam pagi yang tenang
setelah malam yang berat. Hal-hal yang kelihatannya sepele, tapi justru sering
kali jadi penopang saat semuanya terasa goyah.
Syukur bukan soal membandingkan hidup
kita dengan hidup orang lain, tapi soal mengakui bahwa meski tidak sempurna,
hidup kita tetap punya nilai. Ia membantu kita melihat bahwa bahkan di tengah
ketimpangan dan ketidakadilan, masih ada ruang untuk merasa cukup dan dari perasaan
cukup itu, lahirlah kekuatan untuk terus melangkah.
Jadi ya, hidup memang nggak adil. Tapi bukan berarti semua gelap. Ada cahaya, meski kecil. Ada makna, meski tidak langsung tampak. Dan ada alasan untuk bersyukur, meski kadang harus dicari dengan susah payah. Karena pada akhirnya, bukan keadaan yang menentukan hidup kita sepenuhnya, tapi bagaimana kita memilih untuk menjalaninya.
Penulis: Listanto Bima - Mitha Indah Sari