• Ingin Cerita Anda Menginspirasi Dunia | Coming Soon

    Di Zona Insight, kami percaya bahwa setiap individu dan kelompok memiliki cerita yang layak didengar. Kami hadir untuk membantu Anda mempublikasikan ide, pengalaman, atau prestasi agar menjangkau lebih banyak audiens.

  • Ayo Jadi Penulis di Zona Insight | Klik di sini untuk Daftar

    Manfaatkan kesempatan selama 3 bulan bersama Zona Insight untuk memberi dampak dan inspirasi lewat tulisan. Kamu juga akan dibekali pengetahuan dan keterampilan menulis oleh mentor Zona Insight, serta mendapatkan sertifikat penghargaan sebagai penulis inspiratif.

Kamis, 31 Juli 2025

Saat Kau Hampir Menyambutku

 



Ia mengenalnya dari cerita-cerita kecil yang dilontarkan temannya, sepotong-sepotong, seperti mozaik yang ia susun dalam benaknya: lelaki yang pendiam, katanya, tapi setia mendengarkan. Ia yang tak pernah menonjol dalam keramaian, tapi senyumnya mampu membungkam gaduh di dada.

Namanya Dira. Ia tak tahu persis kapan mulai tertarik. Mungkin saat melihat foto lelaki itu sedang menyiram tanaman, dengan mata yang tak menatap kamera tapi memandang hidup dengan cara yang tenang. Atau mungkin saat ia tahu bahwa lelaki itu suka menulis catatan kecil di punggung buku-bukunya. Dira mulai memperhatikan detail-detail kecil, seperti jenis tanaman yang ia rawat, atau judul buku yang tak sengaja tertangkap kamera. Semua itu membuatnya merasa seolah ia sedang membaca seseorang, bukan sekadar melihat.

Perlahan, ia mulai mencari celah untuk mengenal lelaki itu lebih dekat. Bertanya lewat teman yang memperkenalkan, menelusuri akun media sosialnya, memperhatikan cerita-cerita yang ia bagi: lagu yang ia dengarkan, kutipan yang ia unggah, dan cara ia menuliskan kegelisahan tanpa benar-benar mengeluh. Ia menyusun potongan-potongan itu menjadi citra tentang seseorang yang tak sempurna, tapi nyata—dan justru karena itulah, memikat. Setiap informasi kecil menjadi seperti benih harapan, yang ia sirami diam-diam dengan rasa dan kemungkinan.

Berulang kali Dira menatap layar ponselnya, menunggu notifikasi yang tak kunjung muncul dari Satya—nama lelaki itu. Ada dorongan besar dalam dirinya untuk sekadar menyapa lebih dulu, tapi gengsi menahannya seperti tembok yang tinggi dan dingin. Ia terlalu ingin segera saling terhubung, terlalu ingin rasa ini berbalas, tapi juga terlalu takut terlihat lebih dulu menginginkan.

Beberapa kali ia mengetik pesan pendek, “Hai, kamu suka buku itu juga ya?” atau “Lagunya enak, aku juga sering dengar”—lalu menghapusnya sebelum sempat dikirim. Ia ingin terlihat tenang, padahal hatinya gaduh. Ingin tampak santai, padahal dalam diam, ia berdoa agar laki-laki itu mengerti sinyal-sinyal yang ia kirimkan dengan sangat halus. Ia merasa lucu pada dirinya sendiri—bagaimana seseorang bisa begitu takut untuk memulai, padahal hanya satu kalimat yang dibutuhkan. Tapi bagi Dira, satu sapaan terasa seperti pertaruhan atas seluruh harga diri. Ia takut penolakan tak datang dalam bentuk kata, melainkan dalam sunyi yang menggantung terlalu lama.

Dira yakin, bahwa mereka akan cocok. Ia menyukai ketenangan lelaki itu, dan percaya lelaki itu membutuhkan keberanian yang ia miliki. Di benaknya, mereka seperti dua sisi yang diciptakan untuk menyatu—satu mengisi kekosongan yang lain. Ia membayangkan duduk berdampingan dengannya, tanpa perlu banyak kata, cukup saling tahu bahwa keberadaan masing-masing sudah cukup. Namun, waktu terus berjalan, dan selama enam bulan itu, mereka hanya bertahan sebagai dua nama yang saling pandang di layar. Tak ada percakapan. Tak ada sapaan.

Pernah, Dira mencoba semua makanan dan minuman yang ia lihat dari story Satya. Entah itu kopi hitam tanpa gula, mie ayam pedas level tinggi, atau donat klasik dari toko kecil di pojokan kota—semuanya ia cicipi satu per satu. Ia berpikir, siapa tahu suatu saat mereka akan duduk bersama, menikmati hal-hal kecil itu berdua, dan ia tak akan terlihat canggung atau terkejut dengan rasanya. Ia ingin segala sesuatu tentang Satya terasa akrab, seolah mereka sudah sering berbagi hari-hari, meski hanya Dira yang benar-benar menjalaninya. Ia mencatat rasa dan kesan dari setiap kunjungan, seakan sedang menulis panduan diam-diam untuk mendekati dunia lelaki itu. Bahkan ia memotret makanannya, tapi tak pernah diunggah ke media sosialnya, karena takut terlihat terlalu jelas sedang menyusuri jejak orang lain.

Awalnya hanya seperti kebetulan kecil yang berulang, tapi lama-lama terasa seperti pola yang tak bisa diabaikan—dan di sanalah Satya mulai notice pada Dira. Satya menyadari sesuatu yang pelan tapi pasti muncul dari Dira. Cara Dira menyukai unggahan-unggahannya tepat setelah ia mengunggahnya. Cara Dira mulai sering muncul di tempat-tempat yang sama, entah di acara komunitas, pameran kecil, atau kafe yang biasa ia kunjungi. Ia juga beberapa kali me-repost kutipan dari unggahan Satya, tanpa menyebut namanya, tapi cukup untuk membuat Satya bertanya-tanya. Dan tentu saja, teman-temannya yang mulai menggoda dengan kalimat-kalimat ringan: "Sepertinya Dira suka kamu, Sat." Mereka bukan teman Satya saja, tapi juga kenal dekat dengan Dira. Mereka adalah orang-orang yang sama-sama mengenal keduanya dan mulai membaca dinamika yang tak diucapkan. “Dia tuh selalu nanya kabar kamu kalau lagi ngobrol,” ujar salah satu dari mereka sambil tersenyum penuh arti. “Satya, buka matamu dikit lah.”

Satya mulai bertanya dalam diam, “Apa yang ia sukai dariku? Aku bukan siapa-siapa. Ia bisa bersama pria yang jauh lebih tampan, lebih jenaka, lebih… sederajat.” Ia menggenggam perasaan itu seperti menggenggam air, ragu-ragu dan takut tumpah.

Ada malam-malam di mana Satya memandangi layar ponselnya lebih lama dari biasanya, membaca ulang komentar atau story Dira yang tampak biasa, tapi baginya menyimpan isyarat. Ia mulai mengingat momen-momen kecil—tatapan singkat, senyum yang tertahan, atau cara Dira mendekat tanpa benar-benar mendeklarasikan apa pun. Semua itu mengendap pelan, menumbuhkan keyakinan bahwa mungkin memang ada sesuatu di antara mereka.

Namun, di balik semua tanda itu, Satya tetap dihantui keraguan. Ia takut hanya membangun harapan dari kebetulan yang dibacanya terlalu jauh. Ia tidak ingin geer—berpikir disukai, padahal mungkin Dira hanya bersikap ramah seperti biasa. Lagipula, ia sering merasa dirinya bukan tipe yang mudah disukai. Ia bukan yang paling menarik di ruangan, bukan pula yang paling percaya diri untuk memulai lebih dulu. Ada bagian dalam dirinya yang selalu merasa kurang, seolah-olah perasaan orang lain tak mungkin benar-benar memilih dirinya.

Tapi suatu malam, saat Dira membagikan lagu lama yang sama persis dengan yang baru saja ia unggah dua jam sebelumnya, lengkap dengan kutipan lirik yang seolah menjawab isi kepalanya, Satya terdiam cukup lama. Rasanya seperti konfirmasi yang tak diucapkan, tapi terasa begitu jelas. Ia kembali membuka riwayat ‘interaksi’ mereka, menelusuri ulang semua isyarat kecil. Mereka memang tak pernah berbicara langsung, tapi rasanya seperti sudah lama saling menyapa lewat kode-kode yang hanya mereka pahami. Dan saat ia menyatukan semuanya, perlahan benang merah itu tampak jelas—bahwa Dira memang tidak hanya hadir, tapi menunggu.

Saat itulah, ia mulai benar-benar yakin. Ia mulai menepis keraguan yang selama ini membelenggunya. Mungkin, pikirnya, rasa tidak percaya diri itu hanyalah bayang-bayang yang diciptakan oleh ketakutan kehilangan sesuatu yang belum sempat dimiliki. Hingga bulan ketujuh datang dan Satya mulai membuka dirinya. Ia membalas cerita-cerita yang dibagikan Dira di Instagram Story, menanggapi dengan singkat, lalu lebih panjang. Ia menyukai foto diri yang diunggah Dira. Baru kali itu Satya benar-benar memperhatikan senyumnya, dan ia tersadar, ada kehangatan tenang dalam senyum itu, sesuatu yang manis tanpa dibuat-buat, seolah mampu meredakan hal-hal yang tak terucap. Ia mulai memikirkan: "Mungkin ini yang disebut cinta yang tumbuh pelan-pelan." Ia ingin mengatakannya, segera.

Namun, yang tak ia tahu, cinta yang pelan juga bisa kalah oleh waktu.

***

Tepat ketika ia bersiap menyusun kata, mengalahkan rasa minder dan akhirnya hendak mengajaknya bertemu, kabar itu sampai di telinganya lewat teman yang dulu mengenalkan mereka: “Sat, kenal Dira ‘kan? Dia akan menikah bulan depan. Dipinang temannya sendiri. Sudah dekat lama, katanya. Heboh di sosmed. Si cowoknya keliatan kecintaan banget.”

Satya duduk diam, “Oh gitu?” jawabnya singkat.

Dunia dalam dirinya bergetar, tapi tak ada gempa yang terlihat dari luar. Ia hanya tertawa kecil, lalu menunduk. Ada sesuatu dalam dadanya yang remuk perlahan, tapi tidak ia biarkan terdengar. Ia membiarkan senyumnya tetap tinggal di wajah, seolah kabar itu bukan apa-apa. Padahal di dalam, ia sedang mengubur kata-kata yang tak sempat lahir menjadi nyata.

Di sudut gelap malam, ia menulis di buku catatannya:

“Mungkin aku adalah rumah yang ia tunggui terlalu lama, sampai akhirnya ia memutuskan membangun rumah lain.”

Dan begitulah cinta itu selesai. Bukan karena tak ada rasa. Tapi karena rasa itu datang saat pintu telah terkunci dari dalam. Ia baru mengerti: risiko terbesar dalam menunggu bukan hanya tidak didengar—melainkan kehilangan sebelum sempat menyapa.

Selasa, 10 Juni 2025

Tahukah kamu? Di Gorontalo ada museum keren yang penuh dengan sejarah luar biasa!

 




Yup, namanya Museum Purbakala Popa Eyato! Museum ini bukan sembarang museum, lho. Namanya diambil dari dua tokoh raja berpengaruh yang pernah memimpin kerajaan di Gorontalo. Makanya, suasananya kental banget dengan nuansa kerajaan.

Museum ini resmi dibuka pada Januari 2015, sesuai dengan Peraturan Gubernur Gorontalo No. 59 Tahun 2014. Tapi sebenarnya, proses pembangunannya sudah dimulai sejak tahun 2010. Keren banget, kan?

Museum Purbakala Popa Eyato menjadi tempat berkumpulnya benda-benda bersejarah yang super menarik. Koleksinya berkaitan erat dengan budaya Gorontalo, mulai dari etnografi, numismatika (koin-koin tempo dulu), filologi (naskah-naskah kuno), hingga seni rupa yang kece abis.

Buat kamu yang penasaran dengan sejarah dan budaya Gorontalo, inilah tempat yang wajib dikunjungi! Di museum ini, kamu bisa menemukan cerita tentang perkembangan budaya di Provinsi Gorontalo dari masa lampau hingga sekarang.

Yang paling mengagumkan, di dalam museum ini terdapat dua bendera Merah Putih bersejarah! Satu dikibarkan di Gelanggang tahun 1942, dan satu lagi di Taruna Remaja tahun 1945. Keduanya menjadi saksi perjuangan rakyat Gorontalo demi kemerdekaan Indonesia.

Tidak hanya itu, ada juga kerangka manusia Oluhuta yang diperkirakan berusia 650 tahun! Wow, tua banget! Sistem penguburannya juga unik—langsung ditanam di tanah dalam posisi menghadap ke gunung. Itulah tradisi pemakaman zaman dulu di wilayah Oluhuta.

Museum ini bukan cuma tempat pajangan. Pemerintah Gorontalo juga aktif mengajak sekolah-sekolah untuk datang dan belajar langsung di sana. Jadi, pelajaran sejarah tidak hanya dari buku, tetapi bisa langsung melihat benda-benda purbakala yang penuh cerita.

Jumat, 30 Mei 2025

Bro, Jangan Keren di Dunia Maya tapi Miskin di Dunia Nyata. Stop Judi Online!

 



 

Sekarang ini, siapa sih yang gak punya HP? Semua orang pegang smartphoneTapi, makin canggih HP, makin banyak juga godaan. Salah satunya yaitu judi onlineDari yang awalnya cuma iseng-iseng pasang receh, lama kelamaan bisa jadi kebiasaan buruk yang merusak segalanya. Awalnya seru, Lama-lama bikin sengsara.

Kebanyakan orang yang terjerumus ke judi online itu awalnya cuma coba-coba. “Ah, iseng aja, siapa tahu dapet duit.” Tapi nyatanya? Bukan untung yang di dapat, malah buntung. Duit habis, waktu kebuang, kepala pusing, hubungan sama keluarga dan teman pun bisa renggang.

Judi online bukan jalan cepat untuk menjadi kaya. Jangan gampang percaya sama iklan yang bilang “main game bisa dapet duit jutaan!” Itu cuma pancingan. Yang kaya itu ya bandarnya, bukan pemainnya!  Sistemnya udah diatur biar kamu kalah terus. Kalau pun menang, itu cuma sesekali, biar kamu ketagihan dan balik lagi. Yang jadi korban gak cuma diri sendiri. Kalian pikir cuma kalian yang akan kena dampak? Salah besar. Keluarga juga bisa ikut susah karena kalian jadi sering minjam duit, bohongin orang tua, bahkan nyolong demi top up saldo, demi judi. Masa depan kalian bisa hancur hanya gara-gara satu aplikasi haram.

Daripada buat judi, mending duit kalian dipakai buat hal yang bener. Misalnya Nabung, bantu orang tua, beli buku, ikut kursus, ataupun investasi kecil-kecilan. Banyak kok hal-hal seru dan bermanfaat yang bisa kalian lakuin tanpa harus ambil risiko segila judi.

Kalo hanya karena bosan atau stres, jangan larinya ke judi. Coba cari hiburan lain yang sehat seperti main game offline, olahraga, nonton film, nongkrong bareng temen, atau bahkan curhat. Banyak cara buat ngilangin stres tanpa harus bikin hidup makin ribet. Intinya jangan sampai hidupmu dikuasai judi. Judi online itu sebuah jebakan. Sekali masuk, susah keluar. Jangan buang masa depanmu buat sesuatu yang gak ada ujungnya. Kalau kamu udah mulai menggunakan, berhenti sekarang juga. Kalau belum pernah coba, jangan pernah memulainya

Stop judi online, mulai hidup sehat dan bermanfaat. Kamu lebih berharga dari itu loh! Jangan sampai menyesal belakangan. Percaya deh, gak sedikit orang yang udah nyesel karena pernah main judi online. Duit tabungan habis, barang-barang dijualin, bahkan ada yang sampai ngutang sana-sini. Ujung-ujungnya stres, depresi, dan gak tahu harus mulai dari mana buat benerin hidupnya.

Kalau kalian masih di tahap awal dan ngerasa “masih bisa dikontrol,” mending kalian berhenti dari sekarang. Jangan tunggu sampai kalian gak bisa lepas. Karena makin lama kalian main, maka makin susah juga buat keluar. Cari support kalau udah terlanjur kecanduan. Kalau kalian udah ngerasa kecanduan judi online, jangan malu buat cari bantuan. Cerita ke orang terdekat, ke keluarga, atau cari komunitas yang bisa bantu kalian lepas. Yang penting kalian sadar dan mau berubah. Semua orang punya kesempatan kedua, asal niat dan mau usaha.

Yuk, jadi generasi yang insaf dan gak gampang ketipu!!


Penulis: Ririn Masaguni

 

 

 

Senin, 19 Mei 2025

Hidup itu nggak adil, dan mungkin emang begitu adanya


 

Kalian pernah merasa gak sih kadang dunia terasa kayak game yang curang. Ada orang yang dari kecil udah hidup enak kayak sekolah mahal, lingkungan nyaman, koneksi orang tua di mana-mana. Eh tapi, di satu sisi ada juga yang lahir dalam situasi serba terbatas, dan harus jungkir balik cuma buat bertahan hidup. Banyak yang bilang, “ya wajar, hidup memang nggak adil”. Tapi tetap aja, kalimat itu sering terasa lebih mirip pembenaran daripada penghiburan.

Tapi ya kalau dipikir-pikir, mungkin kalimat itu bukan sekadar omongan pasrah. Mungkin emang begitu adanya. Hidup memang nggak dirancang buat adil, dan itu bukan karena ada yang salah. Justru mungkin, ketidakadilan adalah bagian dari “aturan main” dunia ini.

Dalam filsafat eksistensialisme, ada pemahaman menarik soal ini. Seorang filsuf bernama Martin Heidegger pernah bilang bahwa manusia itu satu-satunya makhluk yang sadar kalau dia bakal mati. Nah berakar dari kesadaran itu bikin manusia bisa mikir soal makna hidup, dan juga soal absurditas dunia kayak kenapa kebaikan nggak selalu dibalas baik, atau kenapa orang baik justru sering kalah di dunia yang keras. Heidegger percaya bahwa justru dengan menyadari kenyataan pahit ini, manusia bisa mulai hidup dengan lebih jujur. Bukan karena dunia tiba-tiba jadi lebih ramah, tapi karena kita berhenti berharap semuanya harus selalu masuk akal.

Namun beda lagi dengan Jean-Paul Sartre, yang juga tokoh eksistensialisme. Dia percaya bahwa manusia itu bebas. Bebas banget malah. Tapi kebebasan itu datang dengan satu tanggung jawab besar yaitu setiap orang harus menentukan sendiri artinya hidup, bahkan di dunia yang kacau. Jadi waktu dunia terasa nggak adil, ya itu bukan hal baru. Dunia emang nggak punya peta moral yang pasti. Tapi justru karena itu, setiap manusia harus berani bikin petanya sendiri. Bahkan ketika hidup rasanya timpang, keputusan buat terus melangkah atau berhenti tetap ada di tangan masing-masing.

Kutipan yang paling ngena mungkin datang dari Albert Camus, filsuf lain yang ngulik hidup dari sisi yang absurd. Dia cerita soal tokoh mitologi Yunani bernama Sisyphus, yang dihukum dewa buat dorong batu ke atas bukit, tapi tiap kali udah sampai puncak, batunya selalu jatuh lagi ke bawah. Gitu terus, selamanya. Tapi Camus nggak lihat itu sebagai tragedi. Justru dia bilang bahwa kita harus membayangkan Sisyphus bahagia. Karena di tengah semua absurditas itu, dia tetap memilih untuk dorong batu itu lagi, dan lagi, dan lagi.

Hidup nggak selalu soal hasil. Nggak selalu soal menang. Kadang, makna justru muncul dari pilihan buat tetap jalan, bahkan waktu semuanya terasa nggak masuk akal. Dan mungkin, di situlah letak kekuatan manusia bukan karena hidupnya selalu adil, tapi karena tetap bisa berdiri di tengah ketidakadilan itu tanpa kehilangan dirinya sendiri.

Jadi ya… hidup emang nggak adil. Tapi mungkin memang itu bagian dari paket yang namanya hidup. Kita nggak harus setuju sama dunia, tapi bisa belajar buat tetap waras dan jalan terus, meski dunia nggak selalu ramah.

Dan di antara semua hal itu, mungkin yang paling sulit tapi juga paling menenangkan adalah belajar untuk bersyukur. Bukan dalam arti pasrah atau memaksa diri untuk bahagia, tapi lebih kepada menyadari bahwa di balik semua kekurangan dan luka, masih ada hal-hal kecil yang layak untuk dihargai.

Rasa syukur itu nggak selalu datang dalam bentuk besar seperti keberhasilan atau kemenangan. Kadang, dia tersembunyi dalam momen sederhana dalam napas yang masih bisa kita hirup, dalam teman yang mau mendengarkan tanpa menghakimi, atau dalam pagi yang tenang setelah malam yang berat. Hal-hal yang kelihatannya sepele, tapi justru sering kali jadi penopang saat semuanya terasa goyah.

Syukur bukan soal membandingkan hidup kita dengan hidup orang lain, tapi soal mengakui bahwa meski tidak sempurna, hidup kita tetap punya nilai. Ia membantu kita melihat bahwa bahkan di tengah ketimpangan dan ketidakadilan, masih ada ruang untuk merasa cukup dan dari perasaan cukup itu, lahirlah kekuatan untuk terus melangkah.

Jadi ya, hidup memang nggak adil. Tapi bukan berarti semua gelap. Ada cahaya, meski kecil. Ada makna, meski tidak langsung tampak. Dan ada alasan untuk bersyukur, meski kadang harus dicari dengan susah payah. Karena pada akhirnya, bukan keadaan yang menentukan hidup kita sepenuhnya, tapi bagaimana kita memilih untuk menjalaninya.

Penulis: Listanto Bima - Mitha Indah Sari

Minggu, 11 Mei 2025

Mahasiswa atau Budak Gadget? Realita Pahitnya Generasi Digital

 



Di era sekarang, emang siapa sih orang yang bisa lepas dari gadget? Kayaknya hal yang mustahil bisa lepas dari gadget, terutama para mahasiswa yang notabene adalah kelompok yang paling akrab sama yang namanya teknologi. Mereka juga kelompok yang paling terdampak dari kehadiran gadget yang sekarang sangat canggih. Padahal awalnya gadget itu cuman sekadar alat untuk membantu kita ngerjain tugas ataupun join kelas online via Zoom. Tapi makin hari gadget justru jadi seperti hal yang mengontrol kita dan kehadirannya sulit banget untuk ditolak.

Yang jadi masalah, penggunaan gadget yang berlebihan banyak menyimpan sisi gelap yang berbahaya. Salah satu yang paling umum itu soal tidur. Penelitian dari Khairunnisa (2023) menyebutkan kalau penggunaan gadget sebelum tidur bisa bikin kualitas tidur kita jadi rusak. Pada intinya gadget ini bisa menganggu pola tidur kita jika kita gunakan secara berlebihan ketika waktu menjelang tidur.

Bukan hanya soal tidur, bahkan konsentrasi dan motivasi untuk belajar juga bisa ikut kena imbasnya lho. Berdasarkan penelitian dari Adelia (2023) nunjukin kalau sekitar 67% turunnya konsentrasi belajar siswa ya disebabkan oleh penggunaan gadget yang berlebihan ini. Coba deh bayangin, kita niatnya sebelum belajar mau buka Youtube buat nyari materi, eh ujung – ujungnya malah nyasar buat nonton video sapi main piano dan berakhir dengan tugas yang gak selesai.

Dan dampak paling buruk dari kecanduan gadget ini bikin interaksi sosial secara perlahan memudar dan menjadi hambar. Hyangsewu (2023) nemuin kalau hampir setengah mahasiswa lebih memilih ngumpul sambil mainin gadget-nya ketimbang ngobrol langsung sama temennya. Atau mungkin kita lagi nongkrong tapi tongkrongan rasanya sunyi banget karena semua pada sibuk dengan gadget masing – masing. Ironis banget gak sih? Padahal sekarang dunia itu serba terkoneksi, eh malah kita yang menjauh dari koneksi sesungguhnya yaitu koneksi antar sesama manusia.

Yang bikin ngeri, banyak dari kita yang udah kecanduan gadget tapi nggak sadar. Bangun tidur, langsung cek HP. Makan sambil scroll medsos.  Sebelum tidur, masih aja mantengin layar.  Beneran udah kebiasaan banget, ya?  Eh, tapi tunggu dulu,  kita jadi kehilangan waktu, susah fokus, dan mental juga ikutan drop, lho!

Lucunya, pas ada orang yang coba jauhin HP atau detoks digital, malah dianggap aneh. Budaya digital udah bikin standar baru: harus update, harus online terus, harus kelihatan eksis. Tapi di balik itu, banyak yang capek, ngerasa kosong, dan nggak tahu lagi mana yang nyata dan mana yang cuma pencitraan.

Gara-gara gadget juga, kita jadi lupa nikmatin hal-hal kecil di dunia nyata. Nongkrong sambil ngobrol dari hati ke hati udah jarang. Jalan-jalan bukan buat refreshing, tapi buat konten. Bahkan ngobrol langsung kalah seru sama chatting.

Pelan-pelan, kita mulai kehilangan rasa buat hadir secara utuh di kehidupan sehari-hari. Nggak heran kalau makin banyak yang ngerasa kesepian, padahal punya ratusan teman di media sosial. Kita ada, tapi nggak benar-benar hadir.

Gadget itu emang penting dan nggak bisa dipisahin dari hidup kita sekarang, apalagi buat mahasiswa. Tapi ya jangan sampai kita dikontrol balik sama benda kecil itu. Mulai deh coba atur waktumu. Contohnya, batasi penggunaan media sosial, matikan notifikasi yang tidak penting, atau coba deh  seminggu sekali  lewatkan sehari tanpa gadget.

Kalau lagi nongkrong, simpen dulu HP-nya. Nikmatin obrolan sama temen. Kalau lagi belajar, pake mode fokus atau aplikasi yang bisa blokir gangguan. Dan yang paling penting, sadarin bahwa hidup itu nggak cuma ada di balik layar. Masih banyak hal seru dan berharga di dunia nyata yang bisa bikin hidup lebih bermakna.

Jadi mahasiswa itu bukan cuma soal IPK, tapi juga soal gimana kita bisa ngatur hidup di tengah godaan digital yang nggak ada habisnya. Jangan sampai kita jadi generasi yang pinter secara teknologi, tapi tumpul secara sosial dan emosional.

Biar nggak makin tenggelam jadi budak gadget, ada beberapa hal simpel yang bisa dicoba. Nggak perlu langsung drastis, mulai dari hal-hal kecil aja dulu:


1
. Atur waktu main HP

Pasang alarm atau pengingat. Misalnya, maksimal 1 jam buat scroll medsos. Bisa juga aktifin fitur screen time.

2. Pisahin waktu belajar dan hiburan

Lagi belajar? Taruh HP agak jauh. Biar fokus. Setelah selesai, baru kasih reward buka TikTok sebentar.

3. Cari aktivitas offline

Baca buku, olahraga, ngobrol, atau ikut komunitas. Banyak banget keseruan yang bisa dirasain tanpa layar.

4.  4. Gunakan gadget untuk hal positif

Nonton video yang edukatif, cari referensi tugas, atau denger podcast yang bikin tambah ilmu.

5. Coba detoks digital

Sehari tanpa medsos atau beberapa jam tanpa HP. Biar pikiran istirahat dan kita bisa kembali fokus ke hal nyata.

Author: Listanto Bima – Ifa Audina Nabila

Total Tayangan Halaman

Kategori

Recent Posts

Saat Kau Hampir Menyambutku

  Ia mengenalnya dari cerita-cerita kecil yang dilontarkan temannya, sepotong-sepotong, seperti mozaik yang ia susun dalam benaknya: lelaki ...

Quotes

"Sebelum berpikir untuk mengubah dunia, terlebih dulu ubahlah pikiranmu" Arsa Danialsa_

Quotes

"Tidak ada yang namanya kegagalan, yang ada hanyalah feedback" Arsa Danialsa_

Butuh Bantuan?

Nama

Email *

Pesan *