Kamis, 31 Juli 2025

Saat Kau Hampir Menyambutku

 



Ia mengenalnya dari cerita-cerita kecil yang dilontarkan temannya, sepotong-sepotong, seperti mozaik yang ia susun dalam benaknya: lelaki yang pendiam, katanya, tapi setia mendengarkan. Ia yang tak pernah menonjol dalam keramaian, tapi senyumnya mampu membungkam gaduh di dada.

Namanya Dira. Ia tak tahu persis kapan mulai tertarik. Mungkin saat melihat foto lelaki itu sedang menyiram tanaman, dengan mata yang tak menatap kamera tapi memandang hidup dengan cara yang tenang. Atau mungkin saat ia tahu bahwa lelaki itu suka menulis catatan kecil di punggung buku-bukunya. Dira mulai memperhatikan detail-detail kecil, seperti jenis tanaman yang ia rawat, atau judul buku yang tak sengaja tertangkap kamera. Semua itu membuatnya merasa seolah ia sedang membaca seseorang, bukan sekadar melihat.

Perlahan, ia mulai mencari celah untuk mengenal lelaki itu lebih dekat. Bertanya lewat teman yang memperkenalkan, menelusuri akun media sosialnya, memperhatikan cerita-cerita yang ia bagi: lagu yang ia dengarkan, kutipan yang ia unggah, dan cara ia menuliskan kegelisahan tanpa benar-benar mengeluh. Ia menyusun potongan-potongan itu menjadi citra tentang seseorang yang tak sempurna, tapi nyata—dan justru karena itulah, memikat. Setiap informasi kecil menjadi seperti benih harapan, yang ia sirami diam-diam dengan rasa dan kemungkinan.

Berulang kali Dira menatap layar ponselnya, menunggu notifikasi yang tak kunjung muncul dari Satya—nama lelaki itu. Ada dorongan besar dalam dirinya untuk sekadar menyapa lebih dulu, tapi gengsi menahannya seperti tembok yang tinggi dan dingin. Ia terlalu ingin segera saling terhubung, terlalu ingin rasa ini berbalas, tapi juga terlalu takut terlihat lebih dulu menginginkan.

Beberapa kali ia mengetik pesan pendek, “Hai, kamu suka buku itu juga ya?” atau “Lagunya enak, aku juga sering dengar”—lalu menghapusnya sebelum sempat dikirim. Ia ingin terlihat tenang, padahal hatinya gaduh. Ingin tampak santai, padahal dalam diam, ia berdoa agar laki-laki itu mengerti sinyal-sinyal yang ia kirimkan dengan sangat halus. Ia merasa lucu pada dirinya sendiri—bagaimana seseorang bisa begitu takut untuk memulai, padahal hanya satu kalimat yang dibutuhkan. Tapi bagi Dira, satu sapaan terasa seperti pertaruhan atas seluruh harga diri. Ia takut penolakan tak datang dalam bentuk kata, melainkan dalam sunyi yang menggantung terlalu lama.

Dira yakin, bahwa mereka akan cocok. Ia menyukai ketenangan lelaki itu, dan percaya lelaki itu membutuhkan keberanian yang ia miliki. Di benaknya, mereka seperti dua sisi yang diciptakan untuk menyatu—satu mengisi kekosongan yang lain. Ia membayangkan duduk berdampingan dengannya, tanpa perlu banyak kata, cukup saling tahu bahwa keberadaan masing-masing sudah cukup. Namun, waktu terus berjalan, dan selama enam bulan itu, mereka hanya bertahan sebagai dua nama yang saling pandang di layar. Tak ada percakapan. Tak ada sapaan.

Pernah, Dira mencoba semua makanan dan minuman yang ia lihat dari story Satya. Entah itu kopi hitam tanpa gula, mie ayam pedas level tinggi, atau donat klasik dari toko kecil di pojokan kota—semuanya ia cicipi satu per satu. Ia berpikir, siapa tahu suatu saat mereka akan duduk bersama, menikmati hal-hal kecil itu berdua, dan ia tak akan terlihat canggung atau terkejut dengan rasanya. Ia ingin segala sesuatu tentang Satya terasa akrab, seolah mereka sudah sering berbagi hari-hari, meski hanya Dira yang benar-benar menjalaninya. Ia mencatat rasa dan kesan dari setiap kunjungan, seakan sedang menulis panduan diam-diam untuk mendekati dunia lelaki itu. Bahkan ia memotret makanannya, tapi tak pernah diunggah ke media sosialnya, karena takut terlihat terlalu jelas sedang menyusuri jejak orang lain.

Awalnya hanya seperti kebetulan kecil yang berulang, tapi lama-lama terasa seperti pola yang tak bisa diabaikan—dan di sanalah Satya mulai notice pada Dira. Satya menyadari sesuatu yang pelan tapi pasti muncul dari Dira. Cara Dira menyukai unggahan-unggahannya tepat setelah ia mengunggahnya. Cara Dira mulai sering muncul di tempat-tempat yang sama, entah di acara komunitas, pameran kecil, atau kafe yang biasa ia kunjungi. Ia juga beberapa kali me-repost kutipan dari unggahan Satya, tanpa menyebut namanya, tapi cukup untuk membuat Satya bertanya-tanya. Dan tentu saja, teman-temannya yang mulai menggoda dengan kalimat-kalimat ringan: "Sepertinya Dira suka kamu, Sat." Mereka bukan teman Satya saja, tapi juga kenal dekat dengan Dira. Mereka adalah orang-orang yang sama-sama mengenal keduanya dan mulai membaca dinamika yang tak diucapkan. “Dia tuh selalu nanya kabar kamu kalau lagi ngobrol,” ujar salah satu dari mereka sambil tersenyum penuh arti. “Satya, buka matamu dikit lah.”

Satya mulai bertanya dalam diam, “Apa yang ia sukai dariku? Aku bukan siapa-siapa. Ia bisa bersama pria yang jauh lebih tampan, lebih jenaka, lebih… sederajat.” Ia menggenggam perasaan itu seperti menggenggam air, ragu-ragu dan takut tumpah.

Ada malam-malam di mana Satya memandangi layar ponselnya lebih lama dari biasanya, membaca ulang komentar atau story Dira yang tampak biasa, tapi baginya menyimpan isyarat. Ia mulai mengingat momen-momen kecil—tatapan singkat, senyum yang tertahan, atau cara Dira mendekat tanpa benar-benar mendeklarasikan apa pun. Semua itu mengendap pelan, menumbuhkan keyakinan bahwa mungkin memang ada sesuatu di antara mereka.

Namun, di balik semua tanda itu, Satya tetap dihantui keraguan. Ia takut hanya membangun harapan dari kebetulan yang dibacanya terlalu jauh. Ia tidak ingin geer—berpikir disukai, padahal mungkin Dira hanya bersikap ramah seperti biasa. Lagipula, ia sering merasa dirinya bukan tipe yang mudah disukai. Ia bukan yang paling menarik di ruangan, bukan pula yang paling percaya diri untuk memulai lebih dulu. Ada bagian dalam dirinya yang selalu merasa kurang, seolah-olah perasaan orang lain tak mungkin benar-benar memilih dirinya.

Tapi suatu malam, saat Dira membagikan lagu lama yang sama persis dengan yang baru saja ia unggah dua jam sebelumnya, lengkap dengan kutipan lirik yang seolah menjawab isi kepalanya, Satya terdiam cukup lama. Rasanya seperti konfirmasi yang tak diucapkan, tapi terasa begitu jelas. Ia kembali membuka riwayat ‘interaksi’ mereka, menelusuri ulang semua isyarat kecil. Mereka memang tak pernah berbicara langsung, tapi rasanya seperti sudah lama saling menyapa lewat kode-kode yang hanya mereka pahami. Dan saat ia menyatukan semuanya, perlahan benang merah itu tampak jelas—bahwa Dira memang tidak hanya hadir, tapi menunggu.

Saat itulah, ia mulai benar-benar yakin. Ia mulai menepis keraguan yang selama ini membelenggunya. Mungkin, pikirnya, rasa tidak percaya diri itu hanyalah bayang-bayang yang diciptakan oleh ketakutan kehilangan sesuatu yang belum sempat dimiliki. Hingga bulan ketujuh datang dan Satya mulai membuka dirinya. Ia membalas cerita-cerita yang dibagikan Dira di Instagram Story, menanggapi dengan singkat, lalu lebih panjang. Ia menyukai foto diri yang diunggah Dira. Baru kali itu Satya benar-benar memperhatikan senyumnya, dan ia tersadar, ada kehangatan tenang dalam senyum itu, sesuatu yang manis tanpa dibuat-buat, seolah mampu meredakan hal-hal yang tak terucap. Ia mulai memikirkan: "Mungkin ini yang disebut cinta yang tumbuh pelan-pelan." Ia ingin mengatakannya, segera.

Namun, yang tak ia tahu, cinta yang pelan juga bisa kalah oleh waktu.

***

Tepat ketika ia bersiap menyusun kata, mengalahkan rasa minder dan akhirnya hendak mengajaknya bertemu, kabar itu sampai di telinganya lewat teman yang dulu mengenalkan mereka: “Sat, kenal Dira ‘kan? Dia akan menikah bulan depan. Dipinang temannya sendiri. Sudah dekat lama, katanya. Heboh di sosmed. Si cowoknya keliatan kecintaan banget.”

Satya duduk diam, “Oh gitu?” jawabnya singkat.

Dunia dalam dirinya bergetar, tapi tak ada gempa yang terlihat dari luar. Ia hanya tertawa kecil, lalu menunduk. Ada sesuatu dalam dadanya yang remuk perlahan, tapi tidak ia biarkan terdengar. Ia membiarkan senyumnya tetap tinggal di wajah, seolah kabar itu bukan apa-apa. Padahal di dalam, ia sedang mengubur kata-kata yang tak sempat lahir menjadi nyata.

Di sudut gelap malam, ia menulis di buku catatannya:

“Mungkin aku adalah rumah yang ia tunggui terlalu lama, sampai akhirnya ia memutuskan membangun rumah lain.”

Dan begitulah cinta itu selesai. Bukan karena tak ada rasa. Tapi karena rasa itu datang saat pintu telah terkunci dari dalam. Ia baru mengerti: risiko terbesar dalam menunggu bukan hanya tidak didengar—melainkan kehilangan sebelum sempat menyapa.

0 Post a Comment:

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman

Kategori

Recent Posts

Saat Kau Hampir Menyambutku

  Ia mengenalnya dari cerita-cerita kecil yang dilontarkan temannya, sepotong-sepotong, seperti mozaik yang ia susun dalam benaknya: lelaki ...

Quotes

"Sebelum berpikir untuk mengubah dunia, terlebih dulu ubahlah pikiranmu" Arsa Danialsa_

Quotes

"Tidak ada yang namanya kegagalan, yang ada hanyalah feedback" Arsa Danialsa_

Butuh Bantuan?

Nama

Email *

Pesan *