• Ingin Cerita Anda Menginspirasi Dunia | Coming Soon

    Di Zona Insight, kami percaya bahwa setiap individu dan kelompok memiliki cerita yang layak didengar. Kami hadir untuk membantu Anda mempublikasikan ide, pengalaman, atau prestasi agar menjangkau lebih banyak audiens.

  • Ayo Jadi Penulis di Zona Insight | Klik di sini untuk Daftar

    Manfaatkan kesempatan selama 3 bulan bersama Zona Insight untuk memberi dampak dan inspirasi lewat tulisan. Kamu juga akan dibekali pengetahuan dan keterampilan menulis oleh mentor Zona Insight, serta mendapatkan sertifikat penghargaan sebagai penulis inspiratif.

Jumat, 06 Desember 2024

Kenapa Hidup Secapek Itu?


Sumber Gambar: Canva


Kadang, hidup tuh rasanya kayak jalan di treadmill yang nggak ada ujungnya kan? Baru aja kelar satu tugas, eh, muncul lagi yang lain. Baru mau napas sebentar, eh, ada aja yang bikin ribet. Pernah nggak sih ngerasa capek banget, tapi bingung sendiri, ini capek karena apa?

Sebenernya, capek hidup itu wajar banget, kok. Namanya juga manusia, otak dan badan kita nggak dirancang buat kerja terus-terusan kayak mesin. Apalagi di zaman sekarang, hidup tuh nggak cuma soal kerja atau sekolah. Ada ekspektasi, standar sosial, dan overthinking yang nggak kelar-kelar. Liat orang lain sukses di medsos, langsung ngerasa hidup kita jauh banget dari kata "oke." Padahal, di balik layar mereka bisa jadi lagi struggling juga, cuman bedanya gak mereka posting di medsosnya.

Faktor lain? Bisa jadi kita terlalu memaksa diri. Kadang tuh kita lupa kalau diri sendiri juga butuh istirahat. Bukannya malas, tapi badan dan pikiran kita juga perlu waktu buat nge-recharge. Kalau baterai HP aja harus diisi ulang, masa kita nggak?

Nah ada beberapa faktor khusus yang membuat kita ngerasa “Kok, hidupku secapek ini ya?”

1.  1. Siklus hidup ‘dunia oriented’ maksudnya adalah ketika semua yang kita lakuin cuma fokus sama dunia: cari uang, barang mewah, popularitas, atau apapun yang bikin kita kelihatan ‘wah’ di depan orang lain. Kebahagiaan kita diukur dari materi atau pencapaian duniawi. Tapi masalahnya, dunia itu fana alias sementara. Mau sekeras apa pun kita ngejar, nggak bakal ada yang benar-benar bikin puas. Begitu dapat satu hal, kita langsung pengen yang lebih besar lagi. Bener atau bener banget? 

    2. Salah dalam menentukan ‘goals of life’. Kadang kita tuh suka salah langkah pas nentuin tujuan hidup. Misalnya, ada yang cuma ngejar "gue harus kaya, harus terkenal, harus punya ini-itu!" Tapi... pas udah dapet, kok tetep ngerasa kosong ya? Penting banget buat nentuin goals yang nggak cuma bikin kita bahagia sekarang, tapi juga bikin hidup kita lebih bermakna. Misalnya, “Gimana caranya gue bisa jadi manfaat buat orang lain?” atau “Apa yang bisa gue lakukan buat investasi akhirat gue?” Dengan goals yang lebih dalam kayak gitu, kita jadi punya arah yang jelas dan nggak gampang kehilangan tujuan walaupun ada tantangan di tengah jalan.

    3. Kehilangan cara pandang hidup yang benar. Maksudnya adalah kita nggak punya "kompas" buat nentuin arah hidup. Padahal, hidup itu perlu panduan. Kalau nggak punya prinsip atau pegangan, kita bisa gampang kebawa arus—entah itu tren, pendapat orang, atau bahkan godaan yang nggak baik. Akhirnya, keputusan-keputusan kita jadi asal-asalan, bahkan sering nyesel, dan merasa nggak puas sama apa pun yang kita jalani. Cara pandang hidup yang benar itu kayak peta. Kalau kita udah kehilangan peta itu, ya siap-siap aja tersesat, bingung, dan ngerasa hampa meskipun punya banyak hal. Dan hal ini punya cara pandang yang jelas itu penting banget buat diri kita, misalnya dengan ngeh tujuan hidup kita itu apa, nilai-nilai apa yang mau kita pegang, dan apa yang benar-benar bikin kita bahagia di jalan yang benar.

Jadi, kalau kamu ngerasa secapek itu, coba deh ambil waktu untuk istirahat sejenak. Jangan anggap semuanya harus selesai sekaligus. Belajar bilang "nggak" ke hal-hal yang nggak penting juga penting banget. Terakhir, coba hargai langkah kecil yang udah kamu ambil.

Capek itu tanda kamu hidup, tapi jangan sampai lupa kalau hidup juga harus dinikmati^^

Kamis, 05 Desember 2024

Takkan Cemas Kupercaya



Aku menginginkan seseorang yang bersamanya aku takkan cemas dengan kepercayaan. Yang keberadaannya membuatku merasa aman, bukan karena dia sempurna, tapi karena dia tahu bagaimana menjaga hati dan janji.

Aku menginginkan seseorang yang membuatku tenang tanpa harus selalu bertanya. Yang hatinya seteguh doanya, dan ucapannya adalah cerminan dari kesungguhan yang tak diragukan.

Bersamanya, aku ingin belajar percaya lagi.

Percaya bahwa cinta sejati ada, bahwa rasa bisa tumbuh tanpa bayang-bayang pengkhianatan, dan  kepercayaan bukanlah beban, melainkan hadiah yang dijaga bersama.

Aku menginginkan seseorang yang bersamanya aku tak perlu ragu. Karena hatinya tahu arah,  tujuannya selalu pada kebaikan; untuk dunia dan akhirat.

Yuk, Normalisasi Datang Tepat Waktu itu Keren

 



Datang tepat waktu mungkin terdengar sederhana, tetapi dampaknya luar biasa bagi kehidupan sehari-hari kita. Sayangnya, di beberapa tempat, keterlambatan sudah seperti budaya yang 'tak tertulis—sering dianggap biasa, bahkan dimaklumi. Padahal, hadir tepat waktu adalah kebiasaan yang bukan hanya menunjukkan rasa hormat kepada orang lain, tetapi juga mencerminkan karakter yang bertanggung jawab. Mari kita mulai melihat datang tepat waktu sebagai sesuatu yang keren dan layak untuk dinormalisasi.  

Mengapa tepat waktu itu penting? Ketika seseorang datang tepat waktu, mereka sebenarnya sedang menghargai hal-hal yang jauh lebih besar dari sekadar jadwal. Tepat waktu adalah bukti nyata bahwa Kamu peduli dengan waktu orang lain. Kamu tidak hanya menghormati, tetapi juga menunjukkan bahwa Kamu dapat diandalkan. Reputasi Kamu di mata teman, rekan kerja, atau bahkan atasan, meningkat hanya dengan kebiasaan sederhana ini.  

Namun, lebih dari sekadar citra, tepat waktu juga memberikan keuntungan pribadi. Kamu akan merasa lebih teratur, produktif, dan efisien. Keterlambatan seringkali menambah tekanan, baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain yang menunggu. Ketika semua dimulai tepat waktu, harmoni pun tercipta, menjadikan semua lebih mudah dan menyenangkan.  

Lalu, mengapa banyak orang masih terlambat? Di beberapa komunitas, ada istilah "jam karet" yang menggambarkan toleransi terhadap keterlambatan. Pola ini sering kali berasal dari kebiasaan yang sudah berlangsung lama, hingga dianggap hal yang lumrah. Selain itu, banyak orang tidak mengelola waktu mereka dengan baik. Perencanaan yang buruk, terlalu banyak menunda, atau menganggap waktu orang lain kurang penting adalah beberapa alasan utama keterlambatan.  

Ironisnya, meskipun banyak yang tahu bahwa datang terlambat itu tidak baik, kebiasaan ini sulit diubah tanpa kesadaran yang nyata. Ketidaksadaran akan dampak keterlambatan terhadap orang lain menjadi penghalang besar untuk menciptakan perubahan.  

Nah kita perlu memiliki langkah nyata untuk normalisasi tepat waktu. Jika kita ingin membuat perubahan, langkah pertama adalah mengubah pola pikir kita. Sadari bahwa waktu adalah aset berharga yang tidak bisa diulang. Ketika Kamu menghargai waktu, Kamu sebenarnya sedang menghargai hidup itu sendiri. Mulailah dengan merencanakan hari Kamu secara realistis. Sisihkan waktu tambahan untuk persiapan, dan pastikan Kamu memperhitungkan kemungkinan hambatan.  

Agar dampaknya lebih besar dan meluas, bawa juga perubahan ini ke komunitas Kamu. Mengajak teman, keluarga, atau rekan kerja untuk bersama-sama berkomitmen datang tepat waktu adalah langkah sederhana tetapi bermakna. Berikan apresiasi kepada mereka yang berhasil tepat waktu dan buatlah suasana positif di sekitar kebiasaan ini.  

Mengapa ini penting? Tepat waktu adalah cermin karakter positif. Datang tepat waktu adalah kebiasaan yang menunjukkan kepedulian, tanggung jawab, dan profesionalisme. Kebiasaan ini mungkin terlihat kecil, tetapi efeknya bisa sangat besar, baik untuk individu maupun masyarakat.  

Mari kita ubah cara pandang kita. Normalisasi datang tepat waktu bukan sekadar slogan, tetapi langkah nyata untuk membangun lingkungan yang lebih baik. Yuk, mulai hari ini, jadikan tepat waktu sebagai kebiasaan keren kita semua!

Rabu, 04 Desember 2024

Mental Penuntut Ilmu Itu Nggak Mudah Meremehkan

 




    Jadi seorang penuntut ilmu tuh sebenarnya lebih dari sekadar belajar di kelas, hafalin materi, atau ngejar nilai bagus. Guruku di saat mengisi kelasnya mengatakan bahwa mental seorang penuntut ilmu yang beneran solid itu punya prinsip, yaitu nggak gampang ngeremehin, baik orang lain maupun sesuatu yang kelihatannya sepele.

    Kenapa gitu? Karena belajar itu bukan soal merasa paling tahu, tapi justru sadar kalau dunia ini terlalu luas buat dikuasai sendirian. Ada jutaan hal yang belum kita pahami, dan tiap orang punya sesuatu yang bisa kita pelajari. Kalau kita terlalu gampang ngeremehin, sebenarnya kita lagi nutup pintu buat dapat insight baru. Padahal, bisa jadi pelajaran terbaik datang dari hal-hal kecil yang kita anggap nggak penting.

    Hal ini sangat sejalan dengan ajaran Islam yang menekankan pentingnya ilmu dan sikap tawadhu’ (rendah hati). Dalam hadits, Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, maka Allah akan menjadikan dia paham tentang agama.” (HR. Bukhari dan Muslim). Paham akan agama bukan hanya tentang menguasai teks-teks agama, tetapi juga tentang memahami kehidupan secara lebih luas, dan itu bisa datang dari mana saja.

    Misalnya, ada orang yang menurut kita “nggak pinter-pinter amat,” tapi ternyata dia punya pengalaman hidup yang ngasih perspektif baru. Atau sesuatu yang kita pikir “ah, ini gampang,” tapi ternyata pas dicoba, kok ya susahnya minta ampun?

    Dalam Islam, kita diajarkan untuk selalu menjaga sikap rendah hati dan tidak meremehkan orang lain. Bahkan, dalam Al-Qur’an Allah berfirman, “Janganlah kamu memandang rendah orang lain, karena Allah yang Maha Mengetahui setiap amal perbuatan.” (QS. Al-Hujurat: 11). Ayat ini menegaskan agar kita tidak pernah merasa lebih tinggi dari orang lain atau merendahkan mereka hanya berdasarkan status sosial, penampilan, atau apa yang terlihat di luar. Seringkali, kita mudah merasa superior dan menganggap diri lebih baik dari orang lain hanya karena pencapaian atau pengetahuan kita. Namun, Allah dengan tegas mengingatkan bahwa segala amal perbuatan seseorang diketahui sepenuhnya oleh-Nya, bukan oleh kita sebagai makhluk-Nya. Kita nggak tahu dari mana ilmu dan hikmah itu datang, dan siapa yang akan jadi sumber pelajaran berharga bagi kita.

    Intinya, mental seorang penuntut ilmu itu rendah hati. Mereka paham banget kalau belajar itu nggak terbatas di ruang kelas atau hanya dari dosen/guru aja. Ilmu bisa datang dari mana saja, termasuk dari orang yang nggak kita duga. Dari orang yang lebih tua, teman seangkatan, bahkan anak kecil sekalipun, selalu ada pelajaran yang bisa diambil. Mereka nggak buru-buru nge-judge atau merasa diri sudah tahu segalanya. Justru, mereka selalu bertanya, "Hmm, apa ya yang bisa gue pelajari dari ini?"

    Jadi, kalau kita serius mau jadi pembelajar sejati, yuk coba stop gampang meremehkan. 

    Dunia ini luas banget, ilmu itu nggak ada ujungnya, dan siapa tahu, hal yang kita anggap kecil hari ini justru yang bikin perubahan besar buat kita di masa depan. Ingat, dalam Islam, ilmu itu salah satu jalan mendekatkan diri kepada Allah, dan orang yang mencari ilmu dengan ikhlas adalah orang yang dicintai-Nya. 

    Keep learning, keep humble!

Selasa, 03 Desember 2024

Orang Tua Kaya dan Anak Miskin VS Orang Tua Miskin dan Anak Kaya

 



Biasanya, dalam keseharian hidup, kita kerap kali menemukan berbagai macam fenomena yang bahkan tidak disangka-sangka bisa terjadi. Ada-ada saja kejutan hidup yang kita saksikan atau bahkan kita alami. Entah dalam waktu yang cukup singkat, atau bahkan bertahun-tahun kemudian. Dalam hal ini, saya sedang ingin membicarakan fenomena terbalik yang sebenarnya saya sendiri menyaksikan bahkan mengalami ini. Fenomena yang sudah teman-teman baca di bagian judul; "Orang Tua Kaya dan Anak Miskin VS Orang Tua Miskin dan Anak Kaya."

Meskipun sebenarnya, kita juga akan menemukan ada orang tua kaya dan anak kaya, pun orang tua miskin, anaknya juga miskin. Namun, dalam konteks ini, saya hanya akan berfokus membahas berdasarkan judul di atas.

Dulu, waktu masih sekolah, saya memiliki beberapa teman yang orang tuanya bisa dikatakan mapan atau kaya, dengan status dan jabatan yang beragam, mulai dari ASN, Pejabat, hingga Pengusaha. Oleh karena kekayaan dan kejayaan orang tua mereka, anak-anaknya juga ikut menikmatinya. Namun, mereka cenderung bersikap hedonisme, boros, malas belajar, suka buang-buang waktu, dan perilaku-perilaku negatif lainnya. Secara menyesal, saya harus sebut mereka sebagai anak-anak miskin (etika, perilaku dan cara pandang) dari orang tua yang kaya. Mereka mungkin berpikir, dengan orang tua yang kaya dan punya jabatan, hidup mereka sudah aman-aman saja, sehingga menikmati hasil keringat orang tua mereka sudah sangat cukup.

Sebaliknya, di lain orang, beberapa teman saya memiliki orang tua yang biasa-biasa saja, pekerjaan yang hanya cukup untuk makan sehari-hari, tetapi anak-anaknya justru yang paling rajin dan pintar di kelas. Pintar mengelola uang jajan hingga berhari-hari bahkan berminggu-minggu. Mereka sadar diri dengan kondisi orang tua dan ekonomi mereka. 

Singkat saja, setelah bertahun-tahun tidak bertemu, karena dipisahkan oleh pendidikan lanjut bahkan sampai perguruan tinggi, banyak hal yang kami lewatkan. Ada begitu banyak proses dan pelajaran hidup yang mungkin mereka dapatkan, tetapi satu hal yang pasti, kehidupan mereka yang saya kenal sudah sangat melekat di ingatan saya seperti apa karakter dan perilaku mereka.

Lalu, apa yang terjadi? Beberapa dari mereka, para anak miskin dari orang tua kaya pada akhirnya tidak menjadi apa-apa setelah dewasa. Sejauh kenalan yang saya punya, mereka yang seharusnya berpotensi memiliki atau bahkan melanjutkan privilege orang tua mereka, malah justru sebaliknya.  Tidak memiliki relasi yang kuat, pekerjaan yang mapan, bahkan jabatan penting. Beberapa yang saya kenal ada yang mendapat warisan usaha milik orang tua yang pada akhirnya harus tutup (bangkrut), bahkan ada yang terpaksa harus menjual isi rumah hanya agar bisa bertahan hidup beberapa hari bahkan bulan ke depan. 

Anggapan mereka soal hidup berkecukupan hanya karena memiliki orang tua kaya, adalah kesalahan yang sebenarnya bisa dihindari oleh para orang tuanya. Anak-anak mereka terbiasa hidup di hari ini dengan kesenangan yang bahkan bukan milik mereka. Tidak ada perencanaan masa depan yang baik, atau bahkan sekadar ingin jadi apa saja mereka bingung menjawabnya.

Di lain situasi, anak-anak dari orang tua miskin justru malah menjadi orang. Mereka tidak diwariskan harta, kekayaan dan jabatan oleh orang tuanya. Tidak ada materi yang berarti, hanya pelajaran hidup yang menyadarkan mereka, bahwa hidup serba berkecukupan cukup dirasakan oleh orang tuanya saja, sementara anak-anaknya, harus punya cukup bekal untuk menghadapi masa depan yang penuh dengan tantangan dan misteri. Pada akhirnya, justru anak-anak kaya dari orang tua miskin inilah yang memberikan kekayaan dan kejayaan bagi orang tuanya. 

Pada penutup tulisan ini, saya ingin memperjelas dan mempertegas, bahwa anak miskin dan kaya yang saya maksud pada tulisan ini sebenarnya berkaitan dengan sikap dan cara pandang. Bagaiman mereka seharusnya bersikap dan melihat segala sesuatu yang dimiliki oleh orang tuanya, belum tentu dapat menyelamatkan hidup mereka di kemudian hari, dan belum tentu juga dapat mencelakakan mereka. Punya orang tua kaya tidak menjamin anaknya bisa seberuntung orang tuanya, begitupun punya orang tua miskin, tidak menuntut kemungkinan, anaknya akan menjadi orang terpandang, relasi dan kemapanan yang dapat memperbaiki kehidupan orang tua dan keluarganya.

Tulisan ini hanya sebagai inspirasi bagi kita semua, meskipun pada nyatanya, masih banyak anak dari orang tua kaya yang bisa menjadi kaya, dan ada begitu banyak anak dari orang tua miskin yang tetap menjadi miskin. Sekali lagi, ini soal bagaimana kita bersikap dan bagaimana sudut pandang kita soal kehidupan.





Total Tayangan Halaman

Kategori

Recent Posts

Teknologi Canggih, Skill Harus Level Up: Gen Z Siap?

Zaman sekarang, siapa yang gak tau teknologi Artificial Intelligence (AI)? Semuanya bisa dikerjakan sama teknologi ini, bahkan dalam beberap...

Quotes

"Sebelum berpikir untuk mengubah dunia, terlebih dulu ubahlah pikiranmu" Arsa Danialsa_

Quotes

"Tidak ada yang namanya kegagalan, yang ada hanyalah feedback" Arsa Danialsa_

Butuh Bantuan?

Nama

Email *

Pesan *