Ia mengenalnya
dari cerita-cerita kecil yang dilontarkan temannya, sepotong-sepotong, seperti
mozaik yang ia susun dalam benaknya: lelaki yang pendiam, katanya, tapi setia
mendengarkan. Ia yang tak pernah menonjol dalam keramaian, tapi senyumnya mampu
membungkam gaduh di dada.
Namanya Dira. Ia
tak tahu persis kapan mulai tertarik. Mungkin saat melihat foto lelaki itu
sedang menyiram tanaman, dengan mata yang tak menatap kamera tapi memandang
hidup dengan cara yang tenang. Atau mungkin saat ia tahu bahwa lelaki itu suka
menulis catatan kecil di punggung buku-bukunya. Dira mulai
memperhatikan detail-detail kecil, seperti jenis tanaman yang ia rawat, atau
judul buku yang tak sengaja tertangkap kamera. Semua itu membuatnya merasa
seolah ia sedang membaca seseorang, bukan sekadar melihat.
Perlahan, ia mulai
mencari celah untuk mengenal lelaki itu lebih dekat. Bertanya lewat teman yang
memperkenalkan, menelusuri akun media sosialnya, memperhatikan cerita-cerita
yang ia bagi: lagu yang ia dengarkan, kutipan yang ia unggah, dan cara ia menuliskan
kegelisahan tanpa benar-benar mengeluh. Ia menyusun potongan-potongan itu
menjadi citra tentang seseorang yang tak sempurna, tapi nyata—dan justru karena
itulah, memikat. Setiap informasi kecil menjadi seperti benih harapan, yang ia
sirami diam-diam dengan rasa dan kemungkinan.
Berulang kali Dira
menatap layar ponselnya, menunggu notifikasi yang tak kunjung muncul dari
Satya—nama lelaki itu. Ada dorongan besar dalam dirinya untuk sekadar menyapa
lebih dulu, tapi gengsi menahannya seperti tembok yang tinggi dan dingin. Ia
terlalu ingin segera saling terhubung, terlalu ingin rasa ini berbalas, tapi
juga terlalu takut terlihat lebih dulu menginginkan.
Beberapa kali ia
mengetik pesan pendek, “Hai, kamu suka buku itu juga ya?” atau “Lagunya enak,
aku juga sering dengar”—lalu menghapusnya sebelum sempat dikirim. Ia ingin
terlihat tenang, padahal hatinya gaduh. Ingin tampak santai, padahal dalam
diam, ia berdoa agar laki-laki itu mengerti sinyal-sinyal yang ia kirimkan
dengan sangat halus. Ia merasa lucu pada dirinya sendiri—bagaimana seseorang
bisa begitu takut untuk memulai, padahal hanya satu kalimat yang dibutuhkan.
Tapi bagi Dira, satu sapaan terasa seperti pertaruhan atas seluruh harga diri.
Ia takut penolakan tak datang dalam bentuk kata, melainkan dalam sunyi yang
menggantung terlalu lama.
Dira yakin, bahwa mereka akan cocok.
Ia menyukai ketenangan lelaki itu, dan percaya lelaki itu membutuhkan
keberanian yang ia miliki. Di benaknya, mereka seperti dua sisi yang diciptakan
untuk menyatu—satu mengisi kekosongan yang lain. Ia membayangkan duduk
berdampingan dengannya, tanpa perlu banyak kata, cukup saling tahu bahwa
keberadaan masing-masing sudah cukup. Namun, waktu terus berjalan, dan selama
enam bulan itu, mereka hanya bertahan sebagai dua nama yang saling pandang di
layar. Tak ada percakapan. Tak ada sapaan.
Pernah, Dira
mencoba semua makanan dan minuman yang ia lihat dari story Satya. Entah itu
kopi hitam tanpa gula, mie ayam pedas level tinggi, atau donat klasik dari toko
kecil di pojokan kota—semuanya ia cicipi satu per satu. Ia berpikir, siapa tahu
suatu saat mereka akan duduk bersama, menikmati hal-hal kecil itu berdua, dan
ia tak akan terlihat canggung atau terkejut dengan rasanya. Ia ingin segala
sesuatu tentang Satya terasa akrab, seolah mereka sudah sering berbagi
hari-hari, meski hanya Dira yang benar-benar menjalaninya. Ia mencatat rasa dan
kesan dari setiap kunjungan, seakan sedang menulis panduan diam-diam untuk
mendekati dunia lelaki itu. Bahkan ia memotret makanannya, tapi tak pernah
diunggah ke media sosialnya, karena takut terlihat terlalu jelas sedang
menyusuri jejak orang lain.
Awalnya hanya
seperti kebetulan kecil yang berulang, tapi lama-lama terasa seperti pola yang
tak bisa diabaikan—dan di sanalah Satya mulai notice pada Dira. Satya menyadari
sesuatu yang pelan tapi pasti muncul dari Dira. Cara Dira menyukai
unggahan-unggahannya tepat setelah ia mengunggahnya. Cara Dira mulai sering
muncul di tempat-tempat yang sama, entah di acara komunitas, pameran kecil,
atau kafe yang biasa ia kunjungi. Ia juga beberapa kali me-repost kutipan dari
unggahan Satya, tanpa menyebut namanya, tapi cukup untuk membuat Satya
bertanya-tanya. Dan tentu saja, teman-temannya yang mulai menggoda dengan
kalimat-kalimat ringan: "Sepertinya Dira suka kamu, Sat." Mereka
bukan teman Satya saja, tapi juga kenal dekat dengan Dira. Mereka adalah orang-orang yang
sama-sama mengenal keduanya dan mulai membaca dinamika yang tak diucapkan. “Dia
tuh selalu nanya kabar kamu kalau lagi ngobrol,” ujar salah satu dari mereka
sambil tersenyum penuh arti. “Satya, buka matamu dikit lah.”
Satya mulai
bertanya dalam diam, “Apa yang ia sukai dariku? Aku bukan siapa-siapa. Ia bisa
bersama pria yang jauh lebih tampan, lebih jenaka, lebih… sederajat.” Ia
menggenggam perasaan itu seperti menggenggam air, ragu-ragu dan takut tumpah.
Ada malam-malam di
mana Satya memandangi layar ponselnya lebih lama dari biasanya, membaca ulang
komentar atau story Dira yang tampak biasa, tapi baginya menyimpan isyarat. Ia
mulai mengingat momen-momen kecil—tatapan singkat, senyum yang tertahan, atau cara
Dira mendekat tanpa benar-benar mendeklarasikan apa pun. Semua itu mengendap
pelan, menumbuhkan keyakinan bahwa mungkin memang ada sesuatu di antara mereka.
Namun, di balik
semua tanda itu, Satya tetap dihantui keraguan. Ia takut hanya membangun
harapan dari kebetulan yang dibacanya terlalu jauh. Ia tidak ingin geer—berpikir
disukai, padahal mungkin Dira hanya bersikap ramah seperti biasa. Lagipula, ia
sering merasa dirinya bukan tipe yang mudah disukai. Ia bukan yang paling
menarik di ruangan, bukan pula yang paling percaya diri untuk memulai lebih
dulu. Ada bagian dalam dirinya yang selalu merasa kurang, seolah-olah perasaan
orang lain tak mungkin benar-benar memilih dirinya.
Tapi suatu malam,
saat Dira membagikan lagu lama yang sama persis dengan yang baru saja ia unggah
dua jam sebelumnya, lengkap dengan kutipan lirik yang seolah menjawab isi
kepalanya, Satya terdiam cukup lama. Rasanya seperti konfirmasi yang tak
diucapkan, tapi terasa begitu jelas. Ia kembali membuka riwayat ‘interaksi’
mereka, menelusuri ulang semua isyarat kecil. Mereka memang tak pernah
berbicara langsung, tapi rasanya seperti sudah lama saling menyapa lewat
kode-kode yang hanya mereka pahami. Dan saat ia menyatukan semuanya, perlahan
benang merah itu tampak jelas—bahwa Dira memang tidak hanya hadir, tapi
menunggu.
Saat itulah, ia
mulai benar-benar yakin. Ia mulai menepis keraguan yang selama ini
membelenggunya. Mungkin, pikirnya, rasa tidak percaya diri itu hanyalah
bayang-bayang yang diciptakan oleh ketakutan kehilangan sesuatu yang belum
sempat dimiliki. Hingga bulan ketujuh datang dan Satya mulai membuka dirinya.
Ia membalas cerita-cerita yang dibagikan Dira di Instagram Story, menanggapi
dengan singkat, lalu lebih panjang. Ia menyukai foto diri yang diunggah Dira. Baru
kali itu Satya benar-benar memperhatikan senyumnya, dan ia tersadar, ada
kehangatan tenang dalam senyum itu, sesuatu yang manis tanpa dibuat-buat,
seolah mampu meredakan hal-hal yang tak terucap. Ia mulai memikirkan:
"Mungkin ini yang disebut cinta yang tumbuh pelan-pelan." Ia ingin
mengatakannya, segera.
Namun, yang tak ia
tahu, cinta yang pelan juga bisa kalah oleh waktu.
***
Tepat ketika ia
bersiap menyusun kata, mengalahkan rasa minder dan akhirnya hendak mengajaknya
bertemu, kabar itu sampai di telinganya lewat teman yang dulu mengenalkan
mereka: “Sat, kenal Dira ‘kan? Dia akan menikah bulan depan. Dipinang temannya
sendiri. Sudah dekat lama, katanya. Heboh di sosmed. Si cowoknya keliatan
kecintaan banget.”
Satya duduk diam,
“Oh gitu?” jawabnya singkat.
Dunia dalam
dirinya bergetar, tapi tak ada gempa yang terlihat dari luar. Ia hanya tertawa
kecil, lalu menunduk. Ada sesuatu dalam dadanya yang remuk perlahan, tapi tidak
ia biarkan terdengar. Ia membiarkan senyumnya tetap tinggal di wajah, seolah
kabar itu bukan apa-apa. Padahal di dalam, ia sedang mengubur kata-kata yang
tak sempat lahir menjadi nyata.
Di sudut gelap
malam, ia menulis di buku catatannya:
“Mungkin aku
adalah rumah yang ia tunggui terlalu lama, sampai akhirnya ia memutuskan
membangun rumah lain.”
Dan begitulah cinta itu selesai. Bukan
karena tak ada rasa. Tapi karena rasa itu datang saat pintu telah terkunci dari
dalam. Ia baru mengerti: risiko terbesar dalam menunggu bukan hanya tidak
didengar—melainkan kehilangan sebelum sempat menyapa.