• Ingin Cerita Anda Menginspirasi Dunia | Coming Soon

    Di Zona Insight, kami percaya bahwa setiap individu dan kelompok memiliki cerita yang layak didengar. Kami hadir untuk membantu Anda mempublikasikan ide, pengalaman, atau prestasi agar menjangkau lebih banyak audiens.

  • Ayo Jadi Penulis di Zona Insight | Klik di sini untuk Daftar

    Manfaatkan kesempatan selama 3 bulan bersama Zona Insight untuk memberi dampak dan inspirasi lewat tulisan. Kamu juga akan dibekali pengetahuan dan keterampilan menulis oleh mentor Zona Insight, serta mendapatkan sertifikat penghargaan sebagai penulis inspiratif.

Jumat, 25 April 2025

Teknologi Canggih, Skill Harus Level Up: Gen Z Siap?




Zaman sekarang, siapa yang gak tau teknologi Artificial Intelligence (AI)? Semuanya bisa dikerjakan sama teknologi ini, bahkan dalam beberapa tahun terakhir AI udah kayak roket yang meluncur kencang tanpa batas. Mulai dari chatbot yang diajak ngobrol kayak manusia, sampai baru – baru ini lagi rame tuh tren bikin foto ala studio Ghibli, semuanya bikin kita tuh kagum sama teknologi ini. Tapi, kadang karena saking semua hal bisa dilakuin sama AI, kita agak deg-degan juga. Apalagi kita—Gen Z—yang katanya paling Tech-savvy, beneran udah siap belum sih menghadapi dunia yang didominasi sama AI? Atau justru malah panik karena takut digantikan?

AI sekarang bukan cuman sekadar nanya jawaban ujian doang. Bahkan di dunia pekerjaan, AI udah mulai masuk ke berbagai bidang mulai dari edukasi, kesehatan, keuangan, desain sampai industri kreatif. Banyak pekerjaan yang dulunya memakan waktu dan tenaga manusia, sekarang bisa dikerjakan bak pesulap sirkus dalam hitungan detik. Contohnya desainer grafis bisa aja saingan sama AI yang bikin ilustrasi hanya dalam waktu 10 detik. Penulis artikel harus bersaing sama program yang bisa buat artikel otomatis. Bahkan dosen pun harus bersaing sama teknologi yang semuanya bisa dijawab hanya hitungan detik.

Artificial Intelligence (AI) menjadi salah satu teknologi yang lagi naik daun di dunia. Bahkan dilansir dari sumber databoks, Indonesia menduduki peringkat ke 3 dari 10 Negara penyumbang kunjungan terbanyak ke aplikasi Artificial Intelligence (AI). Di tahun 2024 aja, pengguna AI di Indonesia mencapai 1,3 juta pengguna! Nggak heran kalau zaman sekarang orang-orang pada nggak bisa lepas dari yang namanya AI.

Kita sebagai Gen Z wajar gak sih panik? Takutnya kedepannya pekerjaan kita malah akan digantikan sama AI ini. Wajar kok kalau ada rasa khawatir kayak gitu. Tapi, alih-alih panik mending kita ubah minset jadi “Gimana cara kedepannya kita bisa kerja bareng AI”. Sebenarnya Gen Z tuh punya keuntungan salah satunya Digital Native yang harusnya sih adaptasi sama teknologi itu bukan hal yang baru. Yang paling penting sekarang yaitu:

Belajar, dunia itu perubahannya cepet banget. Bisa jadi skill sekarang yang kita punya besoknya malah jadi basi. Makanya penting buat kita apalagi Gen Z buat terus belajar dan upskilling.

Nilai emosional, hal ini masih menjadi “senjata rahasia” kita sebagai manusia. Emang sih AI bisa ngasih data dan output, tapi emang nilai emosional dan empati AI bisa? Itu masih jadi domain kita sampai sekarang.

Eksplorasi, nih buat para Gen Z jangan takut buat nyoba yang namanya teknologi baru. Minimal ngulik di YouTube lah biar kita juga gak Gaptek!

Jadi, buat Gen Z yang kerjanya cuman scroll-scroll HP doang, mageran sama multitasking. Udah saatnya melek, sama tunjukin kalau kita juga bisa. Nggak dicap generasi rebahan doang. Kita semua juga bisa sukses di era AI. Kita juga harus melek teknologi, terus belajar sama kreatif.

Kalau AI makin canggih, bukan berarti kita kalah dan malah makin panik. Tapi harusnya kita makin semangat buat beradaptasi dan terus eksplore hingga menciptakan peluang baru. Masa depan gak sepenuhnya ditentukan sama teknologi doang, tapi gimana kita siap buat ngadepinnya!

Burnout di kalangan pelajar: Beneran lelah atau hanya rasa malas?




Pernah nggak sih, kamu ngerasa capek banget waktu ngerjain tugas sekolah atau kuliah, padahal mulai aja belum. Atau tiba – tiba ngerasa males banget untuk ngerjain PR yang dikasih guru, padahal kamu biasanya semangat buat ngerjainnya? Hati – hati loh hal tersebut bisa jadi bukan rasa malas biasa, tapi kamu lagi ngalamin yang namanya burnout?

Menurut psikolog asal Amerika Serikat Christina Maslach, burnout sendiri adalah sindrom kelelahan emosional dan sinisme yang dialami oleh seseorang akibat stress kerja kronis. Walau umumnya burnout ini dialami oleh pekerja kantoran namun pelajar juga bisa terkena burnout loh. Burnout pada pelajar bisa terjadi karena tugas, ujian, ekskul bahkan ekspektasi yang diciptakan diri sendiri maupun lingkungan sekitar.

Banyak orang yang salah kaprah, mereka mikirnya pelajar kalo ngeluh capek itu ya karena mereka malas aja ngerjain tugas. Padahal menurut penelitian dari Mediva Syafira, Siti Khotimah, dan Eka Yuni Nugrahayu tahun 2023, dalam jurnal mereka disebutkan sekitar 35% mahasiswa ngalamin gejala burnout, hal ini udah termasuk kelelahan emosional, depersonalisasi atau mereka ngerasa asing sama diri sendiri, bahkan sampai ke menurunnya prestasi akademik. Angka ini bukan angka yang kecil loh.

Penelitian dari Eirene Priscilla C. Simatupang dan Yoanita Widjaja dalam jurnalnya tahun 2021 juga ngejelasin bahwa tekanan akademik yang tinggi serta manajemen waktu yang buruk jadi pemicu utama burnout pada pelajar SMA dan mahasiswa, ngelihat hal ini tentu aja semua yang terjadi bukan semata – mata karena malas, tetapi emang kondisi mental yang serius.

Rasa malas biasanya bersifat sementara, kadang muncul, kadang hilang, dan bisa diatasi dengan motivasi atau istirahat sejenak. Tapi burnout beda. Burnout membuat seseorang benar-benar kehilangan energi, motivasi, bahkan kepercayaan diri. Kamu bisa merasa lelah setiap hari meskipun sudah tidur cukup, sulit fokus meski suasana tenang, atau merasa kosong dan nggak tahu harus mulai dari mana.

Lalu, kalau kamu mulai ngerasa tanda-tanda itu, apa yang bisa dilakukan?

Nih, Tips Mengatasi Burnout pada Pelajar!

Kenali dan akui kondisimu

Langkah pertama adalah sadarilah kemungkinan kamu mengalami burnout. Jangan langsung menilai diri sendiri sebagai pemalas. Akui dan terima perasaan lelah kamu, itu hal yang wajar.

Atur ulang waktu dan prioritas

Coba evaluasi jadwal kamu. Apakah terlalu padat? Apakah semua kegiatan benar-benar perlu? Kadang kita terlalu memaksakan diri ikut banyak hal karena takut ketinggalan atau ingin terlihat produktif. Padahal tubuh dan pikiran punya batasnya.

Ambil jeda yang berkualitas

Istirahat bukan berarti rebahan seharian sambil scroll medsos (yang justru bisa bikin makin overthinking). Coba ambil waktu untuk benar-benar recharge, misalnya jalan santai sore, baca buku ringan, dengerin musik, atau ngobrol santai bareng teman.

Berani bilang “Cukup”

Nggak semua hal harus kamu lakukan sekarang juga. Tugas penting memang, tapi kesehatan mental juga nggak kalah penting. Kalau sudah terlalu berat, nggak apa-apa kok minta bantuan atau diskusi sama guru/dosen untuk cari solusi.

Jaga keseimbangan hidup

Sisihkan waktu untuk hal-hal yang kamu suka, selain belajar.  Main musik, gambar, nonton film, olahraga, apa aja yang bikin kamu merasa lebih hidup, nggak cuma jadi robot tugas.

Cari dukungan

Kalau kamu merasa burnout-nya makin parah dan mengganggu aktivitas sehari-hari, jangan ragu cari bantuan profesional. Konselor sekolah, psikolog, atau layanan kesehatan mental bisa jadi tempat curhat yang aman dan membantu kamu pulih. 

Jumat, 18 April 2025

10 QUOTES ARSA DANIALSA


Kita percaya setiap pencapaian individu kita adalah kombinasi antara pikiran, perkataan dan perbuatan. Kami biasa menyebut ini dengan istilah Neuro Linguistic Programming (NLP). Bahwa pikiran kita dapat memengaruhi perkataan, dan perkataan dapat memengaruhi tingkah laku kita. Pada konteks ini, selain pikiran yang positif, kata-kata yang positif memiliki pengaruh yang cukup besar dalam kehidupan kita sehari-hari. Berikut 10 kumpulan kata-kata dari Arsa Danialsa, seorang Dosen dan Trainer di bidang pengembangan diri dan Neuro Linguistic Programming (NLP) yang kami rangkum untuk Anda:

"Sebelum berpikir mengubah dunia, ubahlah pikiranmu terlebih dulu."

"Mau se-idealis apapun kita, sisakan sedikit ruang untuk keikhlasan. Karena semua orang akan realistis juga pada waktunya. Kita boleh idealis dengan mimpi dan cita-cita, tapi jangan lupakan, akan selalu ada ketidaksesuaian atas hasil yg kita dapatkan."

"Orang-orang kebanyakan hanya bisa memberi contoh tapi tidak bisa menjadi contoh."

"Ada dua respon yang mungkin akan kita rasakan saat gagal; kecewa dan ikhlas. Jika kecewa, maka sadarlah. Jika iklas, maka belajarlah."

"Jika gagal adalah pilihan, lebih baik gagal karena sudah mencoba daripada gagal tapi tidak mencoba sama sekali."

"The map is not the territory; peta bukanlah wilayah yang sebenarnya. Begitupun apa yang kita pikirkan belum tentu kenyataanya. Tapi ingat dan berhati-hatilah, apa yang kita pikirkan bisa jadi akan menjadi kenyataan jika kita mengamini dan meyakini pikiran tersebut."

"Sudahlah, tidak ada waktu untuk terus mengeluh. Teruslah bernapas."

"Orang kaya yang sebenarnya bukanlah mereka yang punya apa, melainkan yang bisa berbagi apa."

"Mau se-idealis apapun kita, sisakan sedikit ruang keikhlasan. Karena pada akhirnya semua orang akan realistis juga pada waktunya. Kita boleh idealis dengan mimpi dan cita-cita, tapi jangan lupakan, akan selalu ada ketidaksesuaian atas hasil yang kita dapatkan."

"Orang-orang kebanyakan hanya bisa memberi contoh, bukan menjadi contoh."

Semoga kata-kata di atas dapat memberikan makna dan dampak baru yang lebih positif untuk aktivitas kita semua.

Jumat, 11 April 2025

Punya Hobi Main Sosmed? Kenapa Nggak Sekalian Jadi Cuan?

 


Kamu suka scroll-scroll TikTok, bikin konten IG, atau pantengin FYP sampe tengah malam? Selamat, kamu nggak sendirian! Sekarang tuh hampir semua orang hidupnya nempel banget sama internet. Bahkan, data dari Kominfo bilang kalau ada 129 juta orang Indonesia yang aktif di medsos, dan rata-rata habisin waktu 3,5 jam sehari cuma buat online.

Tapi, daripada cuma scrolling doang, gimana kalau hobi medsosan kamu itu di-upgrade jadi sumber penghasilan? Yes, sekarang banyak banget anak muda yang udah jadi konten kreator, influencer, atau jualan online hanya modal akun medsos. Dunia digital udah berubah banget—nggak cuma tempat buat curhat atau stalking mantan, tapi juga ladang buat cari cuan.

Nah, buat kamu yang kepo gimana caranya, yuk kenalan dulu sama cara-cara dapet duit dari medsos!

 1. Dapet Bayaran dari Brand

Pernah nggak liat selebgram atau TikTokers yang review produk dan bilang “ini bukan iklan ya, tapi emang suka”? Eits, itu biasanya konten bersponsor. Menurut laporan We Are Social 2023, 70% influencer di Indonesia dapet duit utama dari kerja sama brand. Jadi mereka dibayar buat promosi produk lewat foto, video, atau review.

Seru kan? Kamu bisa tetep jadi diri sendiri, bikin konten yang kamu suka, sambil dapet penghasilan.

 2. Jadi Youtuber atau TikToker Aktif

Kalau kamu suka bikin video, YouTube dan TikTok punya program monetisasi. Jadi, semakin banyak yang nonton video kamu, makin besar juga peluang dapet duit dari iklan.

Misalnya nih, YouTuber dengan 1 juta subscriber bisa dapet sekitar 3.000–5.000 USD per bulan. Tapi ingat ya, ini tergantung dari jumlah views, durasi video, dan asal penonton.

TikTok juga punya program kayak Creator Fund dan Live Gift. Walau penghasilannya nggak sebesar YouTube, tapi lumayan banget kalau digabung sama sponsor dan jualan barang.

3. Jualan Produk atau Jasa Sendiri

Kamu jago desain? Suka nulis? Atau punya ide merchandise lucu? Banyak konten kreator sekarang yang jualan produk sendiri, mulai dari kaos, tote bag, e-book, sampai kursus online. Selain nambah penghasilan, ini juga bantu ngebangun personal branding kamu loh!

Nielsen bilang, 92% orang lebih percaya rekomendasi dari kreator yang mereka ikutin daripada iklan biasa. Jadi kalau kamu punya followers yang loyal, mereka lebih gampang percaya dan beli produkmu.

 4. Ikut Program Afiliasi

Kamu sering liat kalimat “Cek link di bio ya”? Nah itu adalah bagian dari affiliate marketing. Jadi kamu share link produk, dan kalau ada yang beli lewat link itu, kamu dapet komisi!

Contohnya kayak Shopee Affiliate Program atau TikTok Shop Affiliate. Simpel dan nggak perlu repot stok barang. Cocok banget buat yang baru mulai nyari cuan dari medsos.

Intinya Sihhhh…

Medsos bukan cuma tempat buat pamer outfit atau lihat dance challenge. Kalau dimanfaatin dengan kreatif dan konsisten, kamu bisa banget dapetin penghasilan dari sana.

Mulai dari konten bersponsor, jadi kreator YouTube/TikTok, jualan produk, sampai ikut affiliate—all of it bisa kamu coba! Yang penting, temukan gaya kamu sendiri, terus konsisten dan nggak gampang nyerah.

Siapa tahu, hobimu main medsos bisa jadi jalan kamu jadi boss muda.

Penulis, Hajirah Ali

Nggak Mau Ketinggalan Tren? Hati-Hati Sama FoMO!





Zaman sekarang, siapa sih yang nggak main media sosial? Mulai dari upload daily life, ikut challenge, sampe share info menarik—semuanya bisa banget dilakuin di medsos. Apalagi banyak banget tren dari para konten kreator yang viral dan langsung bikin kita pengen ikutan. Tapi, kadang karena saking banyaknya info dan tren baru, kita jadi takut ketinggalan. Takut gak update itu yang biasa disebut FoMO alias Fear of Missing Out.

FoMO ini muncul waktu kita ngerasa semua orang ngalamin hal seru, tapi kita nggak. Misalnya, temen-temen pada healing ke Bali, eh kamu masih stuck di kamar. Atau semua orang lagi bahas trend dance TikTok baru, dan kamu belum sempet nonton—langsung deh muncul rasa nggak mau kalah dan buru-buru nyusul.

TikTok sendiri jadi salah satu aplikasi yang super booming, bukan cuma di Indonesia tapi juga dunia. Di 2023 aja, pengguna medsos di Indonesia udah tembus 99,1 juta orang! Nggak heran sih kalau medsos makin nempel di keseharian kita. Tapi, makin sering kita scroll, makin besar juga kemungkinan kita ngalamin kecemasan sosial kayak FoMO tadi.

Jadi, FoMO tuh kayak dorongan buat selalu terhubung sama dunia online—biar nggak merasa ditinggalin. Kita jadi ngerasa wajib banget tahu update terkini, walau itu bikin capek sendiri. Ciri-ciri FoMO tuh contohnya:

  1. Nggak bisa jauh dari HP. Rasanya gatal banget kalau belum buka IG, TikTok, atau WA.
  2. Lebih milih ngobrol di DM daripada ketemu langsung.
  3. Sering ke-distract sama postingan orang atau FYP yang seolah lebih seru dari hidup kita.

Menurut penelitian, remaja itu emang paling rentan kena FoMO. Mereka takut banget kehilangan momen bareng temen, apalagi kalau itu viral. Kadang, kita jadi maksa ikut lifestyle yang sebenernya bukan diri kita, cuma biar “nempel” sama circle atau biar diakui di medsos.

Ada juga yang mikir, posting di media sosial itu wajib. Kalau nggak upload, takut nggak dianggap eksis. Akhirnya, banyak yang jadi overposting, atau ikut tren cuma demi validasi. Padahal, hidup kita nggak harus selalu keliatan keren di internet, ya gak?

Parahnya, FoMO ini bisa ngaruh ke kesehatan mental. Karena terus-terusan bandingin diri sama orang lain di medsos, kita jadi lebih gampang stres, insecure, dan ngerasa hidup kita kurang banget. Lama-lama, itu bisa bikin kualitas hidup turun. Dikit-dikit cemas, dikit-dikit ngerasa gak cukup.

Makanya, penting banget buat kita—anak muda apalagi Gen Z—buat paham dampak dari FoMO. Jangan sampai kita terjebak dalam siklus ngejar validasi terus-terusan. Media sosial itu seru, tapi jangan sampai kita dikontrol olehnya. Gunain aja seperlunya, buat hal yang bikin kita bahagia dan berkembang.

Senin, 24 Maret 2025

Perundungan di Media Sosial: Apa sih Dampaknya?


 

Di zaman sekarang, teknologi berkembang super cepat, terutama media sosial. Semua orang dari berbagai kalangan, termasuk anak muda, pasti sudah nggak asing lagi sama platform kayak Instagram, TikTok, atau Twitter. Media sosial memang banyak manfaatnya, tapi sayangnya, bisa jadi tempat subur buat masalah sosial yang serius, salah satunya perundungan (bullying). Artikel ini bakal bahas tentang perundungan di media sosial, apa aja penyebabnya, dan gimana cara nyelesainnya. Semoga bisa nambahin kesadaran kita untuk bikin dunia digital yang lebih aman dan nyaman, khususnya buat anak muda.

Salah satu contoh kasunya adalah tragedi influencer Malaysia yang bunuh diri karena nggak tahan di-bully di media sosial. Perundungan di media sosial emang masalah besar, karena sifatnya yang mudah diakses dan jangkauan globalnya yang super luas. Ada beberapa faktor yang bikin perundungan makin parah, salah satunya adalah anonimitas. Pelaku bisa nyembunyiin identitasnya dan merasa lebih berani nge-bully tanpa takut ketahuan atau dihukum. Selain itu, media sosial juga kurang pengawasan, jadi banyak pelaku yang bisa nyebarin konten merugikan tanpa takut ditindak.

Salah satu kasus yang bikin heboh adalah kejadian di Malaysia, dimana seorang influencer bernama Rajeswary Appahu bunuh diri setelah di-bully di media sosial. Berdasarkan laporan dari Liputan 6, setelah dilakukan penyelidikan, ternyata ada dua orang yang jadi pelaku perundungan ini. Salah satunya adalah pemilik panti jompo, Shalini Periasamy, yang didenda RM100 (sekitar Rp. 356.700) karena komentar nggak pantas di TikTok. Yang satunya lagi, seorang sopir truk, Sathiskumar, dijatuhi hukuman penjara selama 1 tahun karena menyerang Rajeswary secara verbal lewat akun TikTok-nya.

Sayangnya, meskipun udah ada proses hukum, dampak perundungannya sangat besar. Rajeswary ditemukan meninggal di rumahnya pada 5 Juli 2024 setelah lebih dari sebulan di-bully tanpa henti. Insiden ini bikin publik Malaysia marah dan membuka mata banyak orang tentang bahaya perundungan di dunia maya, apalagi untuk perempuan.

Perundungan di media sosial bukan cuma masalah sepele. Ada banyak faktor yang bikin hal ini berkembang, seperti anonimitas pelaku, kurangnya pengawasan, budaya cyberbullying, dan tekanan sosial. Semua ini bisa ngasih dampak yang sangat buruk bagi korban, bahkan bisa berujung pada bunuh diri.

Untuk ngurangin perundungan di media sosial, kita perlu pendekatan yang lebih holistik, bukan cuma hukuman buat pelaku, tapi juga dengan menciptakan lingkungan digital yang positif dan mendukung. Salah satu caranya adalah dengan edukasi sejak dini. Kita harus ngajarin tentang etika digital, tanggung jawab online, dan pentingnya empati. Pendidikan ini gak cuma buat anak-anak dan remaja, tapi juga buat orang tua dan pendidik supaya mereka bisa lebih ngerti dunia digital, ngawasin aktivitas online, dan ngasih dukungan yang tepat. Sekolah juga perlu masukin pendidikan tentang literasi media ke dalam kurikulumnya.

Selain itu, platform media sosial juga punya peran penting. Mereka harus memperbaiki fitur pelaporan, respons cepat terhadap laporan perundungan, dan bikin algoritma yang bisa deteksi konten bullying. Platform juga harus punya kebijakan tegas soal perundungan dan transparan dalam proses penanganannya, biar pengguna bisa percaya dan merasa aman. Kerja sama antara platform dan organisasi anti-perundungan juga penting buat bikin solusi yang lebih efektif.

Jadi, ayo kita bareng-bareng buat menciptakan lingkungan digital yang lebih sehat, bebas dari perundungan!

Fenomena Affiliate Marketing

 


Sekarang ini, media sosial udah jadi bagian gak terpisahkan dari kehidupan anak muda, ya kan? Gak cuma buat ngobrol sama temen, tapi juga jadi tempat buat cari uang. Salah satunya lewat affiliate marketing. Jadi, affiliate marketing itu model bisnis di mana orang bisa dapetin komisi dengan promosiin produk atau layanan orang lain. Ini nih yang jadi tren di kalangan anak muda, yang pengen cari penghasilan tambahan lewat media sosial. Nah, artikel ini, kita bakal bahas gimana affiliate marketing berkembang di kalangan anak muda, dan apa aja strategi yang dipake buat manfaatin kesempatan ini.

Anak muda sekarang makin terbuka sama peluang buat cari duit lewat internet. Salah satu cara yang paling hits adalah affiliate marketing, di mana mereka bisa promosiin produk tanpa harus punya atau ngelola stok barang. Instagram, YouTube, dan TikTok jadi platform yang banyak dipake buat ini. Kenapa? Karena media sosial ngasih kesempatan buat menjangkau banyak orang, bahkan dari luar negeri sekalipun! Jadi, anak muda di Indonesia bisa promosiin produk dari brand di Eropa atau Amerika, dan tetep dapet komisi.

Selain itu, banyak juga yang terinspirasi sama influencer atau content creator yang udah sukses di affiliate marketing. Mereka sering banget cerita tentang gimana caranya dapet duit dari promosi produk, yang bikin anak muda lain pengen ikutan. Platform besar seperti Amazon dan Shopee juga bikin program afiliasi yang gampang diikuti, jadi makin banyak deh anak muda yang tertarik.

Anak muda kan kreatif banget ya, jadi mereka sering bikin konten yang menarik dan bisa viral. TikTok contohnya, jadi tempat yang super efektif buat bikin video yang nunjukin gimana cara pake produk sambil nyelipin link afiliasi. Gaya bahasa yang ringan dan tren terkini juga bikin audiens merasa dekat dan relate banget sama konten yang dibikin. Misalnya, ada remaja yang bikin video seru tentang cara pake sepatu terbaru, ini jadi menarik banget buat orang yang nonton, apalagi kalo kontennya lucu dan informatif.

Anak muda juga suka banget ngasih review jujur tentang produk yang mereka coba. Ini ngebantu banget buat bangun kepercayaan sama audiens. Di Instagram misalnya, banyak yang bikin post atau story sambil nunjukin produk yang mereka pakai, lengkap dengan link afiliasinya. Testimoni dari temen sebaya lebih dipercaya daripada iklan yang langsung dari brand. Jadi, kalo anak muda bisa berbagi pengalaman yang nyata dan authentic, audiens bakal lebih percaya dan mungkin bakal beli produk yang direkomendasiin.

Banyak banget anak muda yang kolaborasi sama influencer buat memperluas jangkauan mereka. Influencer ini kan punya banyak pengikut, jadi kerja bareng mereka dalam program afiliasi bisa ngebantu affiliate marketers buat dapetin penghasilan lebih besar. Misalnya di Instagram atau YouTube, influencer dan affiliate marketers sering kolaborasi lewat giveaway atau challenge yang ngajak audiens buat beli produk lewat link afiliasi. Ini jelas ngebantu banget buat ningkatin penjualan.

Buat ngejamin konten mereka bisa ditemukan banyak orang, affiliate marketers sering pake hashtag yang lagi ngetren dan strategi SEO yang tepat. Hashtag yang tepat bisa ngebantu mereka supaya konten mereka sampai ke audiens yang lebih spesifik. Misalnya, kalo ada yang promosiin skincare, hashtag kayak #skincare atau #beautytips bisa bikin konten mereka lebih mudah ditemukan. Begitu juga di YouTube, optimasi video dengan kata kunci yang tepat bisa bikin video muncul di pencarian, bikin lebih banyak orang yang nonton.

Fenomena affiliate marketing gak cuma jadi cara buat dapetin penghasilan, tapi juga ngubah cara anak muda konsumsi produk. Banyak brand yang sadar kalau pasar anak muda aktif di media sosial, jadi mereka pake strategi affiliate marketing buat nyampein produk mereka. Ini juga buka kesempatan buat anak muda jadi wirausaha digital meskipun gak punya produk sendiri. Misalnya brand fashion atau kosmetik sering kerja bareng affiliate marketers buat promosiin produk mereka. Ini ngebantu banget buat memperluas jangkauan dan ningkatin kredibilitas di mata audiens muda.

Tapi, ada tantangannya juga, loh. Terlalu banyak promosi tanpa pengawasan bisa bikin audiens kehilangan kepercayaan. Konsumerisme berlebihan juga bisa bikin kebiasaan beli tanpa mikir. Makanya, affiliate marketing perlu dikelola dengan hati-hati biar gak cuma jadi ajang promosi yang bikin orang gak percaya lagi.

Salah satu influencer Indonesia yang sukses banget di affiliate marketing adalah Rachel Goddard. Dia aktif banget di YouTube dan Instagram, dan bisa sukses banget dengan gabungin passion-nya di dunia kecantikan, fashion, dan lifestyle dengan peluang bisnis di media sosial. Rachel sering banget nge-review produk-produk yang bisa dibeli lewat e-commerce besar seperti Tokopedia, lengkap dengan link afiliasi. Setiap kali ada pengikut yang beli lewat link itu, Rachel dapet komisi. Keberhasilannya buktiin kalo anak muda di Indonesia bisa banget manfaatin media sosial buat ngembangin pendapatan tanpa harus punya produk sendiri.

Yang bikin Rachel sukses adalah kemampuannya bikin konten yang autentik dan relatable. Dia gak cuma sekedar promosiin produk, tapi juga ngasih review jujur, jadi pengikutnya lebih percaya sama rekomendasinya. Misalnya, di video tutorial makeup, dia gak cuma nunjukin cara pakai produk, tapi juga kasih info soal kelebihan dan kekurangannya, jadi pengikutnya bisa ngerasa lebih yakin buat beli lewat link afiliasi yang dia kasih. Rachel juga pintar milih produk yang sesuai sama minat audiensnya, seperti produk kecantikan dan fashion yang lagi tren.

Jadi, ini buktikan kalo dengan kreativitas, konsistensi, dan konten yang berbasis kepercayaan, affiliate marketing bisa jadi jalan sukses buat anak muda di dunia digital.

Fenomena Flexing: Pameran Mewah di Media Sosial, Realita atau Ilusi?



Di zaman sekarang, media sosial udah jadi tempat utama buat orang-orang nge-share kehidupan mereka. Ada banyak hal positif dari media sosial, tapi nggak sedikit juga yang bikin drama—salah satunya adalah fenomena flexing.

Buat yang belum familiar, flexing itu semacam ajang pamer kekayaan, entah itu barang branded, liburan mewah, atau saldo ATM yang fantastis. Tapi yang jadi pertanyaan, apakah semua yang dipamerin itu benar-benar real, atau cuma buat pencitraan doang?

Tren flexing ini makin rame gara-gara banyak influencer yang hobi banget nunjukin gaya hidup mewah mereka. Bahkan, ada penelitian dari Ety Nurhayat dan Rakhmaditya Dewi Noorriziki yang bilang kalau flexing sering dikaitin sama self-esteem alias kepercayaan diri seseorang. Beberapa influencer bahkan sampai terlibat kontroversi gara-gara ketahuan kalau kekayaan yang mereka pamerin ternyata nggak sesuai realita!

Salah satu contoh tren flexing yang sempat viral adalah review saldo ATM. Banyak orang yang ikut-ikutan nunjukin isi rekening mereka di media sosial. Tapi, tren ini malah memicu perdebatan. Ada yang kagum, ada yang insecure, dan ada juga yang ngerasa flexing kayak gini nggak ada etikanya.

Nggak cuma soal citra diri, flexing juga berdampak ke kesehatan mental. Penelitian lain yang berjudul Flexing di Instagram, Antara Narsisme dan Benefit” bilang kalau kebiasaan pamer ini bisa bikin pelakunya stres karena harus terus mempertahankan image mewahnya. Sementara buat netizen yang liat, bisa jadi malah minder dan ngerasa hidup mereka jauh dari standar kemewahan di media sosial.

Uniknya, tren flexing ini juga dimanfaatin sama banyak brand sebagai strategi pemasaran. Banyak produk yang pakai influencer dengan gaya hidup mewah buat branding mereka, biar kesan eksklusifnya “nular” ke produk tersebut. Bahkan, ada brand yang sengaja bikin konten ala-ala flexing supaya keliatan lebih premium dan menarik konsumen.

Jadi, flexing ini sebenarnya fenomena yang kompleks—bisa jadi representasi kesuksesan, bisa juga sekadar cari validasi. Apapun itu, baik influencer, brand, maupun netizen perlu lebih bijak dalam menyikapi tren ini, biar media sosial nggak cuma jadi ajang pamer, tapi juga tempat yang lebih positif buat semua orang.

Minggu, 09 Maret 2025

Setelah Kita Menjalani Hidup Masing-Masing

 


Kita pernah menjadi dua manusia yang berjalan sejajar, menyeberangi waktu dengan langkah serupa. Kita pernah mengukir rencana di langit senja, mengira bahwa garis takdir adalah sesuatu yang bisa kita genggam erat dalam genggaman. Tapi, waktu selalu punya cara untuk melepaskan jemari yang bertaut, menyisakan ruang yang lambat laun melebar menjadi jarak.

Kau memilih jalurmu, aku memilih jalurku. Kita tak pernah saling menahan, hanya sesekali menoleh, memastikan bahwa bayangan masing-masing masih ada dalam pandangan. Sampai akhirnya, kelokan-kelokan kehidupan membawa kita ke arah yang berbeda, mengaburkan siluet yang dulu akrab dalam ingatan.

Aku pernah bertanya-tanya, apakah di suatu pagi yang sibuk, kau sempat mengingat aku? Apakah di sela-sela kesibukanmu, namaku masih bergema di sudut kecil benakmu? Aku tahu, dunia ini luas, dan jalan yang kita tempuh tak lagi bersinggungan seperti dulu. Tapi ada saat-saat di mana aku melihat pantulan dirimu dalam hal-hal kecil—sebuah lagu yang dulu kita dengarkan bersama, aroma kopi Golda yang mengingatkan pada percakapan santai kita, atau bahkan sinar matahari yang menyengat tubuhku—dulu, kau suka ngomel kalo matahari itu leluasa menyentuh kulitku, hehehe. 

Kini, setelah waktu menjauhkan kita, aku tak lagi ingin bertanya tentang apa yang telah terjadi. Aku hanya berharap, di mana pun kau berada, kehidupan memperlakukanmu dengan baik. Kuulangi, dunia memperlakukanmu dengan baik. Aku berharap langkahmu ringan, harimu penuh cahaya, dan kau bahagia dengan segala yang telah kau pilih.

Dan jika suatu hari takdir mempertemukan kita kembali, meski hanya dalam pertemuan singkat di antara keramaian, aku ingin percaya bahwa kita akan saling tersenyum—tanpa sesal, tanpa penyesalan, hanya penerimaan bahwa kehidupan telah membawa kita ke tempat yang seharusnya.

Misalnya, dalam pertemuan singkat itu, ada sekelebat hening di antara kita. Bukan karena tak tahu harus berkata apa, tapi karena ada sesuatu yang mengendap di dada, sesuatu yang tak akan pernah terucapkan.

Mungkin aku akan melihatmu dengan senyum yang tak sepenuhnya lepas, lalu dalam hatiku, samar-samar sebuah tanya menggema: "Ah, andai dulu kita tidak pisah… apakah kita akan tetap berdiri di sini sebagai kita, bukan sebagai dua orang asing yang pura-pura baik-baik saja?"

Atau mungkin di antara percakapan ringan tentang pekerjaan, kota yang kita tinggali, kehidupan yang berjalan setelah perpisahan, atau bisa jadi cerita tentang seseorang yang kini menemani kita. 

Aku yakin, jika itu terjadi, pasti akan ada momen di mana mata kita bertemu lebih lama dari yang seharusnya. Sebuah tatapan yang mengisyaratkan sesuatu yang tak pernah selesai, sesuatu yang hanya bisa diutarakan dalam bisikan hati:

"Andai dulu kita lebih berjuang, apakah cerita kita akan berbeda?"

Saat pertemuan itu berakhir, kita akan berjalan pergi dengan langkah yang terasa berat, bukan karena ingin kembali, tapi karena sadar bahwa waktu tak bisa diputar, dan kemungkinan yang dulu ada, kini hanya tinggal kenangan yang berpendar.


2025

Kamis, 06 Maret 2025

INDONESIA GELAP, SEGELAP APA?

 




Indonesia gelap, dua kata yang beredar di sosial media saat ini. Ada yang menganggapnya sebagai lelucon dan angin lalu, sebagian lagi menanggapinya seolah negeri tercinta kita akan segera runtuh esok hari. Namun sebagai generasi muda, kita harus bijak dalam menyikapi hal-hal yang beredar di media sosial.  Lantas apa arti dari “Indonesia gelap” dan bagaimana kita harus menanggapinya?

#Indonesiagelap adalah tagar yang awalnya beredar dari sosial media X. Tagar tersebut digunakan untuk menyuarakan keresahan masyarakat atas permasalahan yang sedang terjadi di Indonesia, terutama yang terjadi pada masa kepemimpinan presiden republik Indonesia ke 8 ini.           

Salah satu masalah yang sering diperbincangkan oleh masyarakat adalah keputusan pemerintah untuk melakukan efisiensi anggaran pada sejumlah lembaga kementrian di Indonesia, seperti Kementrian Pendidikan Dasar dan Menengah (KEMENDIKDASMEN), masyarakat khawatir bahwa pemotongan anggaran ini akan berdampak pada masa depan generasi muda saat ini. Selain itu Lembaga Pemerintah Non Kementrian (LPNK) seperti Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) turut terkena dampak dari efisiensi anggaran ini, mengurangi akurasi dari prediksi yang diberikan menjadi 60%.

Selain itu, masyarakat juga khawatir terhadap hak kebebasan berekspresi yang sekarang semakin sulit untuk digunakan. Berbagai karya yang mengkritik pemerintahan saat ini dibungkam satu per satu, contohnya lagu “Bayar Bayar Bayar” yang dibuat oleh band sukatani ditarik dari peredaran dan band tersebut mengunggah video klarifikasi setelah mengalami tekanan dan intimidasi, bahkan salah satu anggota band tersebut mengalami pemecatan dari tempat kerjanya setelah rilisnya lagu tersebut. Karya lain yang “menghilang” setelah menyinggung pihak pemerintahan adalah salah satu lukisan karya Rokhyat yang berjudul “Tikus dalam Burung Garuda”, lukisan tersebut diturunkan dari pameran seni agar menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, seperti pameran tunggal Yos Suprapto yang dibatalkan karena ada masalah dengan karyanya yang menyinggung tokoh politik.    

Berdasarkan argumen yang saya sebutkan di atas, seluruh permasalahan yang terjadi saat ini diakibatkan oleh keputusan pemerintah yang kurang memuaskan bagi masyarakat, kepemimpinan yang anti kritik, serta korupsi dan nepotisme yang masih terjadi dalam pemerintahan. Kita sebagai generasi muda tidak boleh menutup mata atas kesulitan yang dialami negara kita, kita harus mempertahankan nilai moral dan pancasila, agar tidak habis digerogoti tikus yang bersembunyi di dalam pemerintahan. Tugas kita adalah belajar dengan giat untuk menjaga masa depan negeri ini, karena para pemuda adalah cerminan masa depan bangsa.

Sabtu, 25 Januari 2025

PENDIDIKAN DIKEBIRI: ORANG TUA ADIDAYA, GURU DAN SEKOLAH APA DAYA?

 


Jika boleh saya menyebut bahwa pendidikan adalah proses memperkaya pengetahuan dan pengalaman, mengasah keterampilan dan menanamkan sikap/karakter kepada seseorang. Secara sederhana kita artikan bahwa pendidikan merupakan proses transformasi dari satu generasi kepada generasi lain, Minhaji (2018).

Kita semua tentu tahu, bahwa pendidikan merupakan fondasi utama dalam membangun peradaban. Namun, dalam praktiknya sistem pendidikan kita sering kali menghadapi masalah dan tantangan yang cukup kompleks. Ada begitu banyak isu yang tidak sederhana sering terjadi dan memicu adanya konflik antar berbagai pihak, salah satunya pergeseran peran antar orang tua, guru dan sekolah. Dimana peran guru dan sekolah tidak lagi memiliki marwah sebagai ekosistem utuh yang seharusnya dapat memfasilitasi semua kebutuhan dalam pendidikan. Sedangkan orang tua, secara langsung sering kali mendominasi peran dan tanggungjawab yang seharusnya dikerjakan oleh guru dan sekolah. Hal ini justru menyebabkan terjadinya ketimpangan dalam pelaksanaan pendidikan itu sendiri. Dengan berat hati saya harus mengatakan bahwa pendidikan kita telah dikebiri oleh orang tua yang adidaya, sementara guru dan sekolah apa daya?

Orang Tua, Antara Peran Pendukung dan Adidaya

Sebenarnya, peran orang tua terhadap pendidikan anak sangatlah penting. Mulai dari menyiapkan rencana jangka panjang baik dari keuangan, sampai pada outcome pekerjaan yang diharapkan. Hal ini tentu akan terlihat pada bagaimana keseriusan orang tua mengurusi persiapan pendidikan untuk anak-anak mereka. Memilih sekolah terbaik dan terjangkau versi mereka, sampai pada menyediakan fasilitas sekolah seperti buku dan pakaian—sebatas itu. Mungkin sesekali orang tua boleh mengontrol pertumbuhan anaknya di sekolah. Membangun komunikasi dan kolaborasi dengan pihak sekolah untuk memastikan anaknya mendapatkan pendidikan yang semestinya, sebagaimana yang dijelaskan dalam jurnal Kholil (2021). Mirisnya, alih-alih menjalankan peran sebagaimana mestinya, membangun komunikasi dan kolaborasi positif dengan pihak sekolah, masih ada orang tua yang tampaknya mulai mengambil alih peran guru dan sekolah. Para orang tua ini biasanya sangat mendominasi bahkan mendikte bagaimana metode pengajaran yang dilakukan oleh guru, kebijakan sekolah, bahkan lebih mirisnya lagi, ada-ada saja orang tua yang “merasa adidaya” dengan relasi kuasanya, atau mungkin posisi dan jabatannya, sehingga bersikap super power untuk menekan para guru agar memberikan perlakuan khusus kepada anak-anak mereka. Hal ini adalah kedok yang mereka lakukan dengan alasan “demi kebaikan anak”.

Akibatnya, otonomi guru sebagai pendidik mulai terkikis, lalu sekolah, dengan menyesal harus saya katakan tidak lagi menjadi tempat pendidikan yang layak, melainkan menjadi tempat lahirnya generasi-generasi “adidaya” berikutnya, sehingga proses ini pada akhirnya menjadi pola yang berulang setiap waktu dan setiap generasinya. Para orang tua adidaya ini mulai mengabaikan fungsi komunikasi dan kolaborasi yang seharusnya memberikan dukungan, selagi masih dalam batas wajar dan sesuai aturan yang berlaku, maka percayakan pendidikan anaknya kepada guru dan sekolah tempat mereka menempuh pendidikan. Ketidakseimbangan ini jika dibiarkan terus terjadi, hanya akan memengaruhi kualitas pengajaran di sekolah, termasuk dapat menciptakan atmosfer yang tidak kondusif di lingkungan sekolah itu sendiri.

Guru dan Sekolah, Apa Daya?

Akibat adanya orang tua yang adidaya ini, membuat guru dan sekolah berada dalam posisi yang serba salah. Guru sebagai pendidik mulai kehilangan otoritasnya sebagai tenaga professional yang dipercayakan untuk menjalankan aktivitas pendidikan yang ideal bagi generasi. Mereka diharapkan menjadi tauladan dalam pendidikan, harus kreatif dan inovatif—namun di saat yang sama, mereka dibatasi oleh intervensi orang tua dan administrasi yang masih terbilang kaku.

Bukan hanya guru, bahkan sekolah yang menjadi institusi pendidikan formal juga menghadapi dilema yang terbilang besar. Bagaimana tidak, ketika kebijakan sekolah dianggap bertentangan dengan kehendak orang tua yang selalu berdalih “demi kebaikan anak”, sekolah kerap kali dipaksa untuk mengalah. Apalagi, di tengah keterbukaan informasi saat ini, dan adanya kekuatan media sosial, tak’ jarang sekolah justru menjadi objek kritik publik—dimana hal ini berdampak pada reputasi sekolah itu sendiri. Jika sudah begini, guru dan sekolah apa daya? Selain mendidik dengan apa adanya dan sewajarnya saja. Tidak peduli apa yang terjadi pada peserta didiknya, yang penting sudah melaksanakan kewajiban mengajar, menjalankan perintah kurikulum—maka selesai pula urusan dengan anak-anak dari orang tua yang adidaya ini. Akibatnya, orang tua yang kooperatif juga harus menanggung dan merasakan dampaknya.

Dampaknya!

Mari kita diskusikan, apa yang akan terjadi jika pendidikan “dikebiri” oleh dominasi orang tua semacam ini? Tentu dampaknya tidak hanya dirasakan oleh guru dan sekolah saja, anak-anak akan menjadi bingung akan otoritas yang mereka ikuti. Di satu sisi, mereka diajarkan untuk menghormati guru; di sisi lain, mereka justru menyaksikan bagaimana orang tua mereka merednahkan guru bahkan menyepelekan kebijakan atau regulasi yang berlaku di sekolah.

Jika kita telisik lebih jauh lagi, sistem pendidikan yang telah terdistorsi seperti ini akan melahirkan generasi yang kurang mandiri dan tidak siap menghadapi tantangan di dunia nyata. Hal ini disebabkan adanya ketergantungan pada perlindungan dan intervensi dari orang tua yang sebenarnya dapat menghambat perkembangan karakter anak, dalam hal ini tanggungjawab, kedisiplinan, etika, termasuk kemampuan dalam berpikir kritis.

Komunikasi yang sehat dan Kolaborasi yang Positif Menuju Pendidikan yang Seimbang

Lalu, apakah fenomena ini tak’ dapat diatasi? Solusinya cukup sederhana namun membutuhkan usaha yang serius pula. Perlu adanya sinergi yang lebih baik antara orang tua, guru, dan sekolah. Masing-masing pihak ini harus memahami dan menjalankan perannya dengan baik dan berkomitmen untuk bekerja sama demi kepentingan anak/generasi penerus. Guru perlu didukung dengan pelatihan dan kebijakan yang dapat memperkuat posisi serta potensi mereka di dalam mendidik. Orang tua, memiliki peran sebagai mitra sekolah yang mendukung pertumbuhan anak-anak mereka di sekolah, bukan pemegang kendali tunggal yang memaksakan kehendak pribadinya saja. Sekolah harus lebih terbuka dalam penyelarasan visi dan misi, kebijakan atau regulasi pendidikan dengan semua pihak, termasuk para orang tua.

Kita semua perlu menyadari ini, dimana pendidikan bukanlah arena kekuasaan yang didominasi oleh satu pihak saja. Pendidikan adalah ekosistem yang saling membutuhkan, memberikan keseimbangan dan kolaborasi positif. Jika semua pihak ini dapat menjalankan perannya dengan baik, maka pendidikan yang utuh dan berkualitas dapat tercipta sebagai realitas yang dapat diwujudkan untuk kemajuan generasinya.


Referensi:

  • Kholil, A. (2021). Kolaborasi Peran serta Orang Tua dan Guru dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Secara Daring. Jurnal Pendidikan Guru, 2 (1)
  • Minhaji, A. M. (2018). Otonomi dan Reformasi Pendidikan. Edupedia, 3 (1)




Total Tayangan Halaman

Kategori

Recent Posts

Teknologi Canggih, Skill Harus Level Up: Gen Z Siap?

Zaman sekarang, siapa yang gak tau teknologi Artificial Intelligence (AI)? Semuanya bisa dikerjakan sama teknologi ini, bahkan dalam beberap...

Quotes

"Sebelum berpikir untuk mengubah dunia, terlebih dulu ubahlah pikiranmu" Arsa Danialsa_

Quotes

"Tidak ada yang namanya kegagalan, yang ada hanyalah feedback" Arsa Danialsa_

Butuh Bantuan?

Nama

Email *

Pesan *