Jika boleh saya menyebut bahwa
pendidikan adalah proses memperkaya pengetahuan dan pengalaman, mengasah
keterampilan dan menanamkan sikap/karakter kepada seseorang. Secara sederhana kita artikan bahwa pendidikan merupakan proses
transformasi dari satu generasi kepada generasi lain, Minhaji (2018).
Kita semua tentu tahu, bahwa
pendidikan merupakan fondasi utama dalam membangun peradaban. Namun, dalam
praktiknya sistem pendidikan kita sering kali menghadapi masalah dan tantangan
yang cukup kompleks. Ada begitu banyak isu yang tidak sederhana sering terjadi
dan memicu adanya konflik antar berbagai pihak, salah satunya pergeseran peran
antar orang tua, guru dan sekolah. Dimana peran guru dan sekolah tidak lagi
memiliki marwah sebagai ekosistem utuh yang seharusnya dapat memfasilitasi
semua kebutuhan dalam pendidikan. Sedangkan orang tua, secara langsung sering
kali mendominasi peran dan tanggungjawab yang seharusnya dikerjakan oleh guru
dan sekolah. Hal ini justru menyebabkan terjadinya ketimpangan dalam
pelaksanaan pendidikan itu sendiri. Dengan berat hati saya harus mengatakan
bahwa pendidikan kita telah dikebiri oleh orang tua yang adidaya, sementara
guru dan sekolah apa daya?
Orang Tua, Antara Peran Pendukung
dan Adidaya
Sebenarnya, peran orang tua
terhadap pendidikan anak sangatlah penting. Mulai dari menyiapkan rencana
jangka panjang baik dari keuangan, sampai pada outcome pekerjaan yang
diharapkan. Hal ini tentu akan terlihat pada bagaimana keseriusan orang tua
mengurusi persiapan pendidikan untuk anak-anak mereka. Memilih sekolah terbaik
dan terjangkau versi mereka, sampai pada menyediakan fasilitas sekolah seperti
buku dan pakaian—sebatas itu. Mungkin sesekali orang tua boleh mengontrol
pertumbuhan anaknya di sekolah. Membangun komunikasi dan kolaborasi dengan
pihak sekolah untuk memastikan anaknya mendapatkan pendidikan yang semestinya,
sebagaimana yang dijelaskan dalam jurnal Kholil (2021). Mirisnya, alih-alih
menjalankan peran sebagaimana mestinya, membangun komunikasi dan kolaborasi
positif dengan pihak sekolah, masih ada orang tua yang tampaknya mulai
mengambil alih peran guru dan sekolah. Para orang tua ini biasanya sangat
mendominasi bahkan mendikte bagaimana metode pengajaran yang dilakukan oleh
guru, kebijakan sekolah, bahkan lebih mirisnya lagi, ada-ada saja orang tua yang
“merasa adidaya” dengan relasi kuasanya, atau mungkin posisi dan jabatannya,
sehingga bersikap super power untuk menekan para guru agar memberikan
perlakuan khusus kepada anak-anak mereka. Hal ini adalah kedok yang mereka
lakukan dengan alasan “demi kebaikan anak”.
Akibatnya, otonomi guru sebagai
pendidik mulai terkikis, lalu sekolah, dengan menyesal harus saya katakan tidak
lagi menjadi tempat pendidikan yang layak, melainkan menjadi tempat lahirnya
generasi-generasi “adidaya” berikutnya, sehingga proses ini pada akhirnya
menjadi pola yang berulang setiap waktu dan setiap generasinya. Para orang tua
adidaya ini mulai mengabaikan fungsi komunikasi dan kolaborasi yang seharusnya
memberikan dukungan, selagi masih dalam batas wajar dan sesuai aturan yang
berlaku, maka percayakan pendidikan anaknya kepada guru dan sekolah tempat
mereka menempuh pendidikan. Ketidakseimbangan ini jika dibiarkan terus terjadi,
hanya akan memengaruhi kualitas pengajaran di sekolah, termasuk dapat
menciptakan atmosfer yang tidak kondusif di lingkungan sekolah itu sendiri.
Guru dan Sekolah, Apa Daya?
Akibat adanya orang tua yang
adidaya ini, membuat guru dan sekolah berada dalam posisi yang serba salah. Guru
sebagai pendidik mulai kehilangan otoritasnya sebagai tenaga professional yang
dipercayakan untuk menjalankan aktivitas pendidikan yang ideal bagi generasi. Mereka
diharapkan menjadi tauladan dalam pendidikan, harus kreatif dan inovatif—namun di
saat yang sama, mereka dibatasi oleh intervensi orang tua dan administrasi yang
masih terbilang kaku.
Bukan hanya guru, bahkan sekolah
yang menjadi institusi pendidikan formal juga menghadapi dilema yang terbilang
besar. Bagaimana tidak, ketika kebijakan sekolah dianggap bertentangan dengan
kehendak orang tua yang selalu berdalih “demi kebaikan anak”, sekolah kerap
kali dipaksa untuk mengalah. Apalagi, di tengah keterbukaan informasi saat ini,
dan adanya kekuatan media sosial, tak’ jarang sekolah justru menjadi objek
kritik publik—dimana hal ini berdampak pada reputasi sekolah itu sendiri. Jika sudah
begini, guru dan sekolah apa daya? Selain mendidik dengan apa adanya dan
sewajarnya saja. Tidak peduli apa yang terjadi pada peserta didiknya, yang
penting sudah melaksanakan kewajiban mengajar, menjalankan perintah kurikulum—maka
selesai pula urusan dengan anak-anak dari orang tua yang adidaya ini. Akibatnya,
orang tua yang kooperatif juga harus menanggung dan merasakan dampaknya.
Dampaknya!
Mari kita diskusikan, apa yang
akan terjadi jika pendidikan “dikebiri” oleh dominasi orang tua semacam ini? Tentu
dampaknya tidak hanya dirasakan oleh guru dan sekolah saja, anak-anak akan
menjadi bingung akan otoritas yang mereka ikuti. Di satu sisi, mereka diajarkan
untuk menghormati guru; di sisi lain, mereka justru menyaksikan bagaimana orang
tua mereka merednahkan guru bahkan menyepelekan kebijakan atau regulasi yang
berlaku di sekolah.
Jika kita telisik lebih jauh
lagi, sistem pendidikan yang telah terdistorsi seperti ini akan melahirkan
generasi yang kurang mandiri dan tidak siap menghadapi tantangan di dunia
nyata. Hal ini disebabkan adanya ketergantungan pada perlindungan dan
intervensi dari orang tua yang sebenarnya dapat menghambat perkembangan
karakter anak, dalam hal ini tanggungjawab, kedisiplinan, etika, termasuk
kemampuan dalam berpikir kritis.
Komunikasi yang sehat dan
Kolaborasi yang Positif Menuju Pendidikan yang Seimbang
Lalu, apakah fenomena ini tak’
dapat diatasi? Solusinya cukup sederhana namun membutuhkan usaha yang serius
pula. Perlu adanya sinergi yang lebih baik antara orang tua, guru, dan sekolah.
Masing-masing pihak ini harus memahami dan menjalankan perannya dengan baik dan
berkomitmen untuk bekerja sama demi kepentingan anak/generasi penerus. Guru perlu
didukung dengan pelatihan dan kebijakan yang dapat memperkuat posisi serta
potensi mereka di dalam mendidik. Orang tua, memiliki peran sebagai mitra
sekolah yang mendukung pertumbuhan anak-anak mereka di sekolah, bukan pemegang
kendali tunggal yang memaksakan kehendak pribadinya saja. Sekolah harus lebih
terbuka dalam penyelarasan visi dan misi, kebijakan atau regulasi pendidikan
dengan semua pihak, termasuk para orang tua.
Kita semua perlu menyadari ini,
dimana pendidikan bukanlah arena kekuasaan yang didominasi oleh satu pihak
saja. Pendidikan adalah ekosistem yang saling membutuhkan, memberikan
keseimbangan dan kolaborasi positif. Jika semua pihak ini dapat menjalankan
perannya dengan baik, maka pendidikan yang utuh dan berkualitas dapat tercipta
sebagai realitas yang dapat diwujudkan untuk kemajuan generasinya.
Referensi:
- Kholil, A. (2021). Kolaborasi Peran serta Orang Tua dan Guru dalam
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
Secara Daring. Jurnal Pendidikan Guru, 2 (1)
- Minhaji, A. M. (2018). Otonomi dan Reformasi Pendidikan. Edupedia,
3 (1)