• Ingin Cerita Anda Menginspirasi Dunia | Coming Soon

    Di Zona Insight, kami percaya bahwa setiap individu dan kelompok memiliki cerita yang layak didengar. Kami hadir untuk membantu Anda mempublikasikan ide, pengalaman, atau prestasi agar menjangkau lebih banyak audiens.

  • Ayo Jadi Penulis di Zona Insight | Klik di sini untuk Daftar

    Manfaatkan kesempatan selama 3 bulan bersama Zona Insight untuk memberi dampak dan inspirasi lewat tulisan. Kamu juga akan dibekali pengetahuan dan keterampilan menulis oleh mentor Zona Insight, serta mendapatkan sertifikat penghargaan sebagai penulis inspiratif.

Kamis, 31 Juli 2025

Saat Kau Hampir Menyambutku

 



Ia mengenalnya dari cerita-cerita kecil yang dilontarkan temannya, sepotong-sepotong, seperti mozaik yang ia susun dalam benaknya: lelaki yang pendiam, katanya, tapi setia mendengarkan. Ia yang tak pernah menonjol dalam keramaian, tapi senyumnya mampu membungkam gaduh di dada.

Namanya Dira. Ia tak tahu persis kapan mulai tertarik. Mungkin saat melihat foto lelaki itu sedang menyiram tanaman, dengan mata yang tak menatap kamera tapi memandang hidup dengan cara yang tenang. Atau mungkin saat ia tahu bahwa lelaki itu suka menulis catatan kecil di punggung buku-bukunya. Dira mulai memperhatikan detail-detail kecil, seperti jenis tanaman yang ia rawat, atau judul buku yang tak sengaja tertangkap kamera. Semua itu membuatnya merasa seolah ia sedang membaca seseorang, bukan sekadar melihat.

Perlahan, ia mulai mencari celah untuk mengenal lelaki itu lebih dekat. Bertanya lewat teman yang memperkenalkan, menelusuri akun media sosialnya, memperhatikan cerita-cerita yang ia bagi: lagu yang ia dengarkan, kutipan yang ia unggah, dan cara ia menuliskan kegelisahan tanpa benar-benar mengeluh. Ia menyusun potongan-potongan itu menjadi citra tentang seseorang yang tak sempurna, tapi nyata—dan justru karena itulah, memikat. Setiap informasi kecil menjadi seperti benih harapan, yang ia sirami diam-diam dengan rasa dan kemungkinan.

Berulang kali Dira menatap layar ponselnya, menunggu notifikasi yang tak kunjung muncul dari Satya—nama lelaki itu. Ada dorongan besar dalam dirinya untuk sekadar menyapa lebih dulu, tapi gengsi menahannya seperti tembok yang tinggi dan dingin. Ia terlalu ingin segera saling terhubung, terlalu ingin rasa ini berbalas, tapi juga terlalu takut terlihat lebih dulu menginginkan.

Beberapa kali ia mengetik pesan pendek, “Hai, kamu suka buku itu juga ya?” atau “Lagunya enak, aku juga sering dengar”—lalu menghapusnya sebelum sempat dikirim. Ia ingin terlihat tenang, padahal hatinya gaduh. Ingin tampak santai, padahal dalam diam, ia berdoa agar laki-laki itu mengerti sinyal-sinyal yang ia kirimkan dengan sangat halus. Ia merasa lucu pada dirinya sendiri—bagaimana seseorang bisa begitu takut untuk memulai, padahal hanya satu kalimat yang dibutuhkan. Tapi bagi Dira, satu sapaan terasa seperti pertaruhan atas seluruh harga diri. Ia takut penolakan tak datang dalam bentuk kata, melainkan dalam sunyi yang menggantung terlalu lama.

Dira yakin, bahwa mereka akan cocok. Ia menyukai ketenangan lelaki itu, dan percaya lelaki itu membutuhkan keberanian yang ia miliki. Di benaknya, mereka seperti dua sisi yang diciptakan untuk menyatu—satu mengisi kekosongan yang lain. Ia membayangkan duduk berdampingan dengannya, tanpa perlu banyak kata, cukup saling tahu bahwa keberadaan masing-masing sudah cukup. Namun, waktu terus berjalan, dan selama enam bulan itu, mereka hanya bertahan sebagai dua nama yang saling pandang di layar. Tak ada percakapan. Tak ada sapaan.

Pernah, Dira mencoba semua makanan dan minuman yang ia lihat dari story Satya. Entah itu kopi hitam tanpa gula, mie ayam pedas level tinggi, atau donat klasik dari toko kecil di pojokan kota—semuanya ia cicipi satu per satu. Ia berpikir, siapa tahu suatu saat mereka akan duduk bersama, menikmati hal-hal kecil itu berdua, dan ia tak akan terlihat canggung atau terkejut dengan rasanya. Ia ingin segala sesuatu tentang Satya terasa akrab, seolah mereka sudah sering berbagi hari-hari, meski hanya Dira yang benar-benar menjalaninya. Ia mencatat rasa dan kesan dari setiap kunjungan, seakan sedang menulis panduan diam-diam untuk mendekati dunia lelaki itu. Bahkan ia memotret makanannya, tapi tak pernah diunggah ke media sosialnya, karena takut terlihat terlalu jelas sedang menyusuri jejak orang lain.

Awalnya hanya seperti kebetulan kecil yang berulang, tapi lama-lama terasa seperti pola yang tak bisa diabaikan—dan di sanalah Satya mulai notice pada Dira. Satya menyadari sesuatu yang pelan tapi pasti muncul dari Dira. Cara Dira menyukai unggahan-unggahannya tepat setelah ia mengunggahnya. Cara Dira mulai sering muncul di tempat-tempat yang sama, entah di acara komunitas, pameran kecil, atau kafe yang biasa ia kunjungi. Ia juga beberapa kali me-repost kutipan dari unggahan Satya, tanpa menyebut namanya, tapi cukup untuk membuat Satya bertanya-tanya. Dan tentu saja, teman-temannya yang mulai menggoda dengan kalimat-kalimat ringan: "Sepertinya Dira suka kamu, Sat." Mereka bukan teman Satya saja, tapi juga kenal dekat dengan Dira. Mereka adalah orang-orang yang sama-sama mengenal keduanya dan mulai membaca dinamika yang tak diucapkan. “Dia tuh selalu nanya kabar kamu kalau lagi ngobrol,” ujar salah satu dari mereka sambil tersenyum penuh arti. “Satya, buka matamu dikit lah.”

Satya mulai bertanya dalam diam, “Apa yang ia sukai dariku? Aku bukan siapa-siapa. Ia bisa bersama pria yang jauh lebih tampan, lebih jenaka, lebih… sederajat.” Ia menggenggam perasaan itu seperti menggenggam air, ragu-ragu dan takut tumpah.

Ada malam-malam di mana Satya memandangi layar ponselnya lebih lama dari biasanya, membaca ulang komentar atau story Dira yang tampak biasa, tapi baginya menyimpan isyarat. Ia mulai mengingat momen-momen kecil—tatapan singkat, senyum yang tertahan, atau cara Dira mendekat tanpa benar-benar mendeklarasikan apa pun. Semua itu mengendap pelan, menumbuhkan keyakinan bahwa mungkin memang ada sesuatu di antara mereka.

Namun, di balik semua tanda itu, Satya tetap dihantui keraguan. Ia takut hanya membangun harapan dari kebetulan yang dibacanya terlalu jauh. Ia tidak ingin geer—berpikir disukai, padahal mungkin Dira hanya bersikap ramah seperti biasa. Lagipula, ia sering merasa dirinya bukan tipe yang mudah disukai. Ia bukan yang paling menarik di ruangan, bukan pula yang paling percaya diri untuk memulai lebih dulu. Ada bagian dalam dirinya yang selalu merasa kurang, seolah-olah perasaan orang lain tak mungkin benar-benar memilih dirinya.

Tapi suatu malam, saat Dira membagikan lagu lama yang sama persis dengan yang baru saja ia unggah dua jam sebelumnya, lengkap dengan kutipan lirik yang seolah menjawab isi kepalanya, Satya terdiam cukup lama. Rasanya seperti konfirmasi yang tak diucapkan, tapi terasa begitu jelas. Ia kembali membuka riwayat ‘interaksi’ mereka, menelusuri ulang semua isyarat kecil. Mereka memang tak pernah berbicara langsung, tapi rasanya seperti sudah lama saling menyapa lewat kode-kode yang hanya mereka pahami. Dan saat ia menyatukan semuanya, perlahan benang merah itu tampak jelas—bahwa Dira memang tidak hanya hadir, tapi menunggu.

Saat itulah, ia mulai benar-benar yakin. Ia mulai menepis keraguan yang selama ini membelenggunya. Mungkin, pikirnya, rasa tidak percaya diri itu hanyalah bayang-bayang yang diciptakan oleh ketakutan kehilangan sesuatu yang belum sempat dimiliki. Hingga bulan ketujuh datang dan Satya mulai membuka dirinya. Ia membalas cerita-cerita yang dibagikan Dira di Instagram Story, menanggapi dengan singkat, lalu lebih panjang. Ia menyukai foto diri yang diunggah Dira. Baru kali itu Satya benar-benar memperhatikan senyumnya, dan ia tersadar, ada kehangatan tenang dalam senyum itu, sesuatu yang manis tanpa dibuat-buat, seolah mampu meredakan hal-hal yang tak terucap. Ia mulai memikirkan: "Mungkin ini yang disebut cinta yang tumbuh pelan-pelan." Ia ingin mengatakannya, segera.

Namun, yang tak ia tahu, cinta yang pelan juga bisa kalah oleh waktu.

***

Tepat ketika ia bersiap menyusun kata, mengalahkan rasa minder dan akhirnya hendak mengajaknya bertemu, kabar itu sampai di telinganya lewat teman yang dulu mengenalkan mereka: “Sat, kenal Dira ‘kan? Dia akan menikah bulan depan. Dipinang temannya sendiri. Sudah dekat lama, katanya. Heboh di sosmed. Si cowoknya keliatan kecintaan banget.”

Satya duduk diam, “Oh gitu?” jawabnya singkat.

Dunia dalam dirinya bergetar, tapi tak ada gempa yang terlihat dari luar. Ia hanya tertawa kecil, lalu menunduk. Ada sesuatu dalam dadanya yang remuk perlahan, tapi tidak ia biarkan terdengar. Ia membiarkan senyumnya tetap tinggal di wajah, seolah kabar itu bukan apa-apa. Padahal di dalam, ia sedang mengubur kata-kata yang tak sempat lahir menjadi nyata.

Di sudut gelap malam, ia menulis di buku catatannya:

“Mungkin aku adalah rumah yang ia tunggui terlalu lama, sampai akhirnya ia memutuskan membangun rumah lain.”

Dan begitulah cinta itu selesai. Bukan karena tak ada rasa. Tapi karena rasa itu datang saat pintu telah terkunci dari dalam. Ia baru mengerti: risiko terbesar dalam menunggu bukan hanya tidak didengar—melainkan kehilangan sebelum sempat menyapa.

Selasa, 10 Juni 2025

Tahukah kamu? Di Gorontalo ada museum keren yang penuh dengan sejarah luar biasa!

 




Yup, namanya Museum Purbakala Popa Eyato! Museum ini bukan sembarang museum, lho. Namanya diambil dari dua tokoh raja berpengaruh yang pernah memimpin kerajaan di Gorontalo. Makanya, suasananya kental banget dengan nuansa kerajaan.

Museum ini resmi dibuka pada Januari 2015, sesuai dengan Peraturan Gubernur Gorontalo No. 59 Tahun 2014. Tapi sebenarnya, proses pembangunannya sudah dimulai sejak tahun 2010. Keren banget, kan?

Museum Purbakala Popa Eyato menjadi tempat berkumpulnya benda-benda bersejarah yang super menarik. Koleksinya berkaitan erat dengan budaya Gorontalo, mulai dari etnografi, numismatika (koin-koin tempo dulu), filologi (naskah-naskah kuno), hingga seni rupa yang kece abis.

Buat kamu yang penasaran dengan sejarah dan budaya Gorontalo, inilah tempat yang wajib dikunjungi! Di museum ini, kamu bisa menemukan cerita tentang perkembangan budaya di Provinsi Gorontalo dari masa lampau hingga sekarang.

Yang paling mengagumkan, di dalam museum ini terdapat dua bendera Merah Putih bersejarah! Satu dikibarkan di Gelanggang tahun 1942, dan satu lagi di Taruna Remaja tahun 1945. Keduanya menjadi saksi perjuangan rakyat Gorontalo demi kemerdekaan Indonesia.

Tidak hanya itu, ada juga kerangka manusia Oluhuta yang diperkirakan berusia 650 tahun! Wow, tua banget! Sistem penguburannya juga unik—langsung ditanam di tanah dalam posisi menghadap ke gunung. Itulah tradisi pemakaman zaman dulu di wilayah Oluhuta.

Museum ini bukan cuma tempat pajangan. Pemerintah Gorontalo juga aktif mengajak sekolah-sekolah untuk datang dan belajar langsung di sana. Jadi, pelajaran sejarah tidak hanya dari buku, tetapi bisa langsung melihat benda-benda purbakala yang penuh cerita.

Jumat, 30 Mei 2025

Bro, Jangan Keren di Dunia Maya tapi Miskin di Dunia Nyata. Stop Judi Online!

 



 

Sekarang ini, siapa sih yang gak punya HP? Semua orang pegang smartphoneTapi, makin canggih HP, makin banyak juga godaan. Salah satunya yaitu judi onlineDari yang awalnya cuma iseng-iseng pasang receh, lama kelamaan bisa jadi kebiasaan buruk yang merusak segalanya. Awalnya seru, Lama-lama bikin sengsara.

Kebanyakan orang yang terjerumus ke judi online itu awalnya cuma coba-coba. “Ah, iseng aja, siapa tahu dapet duit.” Tapi nyatanya? Bukan untung yang di dapat, malah buntung. Duit habis, waktu kebuang, kepala pusing, hubungan sama keluarga dan teman pun bisa renggang.

Judi online bukan jalan cepat untuk menjadi kaya. Jangan gampang percaya sama iklan yang bilang “main game bisa dapet duit jutaan!” Itu cuma pancingan. Yang kaya itu ya bandarnya, bukan pemainnya!  Sistemnya udah diatur biar kamu kalah terus. Kalau pun menang, itu cuma sesekali, biar kamu ketagihan dan balik lagi. Yang jadi korban gak cuma diri sendiri. Kalian pikir cuma kalian yang akan kena dampak? Salah besar. Keluarga juga bisa ikut susah karena kalian jadi sering minjam duit, bohongin orang tua, bahkan nyolong demi top up saldo, demi judi. Masa depan kalian bisa hancur hanya gara-gara satu aplikasi haram.

Daripada buat judi, mending duit kalian dipakai buat hal yang bener. Misalnya Nabung, bantu orang tua, beli buku, ikut kursus, ataupun investasi kecil-kecilan. Banyak kok hal-hal seru dan bermanfaat yang bisa kalian lakuin tanpa harus ambil risiko segila judi.

Kalo hanya karena bosan atau stres, jangan larinya ke judi. Coba cari hiburan lain yang sehat seperti main game offline, olahraga, nonton film, nongkrong bareng temen, atau bahkan curhat. Banyak cara buat ngilangin stres tanpa harus bikin hidup makin ribet. Intinya jangan sampai hidupmu dikuasai judi. Judi online itu sebuah jebakan. Sekali masuk, susah keluar. Jangan buang masa depanmu buat sesuatu yang gak ada ujungnya. Kalau kamu udah mulai menggunakan, berhenti sekarang juga. Kalau belum pernah coba, jangan pernah memulainya

Stop judi online, mulai hidup sehat dan bermanfaat. Kamu lebih berharga dari itu loh! Jangan sampai menyesal belakangan. Percaya deh, gak sedikit orang yang udah nyesel karena pernah main judi online. Duit tabungan habis, barang-barang dijualin, bahkan ada yang sampai ngutang sana-sini. Ujung-ujungnya stres, depresi, dan gak tahu harus mulai dari mana buat benerin hidupnya.

Kalau kalian masih di tahap awal dan ngerasa “masih bisa dikontrol,” mending kalian berhenti dari sekarang. Jangan tunggu sampai kalian gak bisa lepas. Karena makin lama kalian main, maka makin susah juga buat keluar. Cari support kalau udah terlanjur kecanduan. Kalau kalian udah ngerasa kecanduan judi online, jangan malu buat cari bantuan. Cerita ke orang terdekat, ke keluarga, atau cari komunitas yang bisa bantu kalian lepas. Yang penting kalian sadar dan mau berubah. Semua orang punya kesempatan kedua, asal niat dan mau usaha.

Yuk, jadi generasi yang insaf dan gak gampang ketipu!!


Penulis: Ririn Masaguni

 

 

 

Senin, 19 Mei 2025

Hidup itu nggak adil, dan mungkin emang begitu adanya


 

Kalian pernah merasa gak sih kadang dunia terasa kayak game yang curang. Ada orang yang dari kecil udah hidup enak kayak sekolah mahal, lingkungan nyaman, koneksi orang tua di mana-mana. Eh tapi, di satu sisi ada juga yang lahir dalam situasi serba terbatas, dan harus jungkir balik cuma buat bertahan hidup. Banyak yang bilang, “ya wajar, hidup memang nggak adil”. Tapi tetap aja, kalimat itu sering terasa lebih mirip pembenaran daripada penghiburan.

Tapi ya kalau dipikir-pikir, mungkin kalimat itu bukan sekadar omongan pasrah. Mungkin emang begitu adanya. Hidup memang nggak dirancang buat adil, dan itu bukan karena ada yang salah. Justru mungkin, ketidakadilan adalah bagian dari “aturan main” dunia ini.

Dalam filsafat eksistensialisme, ada pemahaman menarik soal ini. Seorang filsuf bernama Martin Heidegger pernah bilang bahwa manusia itu satu-satunya makhluk yang sadar kalau dia bakal mati. Nah berakar dari kesadaran itu bikin manusia bisa mikir soal makna hidup, dan juga soal absurditas dunia kayak kenapa kebaikan nggak selalu dibalas baik, atau kenapa orang baik justru sering kalah di dunia yang keras. Heidegger percaya bahwa justru dengan menyadari kenyataan pahit ini, manusia bisa mulai hidup dengan lebih jujur. Bukan karena dunia tiba-tiba jadi lebih ramah, tapi karena kita berhenti berharap semuanya harus selalu masuk akal.

Namun beda lagi dengan Jean-Paul Sartre, yang juga tokoh eksistensialisme. Dia percaya bahwa manusia itu bebas. Bebas banget malah. Tapi kebebasan itu datang dengan satu tanggung jawab besar yaitu setiap orang harus menentukan sendiri artinya hidup, bahkan di dunia yang kacau. Jadi waktu dunia terasa nggak adil, ya itu bukan hal baru. Dunia emang nggak punya peta moral yang pasti. Tapi justru karena itu, setiap manusia harus berani bikin petanya sendiri. Bahkan ketika hidup rasanya timpang, keputusan buat terus melangkah atau berhenti tetap ada di tangan masing-masing.

Kutipan yang paling ngena mungkin datang dari Albert Camus, filsuf lain yang ngulik hidup dari sisi yang absurd. Dia cerita soal tokoh mitologi Yunani bernama Sisyphus, yang dihukum dewa buat dorong batu ke atas bukit, tapi tiap kali udah sampai puncak, batunya selalu jatuh lagi ke bawah. Gitu terus, selamanya. Tapi Camus nggak lihat itu sebagai tragedi. Justru dia bilang bahwa kita harus membayangkan Sisyphus bahagia. Karena di tengah semua absurditas itu, dia tetap memilih untuk dorong batu itu lagi, dan lagi, dan lagi.

Hidup nggak selalu soal hasil. Nggak selalu soal menang. Kadang, makna justru muncul dari pilihan buat tetap jalan, bahkan waktu semuanya terasa nggak masuk akal. Dan mungkin, di situlah letak kekuatan manusia bukan karena hidupnya selalu adil, tapi karena tetap bisa berdiri di tengah ketidakadilan itu tanpa kehilangan dirinya sendiri.

Jadi ya… hidup emang nggak adil. Tapi mungkin memang itu bagian dari paket yang namanya hidup. Kita nggak harus setuju sama dunia, tapi bisa belajar buat tetap waras dan jalan terus, meski dunia nggak selalu ramah.

Dan di antara semua hal itu, mungkin yang paling sulit tapi juga paling menenangkan adalah belajar untuk bersyukur. Bukan dalam arti pasrah atau memaksa diri untuk bahagia, tapi lebih kepada menyadari bahwa di balik semua kekurangan dan luka, masih ada hal-hal kecil yang layak untuk dihargai.

Rasa syukur itu nggak selalu datang dalam bentuk besar seperti keberhasilan atau kemenangan. Kadang, dia tersembunyi dalam momen sederhana dalam napas yang masih bisa kita hirup, dalam teman yang mau mendengarkan tanpa menghakimi, atau dalam pagi yang tenang setelah malam yang berat. Hal-hal yang kelihatannya sepele, tapi justru sering kali jadi penopang saat semuanya terasa goyah.

Syukur bukan soal membandingkan hidup kita dengan hidup orang lain, tapi soal mengakui bahwa meski tidak sempurna, hidup kita tetap punya nilai. Ia membantu kita melihat bahwa bahkan di tengah ketimpangan dan ketidakadilan, masih ada ruang untuk merasa cukup dan dari perasaan cukup itu, lahirlah kekuatan untuk terus melangkah.

Jadi ya, hidup memang nggak adil. Tapi bukan berarti semua gelap. Ada cahaya, meski kecil. Ada makna, meski tidak langsung tampak. Dan ada alasan untuk bersyukur, meski kadang harus dicari dengan susah payah. Karena pada akhirnya, bukan keadaan yang menentukan hidup kita sepenuhnya, tapi bagaimana kita memilih untuk menjalaninya.

Penulis: Listanto Bima - Mitha Indah Sari

Minggu, 11 Mei 2025

Mahasiswa atau Budak Gadget? Realita Pahitnya Generasi Digital

 



Di era sekarang, emang siapa sih orang yang bisa lepas dari gadget? Kayaknya hal yang mustahil bisa lepas dari gadget, terutama para mahasiswa yang notabene adalah kelompok yang paling akrab sama yang namanya teknologi. Mereka juga kelompok yang paling terdampak dari kehadiran gadget yang sekarang sangat canggih. Padahal awalnya gadget itu cuman sekadar alat untuk membantu kita ngerjain tugas ataupun join kelas online via Zoom. Tapi makin hari gadget justru jadi seperti hal yang mengontrol kita dan kehadirannya sulit banget untuk ditolak.

Yang jadi masalah, penggunaan gadget yang berlebihan banyak menyimpan sisi gelap yang berbahaya. Salah satu yang paling umum itu soal tidur. Penelitian dari Khairunnisa (2023) menyebutkan kalau penggunaan gadget sebelum tidur bisa bikin kualitas tidur kita jadi rusak. Pada intinya gadget ini bisa menganggu pola tidur kita jika kita gunakan secara berlebihan ketika waktu menjelang tidur.

Bukan hanya soal tidur, bahkan konsentrasi dan motivasi untuk belajar juga bisa ikut kena imbasnya lho. Berdasarkan penelitian dari Adelia (2023) nunjukin kalau sekitar 67% turunnya konsentrasi belajar siswa ya disebabkan oleh penggunaan gadget yang berlebihan ini. Coba deh bayangin, kita niatnya sebelum belajar mau buka Youtube buat nyari materi, eh ujung – ujungnya malah nyasar buat nonton video sapi main piano dan berakhir dengan tugas yang gak selesai.

Dan dampak paling buruk dari kecanduan gadget ini bikin interaksi sosial secara perlahan memudar dan menjadi hambar. Hyangsewu (2023) nemuin kalau hampir setengah mahasiswa lebih memilih ngumpul sambil mainin gadget-nya ketimbang ngobrol langsung sama temennya. Atau mungkin kita lagi nongkrong tapi tongkrongan rasanya sunyi banget karena semua pada sibuk dengan gadget masing – masing. Ironis banget gak sih? Padahal sekarang dunia itu serba terkoneksi, eh malah kita yang menjauh dari koneksi sesungguhnya yaitu koneksi antar sesama manusia.

Yang bikin ngeri, banyak dari kita yang udah kecanduan gadget tapi nggak sadar. Bangun tidur, langsung cek HP. Makan sambil scroll medsos.  Sebelum tidur, masih aja mantengin layar.  Beneran udah kebiasaan banget, ya?  Eh, tapi tunggu dulu,  kita jadi kehilangan waktu, susah fokus, dan mental juga ikutan drop, lho!

Lucunya, pas ada orang yang coba jauhin HP atau detoks digital, malah dianggap aneh. Budaya digital udah bikin standar baru: harus update, harus online terus, harus kelihatan eksis. Tapi di balik itu, banyak yang capek, ngerasa kosong, dan nggak tahu lagi mana yang nyata dan mana yang cuma pencitraan.

Gara-gara gadget juga, kita jadi lupa nikmatin hal-hal kecil di dunia nyata. Nongkrong sambil ngobrol dari hati ke hati udah jarang. Jalan-jalan bukan buat refreshing, tapi buat konten. Bahkan ngobrol langsung kalah seru sama chatting.

Pelan-pelan, kita mulai kehilangan rasa buat hadir secara utuh di kehidupan sehari-hari. Nggak heran kalau makin banyak yang ngerasa kesepian, padahal punya ratusan teman di media sosial. Kita ada, tapi nggak benar-benar hadir.

Gadget itu emang penting dan nggak bisa dipisahin dari hidup kita sekarang, apalagi buat mahasiswa. Tapi ya jangan sampai kita dikontrol balik sama benda kecil itu. Mulai deh coba atur waktumu. Contohnya, batasi penggunaan media sosial, matikan notifikasi yang tidak penting, atau coba deh  seminggu sekali  lewatkan sehari tanpa gadget.

Kalau lagi nongkrong, simpen dulu HP-nya. Nikmatin obrolan sama temen. Kalau lagi belajar, pake mode fokus atau aplikasi yang bisa blokir gangguan. Dan yang paling penting, sadarin bahwa hidup itu nggak cuma ada di balik layar. Masih banyak hal seru dan berharga di dunia nyata yang bisa bikin hidup lebih bermakna.

Jadi mahasiswa itu bukan cuma soal IPK, tapi juga soal gimana kita bisa ngatur hidup di tengah godaan digital yang nggak ada habisnya. Jangan sampai kita jadi generasi yang pinter secara teknologi, tapi tumpul secara sosial dan emosional.

Biar nggak makin tenggelam jadi budak gadget, ada beberapa hal simpel yang bisa dicoba. Nggak perlu langsung drastis, mulai dari hal-hal kecil aja dulu:


1
. Atur waktu main HP

Pasang alarm atau pengingat. Misalnya, maksimal 1 jam buat scroll medsos. Bisa juga aktifin fitur screen time.

2. Pisahin waktu belajar dan hiburan

Lagi belajar? Taruh HP agak jauh. Biar fokus. Setelah selesai, baru kasih reward buka TikTok sebentar.

3. Cari aktivitas offline

Baca buku, olahraga, ngobrol, atau ikut komunitas. Banyak banget keseruan yang bisa dirasain tanpa layar.

4.  4. Gunakan gadget untuk hal positif

Nonton video yang edukatif, cari referensi tugas, atau denger podcast yang bikin tambah ilmu.

5. Coba detoks digital

Sehari tanpa medsos atau beberapa jam tanpa HP. Biar pikiran istirahat dan kita bisa kembali fokus ke hal nyata.

Author: Listanto Bima – Ifa Audina Nabila

Midnight Crying Club: Cara Gen Z Ngobrol Sama Diri Sendiri

 


Udah jam 2 pagi. Kamar gelap, HP masih di tangan, earphone nempel, playlist mellow jalan terus. Eh, tau-tau air mata netes tanpa breafing dulu, nggak tau juga kenapaa. Kalau kamu relate atau pernah kayak gini, tenang kamu gak sendirian. Selamat datang di midnight crying club. Kadang kita juga gak tau sebenarnya apa yang buat kita nangis.

Buat sebagian orang apalagi Gen Z, malam hari bukan cuman sekadar waktu tidur doang. Justru disaat orang-orang pada terlelap tidur, pikiran mereka malah melek. Tiba-tiba inget kesalahan kecil tiga tahun lalu, galau soal masa depan, atau sekadar ngerasa “Kok hidup gue gini-gini aja yak”.

Fenomena ini bukan cuman sekadar drama. Bahkan menurut WHO tahun 2017 sekitar 3,6% orang di dunia mengalami kecemasan. Ada juga informasi dari Riskesdas tahun 2018, prevalensi cemas di Indonesia diperkirakan mencapai 20% dari total penduduk 47,7% individu yang ngerasa cepek. Otak kita yang seharian sibuk mikirin tugas, kerjaan, dan kesibukan lainnya, akhirnya punya waktu tenang pas malam hari. Alih- alih istirahat, eh gak taunya malah jadi ajang mikir hal-hal random yang bikin hati gak tenang.

Sebenarnya, nangis malam-malam bukan berarti kamu tuh lemah. Justru, itu bisa jadi cara tubuh dan pikiran kita saling ngobrol, nyari cara buat ngelepasin emosi yang udah dipendam lama. Dan fun fact Gen Z yang lebih terbuka soal kesehatan mental sering banget malah jujur sama perasaan mereka, termasuk lewat air mata di malam hari. Tenang, itu normal kok. Kadang, nangis itu cara paling jujur buat bilang, “Gue gak baik-baik aja, tapi gue juga lagi berusaha”.

Self-talk, alias ngobrol sama diri sendiri, sering banget muncul pas kita lagi hgerasa down. “Kenapa sih gue gini”, “Apa yang salah sama gue?”, “Gue capek”. Meskipun tedengar sepele, itu sebenarnya langkah awal dari self-awarness. Gen Z juga butuh banget yang namanya ruang buat refleksi diri. Malam hari, tanpa distraksi, jadi tempat paling aman banget untuk momen itu terjadi. Meskipun kadang emang bisa berujung banjir air mata.

Nah buat kamu yang tangis malem udah jadi kayak rutinitas yang bikin lelah, cobain deh tips biar malam nggak selalu jadi air mata

1. Bikin rutinitas malam

Overthiking saat malam hari sering muncul karena kamu belum siap untuk istirahat. Biar tidur lebih tenang coba deh kamu lakuin rutinitas sebelum tidur misalnya baca buku. Terkadang pas kita baca buku, pikiran kita diarahkan pada cerita yang ada dalam buku yang ngebuat kita tidak terlalu fokus pada masalah-masalah yang mengudara di pikiran kita.

2. Nulis jurnal

Nulis jurnal bisa jadi cara yang efektif juga buat kita ngeredain overthinking di malam hari. Pas kita nulis tuh kita bisa ngalihin pikiran kita dari masalah yang berputar-putar dan mindahinnya ke dalam bentuk yang lebih terstruktur. Selain itu dengan kita nulis kita juga ngasih kesempatan pada diri kita buat nemuin solusi atau memahami lebih dalam tentang apa yang terjadi dalam pikiran kita

3. Batasi screen time sebelum tidur

Siapa nih yang sebelum tidur pasti lagi nge-scrolling TikTok? Alasannya sih katanya buat nyari-nyari ngantuk tapi sebenarnya dengan scrolling TikTok malah buat konten-konten bisa nge-trigger overthinking. Apalagi kontennya berisi video yang mengandung bawang. Terus gak sadar juga kalo kita udah ngabisin waktu berjam-jam cuman buat scrolling.

Kalau kamu ngerasa malam-malam adalah waktu yang paling berat, ingat “kamu gak sendirian”. Banyak orang ngerasain hal yang sama, dan pasti ada jalan buat pelan-pelan membaik. Tangis bisa jadi awal dari proses penyembuhan, selama kamu juga kasih ruang buat bahagia masuk ke hidup kamu. Semangat buat kalian yang ada pada fase midnight crying club. Jangan jadikan nangis tiap malem menjadi sebuah rutinitas, kasian batinmu!.

Author: Abdulrahim Danial

Jumat, 02 Mei 2025

KEREN, TAPI NGERI! YUK MENGENAL DEEPFAKE




Pernah nggak sih kamu lihat kasus penipuan yang pakai wajah seorang artis terkenal? Atau mungkin kamu pernah lihat wajah seorang pemimpin negara muncul dalam sebuah konteks yang tidak biasa? Nah, fenomena ini dikenal sebagai deepfake, sebernya apasih deepfake itu?

Deepfake adalah teknologi manipulasi gambar, video bahkan suara yang basisnya adalah kecerdasan buatan yang bisa bikin konten palsu jadi kayak nyata banget. Di dunia hiburan sendiri, deepfake bIasa dipakai buat “ngebangkitin” aktor yang udah meninggal biar kesan nostalgis dalam film tersebut bisa dirasain sama penonton, gak jarang juga deepfake dipakai buat bikin efek visual dengan budget yang minim tapi tetap kerasa realistis. Namun di balik kerennya deepfake ini ternyata ada potensi bahaya yant besar kalau sampai deepfake dipakai buat hal – hal negatif

Sudah ada beberapa penelitian yang nunjukin ngerinya deepfake. Menurut Dwi Putra, Sania Dan mitrin (2024) dalam jurnal Sagara Komunika, deepfake itu bisa merusak kredibilitas media tradisional. Loh kok bisa? Karena dengan adanya deepfake orang bakalan makin sulit bedain mana berita beneran dan mana yang hoaks. Nah Fadhilah dan kawan – kawan (2024) dalam jurnal Kawistara UGM juga ngungkapin hal yang sama, menurut mereka penyalahgunaan deepfake bisa nimbulin fenomena yang namanya infopocalypse, yaitu sebuah kondisi ketika masyarakat udah gak percaya atau kehilangan kepercayaan sama semua jenis informasi.

Kalau menurut Noerman dan Ibrahim (2024) dalam jurnal mereka yaitu USM Law Review, mereka bilang kalau Indonesia pada saat ini belum punya aturan khusus terkait fenomena deepfake yang meresahksn ini. Namun, kasusnya masih ditangani pakai UU ITE dan UU pornografi. Teknologi deepfake emang keren banget namun bahaya yang ditimbulin juga gak main – main.

Ibarat pisau bermata dua, di satu sisi bisa jadi alat untuk menuangkan kreativitas, namun di sisi lainnya bisa menjadi sesuatu untuk memfitnah orang yang gak bersalah & nimbulin hoaks yang meresahkan.

Biar gak gampang ketipu sama konten deepfake, ada beberapa hal yang bisa kamu perhatikan:

Perhatikan Gerakan Wajah dan Mata

Deepfake kadang masih punya kelemahan pada gerakan wajah, terutama bagian mata. Kalau kamu lihat mata yang jarang berkedip, atau ekspresi wajah yang terasa “kaku” dan gak natural, bisa jadi itu deepfake.

Cek Sinkronisasi Suara dan Bibir

Kalau suara terdengar aneh, kayak datar atau gak sinkron sama gerakan mulutnya, itu juga bisa tanda kalau videonya hasil deepfake.

Amati Pencahayaan dan Bayangan

Deepfake kadang suka mis di bagian pencahayaan. Misal, cahaya di wajah beda sama latar belakangnya, atau bayangannya aneh.

Gunakan Tools Pendukung

Sekarang udah banyak aplikasi atau website yang bisa bantu deteksi deepfake, misalnya Deepware Scanner, Sensity AI, atau Microsoft Video Authenticator.

Crosscheck ke Sumber Asli

Sebelum percaya sama video atau gambar yang aneh, sebaiknya  cek dulu beritanya di media terpercaya.

“JoMO: Bahagia Itu Gak Perlu Cari Validasi Sana-Sini!”



Kamu nggak update insta story hari ini?

Nggak ikut tren velocity?

Nggak ikut nongkrong di café?

Tenang, kamu nggak salah kok. Kamu nggak kudet. Kamu cuman lagi JoMO!

​Iya, JoMO alias Joy of Missing Out. Mungkin kalian tahunya cuman FoMO, kan? Nah sebenarnya ada juga istilah buat kalian yang ngerasa happy karena gak ikut-ikutan sama yang lain, apalagi sama tren TikTok yang velocity-nya nggak habis-habis. JoMo tuh kayak bilang “gue nggak ikutan, dan gue fine-fine aja”.

​Pernah gak sih kamu ngerasa capek banget ngeliat anak muda zaman sekarang yang apa-apa main cekrek. Scroll TikTok dikit, bermunculan video velocity yang semakin banyak versinya—udah kayak HP aja pake Pro Max segala! Bahkan nih, anak muda pada senang banget nongkrong ke café sampe pagi, seolah kayak gak ada beban sama sekali.

​Di tengah dunia yang sibuknya minta ampun ini, JoMO ngajarin kita buat istirahat sebentar. Nggak semua hal harus di-posting sana-sini. Nggak semua tren harus diikutin, dan nggak semua tempat viral harus didatengin. Daripada ngabisin duit di café mahal mending buat kopi aja di rumah. Kadang, obrolan ringan sambil sarapan bareng orang tersayang di pagi hari udah cukup bikin hati terasa penuh dan bahagia. Alih-alih ngerasa kudet, orang yang nerapin JoMO malah lebih bahagia. Nggak ada gangguan notifikasi apalagi tekanan sosial. Sebenarnya JoMO bisa ngasih ruang buat refleksi diri kita. Sadar kalau hidup nggak harus butuh validasi.

Mungkin kalian pernah bertanya, ​kenapa sih kita harus JoMO?

1. Biar mental gak capek!

Jujur deh, ngeliat orang-orang pada sibuk mikirin tren, liburan buat bahan insta story, produktif tiap hari capek kan? Padahal kita sama-sama manusia, dan kita gak harus compare terus.

2. Biar hidup bener-bener dinikmati

Sebelum makan gak harus cekrek, pas makan gak harus live IG, pas selesai makan gak harus TikTokan. Kadang, momen yang paling berharga malah yang gak terekam kamera.

3. Biar tahu kalau damai itu penting

JoMO itu kayak rebahan, dengerin lagu favorit, atau ngobrol santai tanpa harus mikirin impresi.

Udah deh dari pada haus validasi mending matiin notifikasi, unfollow akun yang bikin overthinking, nolak ajakan temen tanpa rasa salah (self care!) dan mending ngobrol sama diri sendiri bukan sama algoritma!

Intinya, kamu nggak harus ada di mana-mana buat valid, dan nggak harus viral buat bahagia. Yang kamu butuh itu cuman waktu sendiri, bernapas lega sama nonton series favorit tanpa gangguan siapa-siapa!

JoMO bukan soal menghindar dari dunia tapi soal pilihan. Bukan berarti kamu milih untuk nggak ikutan kamu kalah, tapi itulah yang namanya dewasa.

Jumat, 25 April 2025

Teknologi Canggih, Skill Harus Level Up: Gen Z Siap?




Zaman sekarang, siapa yang gak tau teknologi Artificial Intelligence (AI)? Semuanya bisa dikerjakan sama teknologi ini, bahkan dalam beberapa tahun terakhir AI udah kayak roket yang meluncur kencang tanpa batas. Mulai dari chatbot yang diajak ngobrol kayak manusia, sampai baru – baru ini lagi rame tuh tren bikin foto ala studio Ghibli, semuanya bikin kita tuh kagum sama teknologi ini. Tapi, kadang karena saking semua hal bisa dilakuin sama AI, kita agak deg-degan juga. Apalagi kita—Gen Z—yang katanya paling Tech-savvy, beneran udah siap belum sih menghadapi dunia yang didominasi sama AI? Atau justru malah panik karena takut digantikan?

AI sekarang bukan cuman sekadar nanya jawaban ujian doang. Bahkan di dunia pekerjaan, AI udah mulai masuk ke berbagai bidang mulai dari edukasi, kesehatan, keuangan, desain sampai industri kreatif. Banyak pekerjaan yang dulunya memakan waktu dan tenaga manusia, sekarang bisa dikerjakan bak pesulap sirkus dalam hitungan detik. Contohnya desainer grafis bisa aja saingan sama AI yang bikin ilustrasi hanya dalam waktu 10 detik. Penulis artikel harus bersaing sama program yang bisa buat artikel otomatis. Bahkan dosen pun harus bersaing sama teknologi yang semuanya bisa dijawab hanya hitungan detik.

Artificial Intelligence (AI) menjadi salah satu teknologi yang lagi naik daun di dunia. Bahkan dilansir dari sumber databoks, Indonesia menduduki peringkat ke 3 dari 10 Negara penyumbang kunjungan terbanyak ke aplikasi Artificial Intelligence (AI). Di tahun 2024 aja, pengguna AI di Indonesia mencapai 1,3 juta pengguna! Nggak heran kalau zaman sekarang orang-orang pada nggak bisa lepas dari yang namanya AI.

Kita sebagai Gen Z wajar gak sih panik? Takutnya kedepannya pekerjaan kita malah akan digantikan sama AI ini. Wajar kok kalau ada rasa khawatir kayak gitu. Tapi, alih-alih panik mending kita ubah minset jadi “Gimana cara kedepannya kita bisa kerja bareng AI”. Sebenarnya Gen Z tuh punya keuntungan salah satunya Digital Native yang harusnya sih adaptasi sama teknologi itu bukan hal yang baru. Yang paling penting sekarang yaitu:

Belajar, dunia itu perubahannya cepet banget. Bisa jadi skill sekarang yang kita punya besoknya malah jadi basi. Makanya penting buat kita apalagi Gen Z buat terus belajar dan upskilling.

Nilai emosional, hal ini masih menjadi “senjata rahasia” kita sebagai manusia. Emang sih AI bisa ngasih data dan output, tapi emang nilai emosional dan empati AI bisa? Itu masih jadi domain kita sampai sekarang.

Eksplorasi, nih buat para Gen Z jangan takut buat nyoba yang namanya teknologi baru. Minimal ngulik di YouTube lah biar kita juga gak Gaptek!

Jadi, buat Gen Z yang kerjanya cuman scroll-scroll HP doang, mageran sama multitasking. Udah saatnya melek, sama tunjukin kalau kita juga bisa. Nggak dicap generasi rebahan doang. Kita semua juga bisa sukses di era AI. Kita juga harus melek teknologi, terus belajar sama kreatif.

Kalau AI makin canggih, bukan berarti kita kalah dan malah makin panik. Tapi harusnya kita makin semangat buat beradaptasi dan terus eksplore hingga menciptakan peluang baru. Masa depan gak sepenuhnya ditentukan sama teknologi doang, tapi gimana kita siap buat ngadepinnya!

Burnout di kalangan pelajar: Beneran lelah atau hanya rasa malas?




Pernah nggak sih, kamu ngerasa capek banget waktu ngerjain tugas sekolah atau kuliah, padahal mulai aja belum. Atau tiba – tiba ngerasa males banget untuk ngerjain PR yang dikasih guru, padahal kamu biasanya semangat buat ngerjainnya? Hati – hati loh hal tersebut bisa jadi bukan rasa malas biasa, tapi kamu lagi ngalamin yang namanya burnout?

Menurut psikolog asal Amerika Serikat Christina Maslach, burnout sendiri adalah sindrom kelelahan emosional dan sinisme yang dialami oleh seseorang akibat stress kerja kronis. Walau umumnya burnout ini dialami oleh pekerja kantoran namun pelajar juga bisa terkena burnout loh. Burnout pada pelajar bisa terjadi karena tugas, ujian, ekskul bahkan ekspektasi yang diciptakan diri sendiri maupun lingkungan sekitar.

Banyak orang yang salah kaprah, mereka mikirnya pelajar kalo ngeluh capek itu ya karena mereka malas aja ngerjain tugas. Padahal menurut penelitian dari Mediva Syafira, Siti Khotimah, dan Eka Yuni Nugrahayu tahun 2023, dalam jurnal mereka disebutkan sekitar 35% mahasiswa ngalamin gejala burnout, hal ini udah termasuk kelelahan emosional, depersonalisasi atau mereka ngerasa asing sama diri sendiri, bahkan sampai ke menurunnya prestasi akademik. Angka ini bukan angka yang kecil loh.

Penelitian dari Eirene Priscilla C. Simatupang dan Yoanita Widjaja dalam jurnalnya tahun 2021 juga ngejelasin bahwa tekanan akademik yang tinggi serta manajemen waktu yang buruk jadi pemicu utama burnout pada pelajar SMA dan mahasiswa, ngelihat hal ini tentu aja semua yang terjadi bukan semata – mata karena malas, tetapi emang kondisi mental yang serius.

Rasa malas biasanya bersifat sementara, kadang muncul, kadang hilang, dan bisa diatasi dengan motivasi atau istirahat sejenak. Tapi burnout beda. Burnout membuat seseorang benar-benar kehilangan energi, motivasi, bahkan kepercayaan diri. Kamu bisa merasa lelah setiap hari meskipun sudah tidur cukup, sulit fokus meski suasana tenang, atau merasa kosong dan nggak tahu harus mulai dari mana.

Lalu, kalau kamu mulai ngerasa tanda-tanda itu, apa yang bisa dilakukan?

Nih, Tips Mengatasi Burnout pada Pelajar!

Kenali dan akui kondisimu

Langkah pertama adalah sadarilah kemungkinan kamu mengalami burnout. Jangan langsung menilai diri sendiri sebagai pemalas. Akui dan terima perasaan lelah kamu, itu hal yang wajar.

Atur ulang waktu dan prioritas

Coba evaluasi jadwal kamu. Apakah terlalu padat? Apakah semua kegiatan benar-benar perlu? Kadang kita terlalu memaksakan diri ikut banyak hal karena takut ketinggalan atau ingin terlihat produktif. Padahal tubuh dan pikiran punya batasnya.

Ambil jeda yang berkualitas

Istirahat bukan berarti rebahan seharian sambil scroll medsos (yang justru bisa bikin makin overthinking). Coba ambil waktu untuk benar-benar recharge, misalnya jalan santai sore, baca buku ringan, dengerin musik, atau ngobrol santai bareng teman.

Berani bilang “Cukup”

Nggak semua hal harus kamu lakukan sekarang juga. Tugas penting memang, tapi kesehatan mental juga nggak kalah penting. Kalau sudah terlalu berat, nggak apa-apa kok minta bantuan atau diskusi sama guru/dosen untuk cari solusi.

Jaga keseimbangan hidup

Sisihkan waktu untuk hal-hal yang kamu suka, selain belajar.  Main musik, gambar, nonton film, olahraga, apa aja yang bikin kamu merasa lebih hidup, nggak cuma jadi robot tugas.

Cari dukungan

Kalau kamu merasa burnout-nya makin parah dan mengganggu aktivitas sehari-hari, jangan ragu cari bantuan profesional. Konselor sekolah, psikolog, atau layanan kesehatan mental bisa jadi tempat curhat yang aman dan membantu kamu pulih. 

Jumat, 18 April 2025

10 QUOTES ARSA DANIALSA


Kita percaya setiap pencapaian individu kita adalah kombinasi antara pikiran, perkataan dan perbuatan. Kami biasa menyebut ini dengan istilah Neuro Linguistic Programming (NLP). Bahwa pikiran kita dapat memengaruhi perkataan, dan perkataan dapat memengaruhi tingkah laku kita. Pada konteks ini, selain pikiran yang positif, kata-kata yang positif memiliki pengaruh yang cukup besar dalam kehidupan kita sehari-hari. Berikut 10 kumpulan kata-kata dari Arsa Danialsa, seorang Dosen dan Trainer di bidang pengembangan diri dan Neuro Linguistic Programming (NLP) yang kami rangkum untuk Anda:

"Sebelum berpikir mengubah dunia, ubahlah pikiranmu terlebih dulu."

"Mau se-idealis apapun kita, sisakan sedikit ruang untuk keikhlasan. Karena semua orang akan realistis juga pada waktunya. Kita boleh idealis dengan mimpi dan cita-cita, tapi jangan lupakan, akan selalu ada ketidaksesuaian atas hasil yg kita dapatkan."

"Orang-orang kebanyakan hanya bisa memberi contoh tapi tidak bisa menjadi contoh."

"Ada dua respon yang mungkin akan kita rasakan saat gagal; kecewa dan ikhlas. Jika kecewa, maka sadarlah. Jika iklas, maka belajarlah."

"Jika gagal adalah pilihan, lebih baik gagal karena sudah mencoba daripada gagal tapi tidak mencoba sama sekali."

"The map is not the territory; peta bukanlah wilayah yang sebenarnya. Begitupun apa yang kita pikirkan belum tentu kenyataanya. Tapi ingat dan berhati-hatilah, apa yang kita pikirkan bisa jadi akan menjadi kenyataan jika kita mengamini dan meyakini pikiran tersebut."

"Sudahlah, tidak ada waktu untuk terus mengeluh. Teruslah bernapas."

"Orang kaya yang sebenarnya bukanlah mereka yang punya apa, melainkan yang bisa berbagi apa."

"Mau se-idealis apapun kita, sisakan sedikit ruang keikhlasan. Karena pada akhirnya semua orang akan realistis juga pada waktunya. Kita boleh idealis dengan mimpi dan cita-cita, tapi jangan lupakan, akan selalu ada ketidaksesuaian atas hasil yang kita dapatkan."

"Orang-orang kebanyakan hanya bisa memberi contoh, bukan menjadi contoh."

Semoga kata-kata di atas dapat memberikan makna dan dampak baru yang lebih positif untuk aktivitas kita semua.

Jumat, 11 April 2025

Punya Hobi Main Sosmed? Kenapa Nggak Sekalian Jadi Cuan?

 


Kamu suka scroll-scroll TikTok, bikin konten IG, atau pantengin FYP sampe tengah malam? Selamat, kamu nggak sendirian! Sekarang tuh hampir semua orang hidupnya nempel banget sama internet. Bahkan, data dari Kominfo bilang kalau ada 129 juta orang Indonesia yang aktif di medsos, dan rata-rata habisin waktu 3,5 jam sehari cuma buat online.

Tapi, daripada cuma scrolling doang, gimana kalau hobi medsosan kamu itu di-upgrade jadi sumber penghasilan? Yes, sekarang banyak banget anak muda yang udah jadi konten kreator, influencer, atau jualan online hanya modal akun medsos. Dunia digital udah berubah banget—nggak cuma tempat buat curhat atau stalking mantan, tapi juga ladang buat cari cuan.

Nah, buat kamu yang kepo gimana caranya, yuk kenalan dulu sama cara-cara dapet duit dari medsos!

 1. Dapet Bayaran dari Brand

Pernah nggak liat selebgram atau TikTokers yang review produk dan bilang “ini bukan iklan ya, tapi emang suka”? Eits, itu biasanya konten bersponsor. Menurut laporan We Are Social 2023, 70% influencer di Indonesia dapet duit utama dari kerja sama brand. Jadi mereka dibayar buat promosi produk lewat foto, video, atau review.

Seru kan? Kamu bisa tetep jadi diri sendiri, bikin konten yang kamu suka, sambil dapet penghasilan.

 2. Jadi Youtuber atau TikToker Aktif

Kalau kamu suka bikin video, YouTube dan TikTok punya program monetisasi. Jadi, semakin banyak yang nonton video kamu, makin besar juga peluang dapet duit dari iklan.

Misalnya nih, YouTuber dengan 1 juta subscriber bisa dapet sekitar 3.000–5.000 USD per bulan. Tapi ingat ya, ini tergantung dari jumlah views, durasi video, dan asal penonton.

TikTok juga punya program kayak Creator Fund dan Live Gift. Walau penghasilannya nggak sebesar YouTube, tapi lumayan banget kalau digabung sama sponsor dan jualan barang.

3. Jualan Produk atau Jasa Sendiri

Kamu jago desain? Suka nulis? Atau punya ide merchandise lucu? Banyak konten kreator sekarang yang jualan produk sendiri, mulai dari kaos, tote bag, e-book, sampai kursus online. Selain nambah penghasilan, ini juga bantu ngebangun personal branding kamu loh!

Nielsen bilang, 92% orang lebih percaya rekomendasi dari kreator yang mereka ikutin daripada iklan biasa. Jadi kalau kamu punya followers yang loyal, mereka lebih gampang percaya dan beli produkmu.

 4. Ikut Program Afiliasi

Kamu sering liat kalimat “Cek link di bio ya”? Nah itu adalah bagian dari affiliate marketing. Jadi kamu share link produk, dan kalau ada yang beli lewat link itu, kamu dapet komisi!

Contohnya kayak Shopee Affiliate Program atau TikTok Shop Affiliate. Simpel dan nggak perlu repot stok barang. Cocok banget buat yang baru mulai nyari cuan dari medsos.

Intinya Sihhhh…

Medsos bukan cuma tempat buat pamer outfit atau lihat dance challenge. Kalau dimanfaatin dengan kreatif dan konsisten, kamu bisa banget dapetin penghasilan dari sana.

Mulai dari konten bersponsor, jadi kreator YouTube/TikTok, jualan produk, sampai ikut affiliate—all of it bisa kamu coba! Yang penting, temukan gaya kamu sendiri, terus konsisten dan nggak gampang nyerah.

Siapa tahu, hobimu main medsos bisa jadi jalan kamu jadi boss muda.

Penulis, Hajirah Ali

Nggak Mau Ketinggalan Tren? Hati-Hati Sama FoMO!





Zaman sekarang, siapa sih yang nggak main media sosial? Mulai dari upload daily life, ikut challenge, sampe share info menarik—semuanya bisa banget dilakuin di medsos. Apalagi banyak banget tren dari para konten kreator yang viral dan langsung bikin kita pengen ikutan. Tapi, kadang karena saking banyaknya info dan tren baru, kita jadi takut ketinggalan. Takut gak update itu yang biasa disebut FoMO alias Fear of Missing Out.

FoMO ini muncul waktu kita ngerasa semua orang ngalamin hal seru, tapi kita nggak. Misalnya, temen-temen pada healing ke Bali, eh kamu masih stuck di kamar. Atau semua orang lagi bahas trend dance TikTok baru, dan kamu belum sempet nonton—langsung deh muncul rasa nggak mau kalah dan buru-buru nyusul.

TikTok sendiri jadi salah satu aplikasi yang super booming, bukan cuma di Indonesia tapi juga dunia. Di 2023 aja, pengguna medsos di Indonesia udah tembus 99,1 juta orang! Nggak heran sih kalau medsos makin nempel di keseharian kita. Tapi, makin sering kita scroll, makin besar juga kemungkinan kita ngalamin kecemasan sosial kayak FoMO tadi.

Jadi, FoMO tuh kayak dorongan buat selalu terhubung sama dunia online—biar nggak merasa ditinggalin. Kita jadi ngerasa wajib banget tahu update terkini, walau itu bikin capek sendiri. Ciri-ciri FoMO tuh contohnya:

  1. Nggak bisa jauh dari HP. Rasanya gatal banget kalau belum buka IG, TikTok, atau WA.
  2. Lebih milih ngobrol di DM daripada ketemu langsung.
  3. Sering ke-distract sama postingan orang atau FYP yang seolah lebih seru dari hidup kita.

Menurut penelitian, remaja itu emang paling rentan kena FoMO. Mereka takut banget kehilangan momen bareng temen, apalagi kalau itu viral. Kadang, kita jadi maksa ikut lifestyle yang sebenernya bukan diri kita, cuma biar “nempel” sama circle atau biar diakui di medsos.

Ada juga yang mikir, posting di media sosial itu wajib. Kalau nggak upload, takut nggak dianggap eksis. Akhirnya, banyak yang jadi overposting, atau ikut tren cuma demi validasi. Padahal, hidup kita nggak harus selalu keliatan keren di internet, ya gak?

Parahnya, FoMO ini bisa ngaruh ke kesehatan mental. Karena terus-terusan bandingin diri sama orang lain di medsos, kita jadi lebih gampang stres, insecure, dan ngerasa hidup kita kurang banget. Lama-lama, itu bisa bikin kualitas hidup turun. Dikit-dikit cemas, dikit-dikit ngerasa gak cukup.

Makanya, penting banget buat kita—anak muda apalagi Gen Z—buat paham dampak dari FoMO. Jangan sampai kita terjebak dalam siklus ngejar validasi terus-terusan. Media sosial itu seru, tapi jangan sampai kita dikontrol olehnya. Gunain aja seperlunya, buat hal yang bikin kita bahagia dan berkembang.

Senin, 24 Maret 2025

Perundungan di Media Sosial: Apa sih Dampaknya?


 

Di zaman sekarang, teknologi berkembang super cepat, terutama media sosial. Semua orang dari berbagai kalangan, termasuk anak muda, pasti sudah nggak asing lagi sama platform kayak Instagram, TikTok, atau Twitter. Media sosial memang banyak manfaatnya, tapi sayangnya, bisa jadi tempat subur buat masalah sosial yang serius, salah satunya perundungan (bullying). Artikel ini bakal bahas tentang perundungan di media sosial, apa aja penyebabnya, dan gimana cara nyelesainnya. Semoga bisa nambahin kesadaran kita untuk bikin dunia digital yang lebih aman dan nyaman, khususnya buat anak muda.

Salah satu contoh kasunya adalah tragedi influencer Malaysia yang bunuh diri karena nggak tahan di-bully di media sosial. Perundungan di media sosial emang masalah besar, karena sifatnya yang mudah diakses dan jangkauan globalnya yang super luas. Ada beberapa faktor yang bikin perundungan makin parah, salah satunya adalah anonimitas. Pelaku bisa nyembunyiin identitasnya dan merasa lebih berani nge-bully tanpa takut ketahuan atau dihukum. Selain itu, media sosial juga kurang pengawasan, jadi banyak pelaku yang bisa nyebarin konten merugikan tanpa takut ditindak.

Salah satu kasus yang bikin heboh adalah kejadian di Malaysia, dimana seorang influencer bernama Rajeswary Appahu bunuh diri setelah di-bully di media sosial. Berdasarkan laporan dari Liputan 6, setelah dilakukan penyelidikan, ternyata ada dua orang yang jadi pelaku perundungan ini. Salah satunya adalah pemilik panti jompo, Shalini Periasamy, yang didenda RM100 (sekitar Rp. 356.700) karena komentar nggak pantas di TikTok. Yang satunya lagi, seorang sopir truk, Sathiskumar, dijatuhi hukuman penjara selama 1 tahun karena menyerang Rajeswary secara verbal lewat akun TikTok-nya.

Sayangnya, meskipun udah ada proses hukum, dampak perundungannya sangat besar. Rajeswary ditemukan meninggal di rumahnya pada 5 Juli 2024 setelah lebih dari sebulan di-bully tanpa henti. Insiden ini bikin publik Malaysia marah dan membuka mata banyak orang tentang bahaya perundungan di dunia maya, apalagi untuk perempuan.

Perundungan di media sosial bukan cuma masalah sepele. Ada banyak faktor yang bikin hal ini berkembang, seperti anonimitas pelaku, kurangnya pengawasan, budaya cyberbullying, dan tekanan sosial. Semua ini bisa ngasih dampak yang sangat buruk bagi korban, bahkan bisa berujung pada bunuh diri.

Untuk ngurangin perundungan di media sosial, kita perlu pendekatan yang lebih holistik, bukan cuma hukuman buat pelaku, tapi juga dengan menciptakan lingkungan digital yang positif dan mendukung. Salah satu caranya adalah dengan edukasi sejak dini. Kita harus ngajarin tentang etika digital, tanggung jawab online, dan pentingnya empati. Pendidikan ini gak cuma buat anak-anak dan remaja, tapi juga buat orang tua dan pendidik supaya mereka bisa lebih ngerti dunia digital, ngawasin aktivitas online, dan ngasih dukungan yang tepat. Sekolah juga perlu masukin pendidikan tentang literasi media ke dalam kurikulumnya.

Selain itu, platform media sosial juga punya peran penting. Mereka harus memperbaiki fitur pelaporan, respons cepat terhadap laporan perundungan, dan bikin algoritma yang bisa deteksi konten bullying. Platform juga harus punya kebijakan tegas soal perundungan dan transparan dalam proses penanganannya, biar pengguna bisa percaya dan merasa aman. Kerja sama antara platform dan organisasi anti-perundungan juga penting buat bikin solusi yang lebih efektif.

Jadi, ayo kita bareng-bareng buat menciptakan lingkungan digital yang lebih sehat, bebas dari perundungan!

Total Tayangan Halaman

Kategori

Recent Posts

Saat Kau Hampir Menyambutku

  Ia mengenalnya dari cerita-cerita kecil yang dilontarkan temannya, sepotong-sepotong, seperti mozaik yang ia susun dalam benaknya: lelaki ...

Quotes

"Sebelum berpikir untuk mengubah dunia, terlebih dulu ubahlah pikiranmu" Arsa Danialsa_

Quotes

"Tidak ada yang namanya kegagalan, yang ada hanyalah feedback" Arsa Danialsa_

Butuh Bantuan?

Nama

Email *

Pesan *