Kita pernah menjadi dua manusia yang berjalan sejajar, menyeberangi waktu dengan langkah serupa. Kita pernah mengukir rencana di langit senja, mengira bahwa garis takdir adalah sesuatu yang bisa kita genggam erat dalam genggaman. Tapi, waktu selalu punya cara untuk melepaskan jemari yang bertaut, menyisakan ruang yang lambat laun melebar menjadi jarak.
Kau memilih jalurmu, aku memilih jalurku. Kita tak pernah saling menahan, hanya sesekali menoleh, memastikan bahwa bayangan masing-masing masih ada dalam pandangan. Sampai akhirnya, kelokan-kelokan kehidupan membawa kita ke arah yang berbeda, mengaburkan siluet yang dulu akrab dalam ingatan.
Aku pernah bertanya-tanya, apakah di suatu pagi yang sibuk, kau sempat mengingat aku? Apakah di sela-sela kesibukanmu, namaku masih bergema di sudut kecil benakmu? Aku tahu, dunia ini luas, dan jalan yang kita tempuh tak lagi bersinggungan seperti dulu. Tapi ada saat-saat di mana aku melihat pantulan dirimu dalam hal-hal kecil—sebuah lagu yang dulu kita dengarkan bersama, aroma kopi Golda yang mengingatkan pada percakapan santai kita, atau bahkan sinar matahari yang menyengat tubuhku—dulu, kau suka ngomel kalo matahari itu leluasa menyentuh kulitku, hehehe.
Kini, setelah waktu menjauhkan kita, aku tak lagi ingin bertanya tentang apa yang telah terjadi. Aku hanya berharap, di mana pun kau berada, kehidupan memperlakukanmu dengan baik. Kuulangi, dunia memperlakukanmu dengan baik. Aku berharap langkahmu ringan, harimu penuh cahaya, dan kau bahagia dengan segala yang telah kau pilih.
Dan jika suatu hari takdir mempertemukan kita kembali, meski hanya dalam pertemuan singkat di antara keramaian, aku ingin percaya bahwa kita akan saling tersenyum—tanpa sesal, tanpa penyesalan, hanya penerimaan bahwa kehidupan telah membawa kita ke tempat yang seharusnya.
Misalnya, dalam pertemuan singkat itu, ada sekelebat hening di antara kita. Bukan karena tak tahu harus berkata apa, tapi karena ada sesuatu yang mengendap di dada, sesuatu yang tak akan pernah terucapkan.
Mungkin aku akan melihatmu dengan senyum yang tak sepenuhnya lepas, lalu dalam hatiku, samar-samar sebuah tanya menggema: "Ah, andai dulu kita tidak pisah… apakah kita akan tetap berdiri di sini sebagai kita, bukan sebagai dua orang asing yang pura-pura baik-baik saja?"
Atau mungkin di antara percakapan ringan tentang pekerjaan, kota yang kita tinggali, kehidupan yang berjalan setelah perpisahan, atau bisa jadi cerita tentang seseorang yang kini menemani kita.
Aku yakin, jika itu terjadi, pasti akan ada momen di mana mata kita bertemu lebih lama dari yang seharusnya. Sebuah tatapan yang mengisyaratkan sesuatu yang tak pernah selesai, sesuatu yang hanya bisa diutarakan dalam bisikan hati:
"Andai dulu kita lebih berjuang, apakah cerita kita akan berbeda?"
Saat pertemuan itu berakhir, kita akan berjalan pergi dengan langkah yang terasa berat, bukan karena ingin kembali, tapi karena sadar bahwa waktu tak bisa diputar, dan kemungkinan yang dulu ada, kini hanya tinggal kenangan yang berpendar.
2025
0 Post a Comment:
Posting Komentar