Ketika semua aktivitas kehidupan kita belakangan ini disepuh kata-kata ajaib mondialisasi, tiba-tiba kita disudutkan oleh kenyataan lain yang tak kalah ajaibnya. Yakni, munculnya efek jurnalisme (Journalism effect), Wibowo (2007).
Kondisi manusia di era digitalisasi ini terbilang semakin rumit. Dalam implementasinya, manusia semakin disibukkan dengan kebiasaan ilmiah yang orang akademik menyebutnya dengan istilah ‘research’. Sebuah proses mencari tahu kata-kata ajaib dari mondialisasi dengan menggunakan instrumen yang telah ada sebagai upaya memperoleh informasi yang dapat dipercaya kebenarannya (autentik).
Namun
pada kenyataannya, tidak sedikit orang yang terburu-buru menafsirkan informasi
tanpa melakukan proses pengklarifikasian informasi tersebut. Akibatnya,
orang-orang semakin tidak peduli dengan kebenaran informasi sehingga berdampak
pada perpecahan dan kekacauan yang disebabkan oleh informasi yang tidak jelas
kebenarannya.
Sejalan
dengan perkembangan informasi yang semakin cepat, sebuah istilah ‘nakal’ bisa
saja dianalogikan pada akibat yang teramat membahayakan ini. Sebut saja kondisi
itu sebagai “kemarjinalan informasi.” Sebuah kondisi yang perlu dibenahi dengan
sedemikian serius agar tidak berdampak buruk bagi Indonesia ke depannya.
Tentu
bicara mengenai kemarjinalan tidak hanya berlaku pada kondisi sosial dan
ekonomi saja, melainkan hal yang sama juga dapat dijabarkan untuk menjelaskan
keberadaan masyarakat Indonesia dalam hal memperoleh dan menyebarkan informasi
yang aktual dan dapat dipertanggungjawabkan.
Keberadaan
informasi yang semakin berkembang dan luas ini, masyarakat dituntut untuk lebih
bijak dalam menerima dan menyebarkan informasi. Tidak hanya itu, keberadaan
media perlu juga mendapat pengawasan yang lebih ketat lagi untuk mencegah
terjadinya kecacatan media dalam menyebarkan berita dan informasi.
Biasanya, Indonesia kerap kali dikacaukan oleh situasi yang amat serius sebagai akibat dari
penyebaran informasi yang tidak autentik serta mengandung unsur kebencian.
Mirisnya lagi, masyarakat Indonesia seolah terjebak oleh kedangkalan nalar yang
berkepanjangan. Bagaimana tidak, harus diakui bahwa masyarakat Indonesia belum
mampu mencerna informasi yang diterimanya. Baik melalui media masa maupun media
cetak.
Oleh
karena situasi yang sedemikian ricuh tersebut, saat ini Indonesia sedang
dilanda krisis informasi. Bagaimana tidak, ajang PEMILU misalnya, menjadi
alasan besar serta pemantik munculnya informasi-informasi palsu (hoax). Informasi ataupun berita palsu
tersebut juga ditandai dengan munculnya situs-situs berita palsu maupun
konten-konten yang mengandung kebencian sara dan sentimentil yang tersebar luas
hampir di semua media sosial.
Munculnya
berita palsu dikarenakan kebenaran ataupun keautentikan dari suatu berita
maupun informasi tidak lagi menjadi hal yang substansial, melainkan siapa yang
paling cepat dalam menyebarkan informasi tersebut. Akibatnya, banyak oknum baik
individu maupun kelompok berlomba-lomba untuk menyajikan berita atau informasi
yang belum jelas kebenarannya. Sehingga masyarakat pun dengan mudahnya bisa
terprovokasi oleh informasi-informasi yang dapat menimbulkan perpecahan dan
permusuhan antar sesama kelompok masyarakat.
Bicara
mengenai hoax, tidak banyak
masyarakat Indonesia yang paham betul bagaimana menyikapi informasi atau
berita-berita yang diterima baik melalui media sosial maupun situs-situs web
yang secara terang-terangan menyebarkan informasi yang belum tentu kebenarannya
dan belum jelas referensinya. Oleh karena kebanyakan orang ataupun media ingin
tampil terdepan dalam menyebarkan informasi, akibatnya penyebaran hoax-pun semakin tidak dapat terkendali.
Sementara
itu, hoax sangatlah beragam, mulai
dari isu agama, etnis, bahkan politik. Hoax
juga mengakibatkan terjadinya kegelisahan yang amat serius bagi semua kalangan.
Masyarakat yang ikut menyebarkan informasi palsu tersebut dikarenakan beberapa
hal-diantaranya; ketidaktahuan terhadap informasi yang diterima dan yang
disebarkan, unsur kesengajaan untuk menjatuhkan individu atau kelompok, ingin
mendapat pengakuan, dan lain-lain.
Herannya
lagi, para pelaku yang secara sadar ikut menyebarkan informasi palsu tidak
hanya dilakukan oleh orang-orang biasa, melainkan juga orang-orang yang
memiliki gelar sarjana atau yang berpendidikan tinggi. Oleh sebab itulah, eksistensi
hoax ini terus bergulir dan
berkepanjangan menghantui kedamaian dan ketenteraman masyarakat Indonesia.
Sebuah
catatan histori memperkirakan kemunculan hoax
ini dimulai sejak 1960-an hingga 1970-an. Sampai detik ini, penyebaran hoax makin meningkat. Eksistensi hoax yang paling menghebohkan dunia
terjadi pada konstelasi pemilihan umum presiden Amerika Serikat 2016 silam.
Sebelumnya Indonesia juga mengalami kondisi yang sama pada perhelatan pemilihan
umum 2014 lalu. Terlebih lagi pada konstelasi pemilihan umum 2019 dan 2024 kemarin,
puncak serangan hoax semakin
menjadi-jadi. Oleh karena itu, pihak-pihak terkait yang merasa memiliki
tanggungjawab penuh terhadap bahaya hoax,
mengambil langkah strategis untuk menghentikan atau meminimalisir penyebaran
berita atau informasi palsu tersebut.
Dalam
kondisi yang cukup memprihatinkan ini, masyarakat perlu memperbanyak edukasi
informasi melalui literasi media sebagai upaya untuk mendewasakan nalar atau
pikiran agar terhindar dari kedangkalan-kedangkalan yang menyebabkan terjadinya
kekacauan dan perpecahan tersebut.
Tidak
hanya itu, masyarakat juga perlu untuk mengedukasi diri dalam memanfaatkan
media sosial. Dengan begitu, situasi yang terbilang sulit ini dengan sendirinya
perlahan tapi pasti jika sebagian besar masyarakat Indonesia mulai bijak dalam
mengelola informasi dan memanfaatkan media sosial dengan baik, maka
“kemarjinalan informasi” tersebut dapat diminimalisir.
0 Post a Comment:
Posting Komentar