Di
zaman sekarang, teknologi berkembang super cepat, terutama media sosial. Semua
orang dari berbagai kalangan, termasuk anak muda, pasti sudah nggak asing lagi
sama platform kayak Instagram, TikTok, atau Twitter. Media sosial memang banyak
manfaatnya, tapi sayangnya, bisa jadi tempat subur buat masalah sosial yang
serius, salah satunya perundungan (bullying). Artikel ini bakal bahas tentang
perundungan di media sosial, apa aja penyebabnya, dan gimana cara nyelesainnya.
Semoga bisa nambahin kesadaran kita untuk bikin dunia digital yang lebih aman
dan nyaman, khususnya buat anak muda.
Salah
satu contoh kasunya adalah tragedi influencer Malaysia yang bunuh diri karena
nggak tahan di-bully di media sosial. Perundungan di media sosial emang
masalah besar, karena sifatnya yang mudah diakses dan jangkauan globalnya yang
super luas. Ada beberapa faktor yang bikin perundungan makin parah, salah
satunya adalah anonimitas. Pelaku bisa nyembunyiin identitasnya dan
merasa lebih berani nge-bully tanpa takut ketahuan atau dihukum. Selain
itu, media sosial juga kurang pengawasan, jadi banyak pelaku yang bisa nyebarin
konten merugikan tanpa takut ditindak.
Salah
satu kasus yang bikin heboh adalah kejadian di Malaysia, dimana seorang
influencer bernama Rajeswary Appahu bunuh diri setelah di-bully di media
sosial. Berdasarkan laporan dari Liputan 6, setelah dilakukan penyelidikan,
ternyata ada dua orang yang jadi pelaku perundungan ini. Salah satunya adalah
pemilik panti jompo, Shalini Periasamy, yang didenda RM100 (sekitar Rp.
356.700) karena komentar nggak pantas di TikTok. Yang satunya lagi, seorang
sopir truk, Sathiskumar, dijatuhi hukuman penjara selama 1 tahun karena
menyerang Rajeswary secara verbal lewat akun TikTok-nya.
Sayangnya,
meskipun udah ada proses hukum, dampak perundungannya sangat besar. Rajeswary
ditemukan meninggal di rumahnya pada 5 Juli 2024 setelah lebih dari sebulan di-bully
tanpa henti. Insiden ini bikin publik Malaysia marah dan membuka mata banyak
orang tentang bahaya perundungan di dunia maya, apalagi untuk perempuan.
Perundungan
di media sosial bukan cuma masalah sepele. Ada banyak faktor yang bikin hal ini
berkembang, seperti anonimitas pelaku, kurangnya pengawasan, budaya cyberbullying,
dan tekanan sosial. Semua ini bisa ngasih dampak yang sangat buruk bagi korban,
bahkan bisa berujung pada bunuh diri.
Untuk
ngurangin perundungan di media sosial, kita perlu pendekatan yang lebih
holistik, bukan cuma hukuman buat pelaku, tapi juga dengan menciptakan
lingkungan digital yang positif dan mendukung. Salah satu caranya adalah dengan
edukasi sejak dini. Kita harus ngajarin tentang etika digital, tanggung
jawab online, dan pentingnya empati. Pendidikan ini gak cuma buat anak-anak dan
remaja, tapi juga buat orang tua dan pendidik supaya mereka bisa lebih ngerti
dunia digital, ngawasin aktivitas online, dan ngasih dukungan yang
tepat. Sekolah juga perlu masukin pendidikan tentang literasi media ke dalam
kurikulumnya.
Selain
itu, platform media sosial juga punya peran penting. Mereka harus memperbaiki
fitur pelaporan, respons cepat terhadap laporan perundungan, dan bikin
algoritma yang bisa deteksi konten bullying. Platform juga harus punya
kebijakan tegas soal perundungan dan transparan dalam proses penanganannya,
biar pengguna bisa percaya dan merasa aman. Kerja sama antara platform dan
organisasi anti-perundungan juga penting buat bikin solusi yang lebih efektif.
Jadi,
ayo kita bareng-bareng buat menciptakan lingkungan digital yang lebih sehat,
bebas dari perundungan!