• Ingin Cerita Anda Menginspirasi Dunia | Coming Soon

    Di Zona Insight, kami percaya bahwa setiap individu dan kelompok memiliki cerita yang layak didengar. Kami hadir untuk membantu Anda mempublikasikan ide, pengalaman, atau prestasi agar menjangkau lebih banyak audiens.

  • Ayo Jadi Penulis di Zona Insight | Klik di sini untuk Daftar

    Manfaatkan kesempatan selama 3 bulan bersama Zona Insight untuk memberi dampak dan inspirasi lewat tulisan. Kamu juga akan dibekali pengetahuan dan keterampilan menulis oleh mentor Zona Insight, serta mendapatkan sertifikat penghargaan sebagai penulis inspiratif.

Jumat, 13 Desember 2024

Kerajaan Milenial


 

“Ketika anak muda tidak mendapat tempat di sebuah kerajaan, maka buatlah kerajaan sendiri dan jadilah raja di dalamnya,” Basri Amin. Sebuah kalimat yang amat menguatkan diri bagi anak muda agar menjadi berani dan pantang menyerah. Pada kondisi dunia yang penuh dengan kemajuan dan identik dengan persaingan, para anak muda berlomba-lomba untuk tampil lebih baik agar mendapat tempat di atas panggung globalisasi.

Era globalisasi tidak hanya menjadi tantangan bagi anak muda, melainkan juga menjadi medan perang di abad 21 sehingga perlu adanya kekuatan yang teramat besar untuk bisa berjaya dan tampil sebagai pemenang. Kekuatan yang dimaksud berhubungan dengan mental dan skill yang dimiliki setiap anak muda sebagai modal untuk dapat bersaing dan memberikan kontribusi terhadap negeri yang begitu dicintai.

Menyinggung perihal globalisasi, Dana Moneter Internasional (IMF) mengidentifikasi dasar globalisasi dalam empat aspek yakni perdagangan dan transaksi, pergerakan modal dan investasi, migrasi dan perpindahan manusia, serta pembebasan ilmu pengetahuan. Sehubungan dengan empat aspek tersebut, telah terjadi perubahan besar-besaran yang mulai terasa pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 yang oleh Friedrich Engels dan Louis Auguste Blanqui menyebutnya sebagai revolusi industri dan hingga kini telah memasuki era ke-4 atau dikenal dengan istilah revolusi industri 4.0.

Bicara perihal revolusi industri 4.0, tentu tidak lepas dari keterlibatan anak muda sebagai generasi milenial yang disebut-sebut menjadi penggerak utama era 4.0, sehingga sebuah keharusan  dalam menghadapi perubahan dimaksud bukanlah hal yang absurd bahwa anak muda dihantui oleh penyesuaian perilaku hingga pemantapan keterampilan yang secara mutlak harus dimiliki dan dikuasai. Jika tidak, anak muda hanya akan menjadi penonton yang ahli dalam mengomentari tetapi tidak memiliki keterampilan atau skill sebagai alat untuk tampil di panggung dunia.

Sehubungan dengan itu, BAPPENAS (2018) menyatakan bahwa Indonesia akan mengalami bonus demografi di 2030 mendatang, sebagai hadiah yang harus disikapi dengan sedemikian serius. Artinya, anak muda akan menjadi pemeran utama dalam menghadapi tantangan global yang semakin maju dan penuh dengan persaingan.

Oleh karena itu, muncul pertanyaan besar, apakah saat itu Indonesia akan baik-baik saja di tangan anak mudanya? Atau justru sebaliknya? Hanya kita sebagai anak mudalah yang dapat menjawab pertanyaan tersebut. Namun begitu, sebagai warga negara yang memiliki cita-cita yang luhur, kita sepatutnya optimis tidak hanya dengan kondisi Indonesia sepuluh atau duapuluh tahun mendatang, tetapi akan seperti apa kita sebagai anak muda sepuluh hingga duapuluh tahun yang akan datang.

Optimisme anak muda sangat penting sebagai upaya meyakinkan diri bahwa kita mampu untuk menghadapi fenomena di era 4.0. Dalam fenomena revolusi industri 4.0 ini, selain kecanggihan teknologi, kemudahan mengakses informasi, banyaknya persaingan di dunia kerja, dan fenomena lain yang begitu rumitnya, hadir sebuah tantangan yang menjadi pekerjaan rumah terbesar kita saat ini. Tantangan tersebut adalah kesiapan sumber daya manusia yang ada khususnya kondisi anak muda itu sendiri. Seberapa berkualitasnya generasi milenial yang ada untuk menunjang kemajuan dan kecanggihan dunia.

Kemajuan dan kecanggihan teknologi telah menyebabkan munculnya konsekuensi sosial yang menjadi dorongan tersendiri bagi anak muda agar tidak menjadi generasi yang tertinggal atau diam di tempat. Lalu, apa yang seharusnya perlu dilakukan anak muda dalam menghadapi perang globalisasi di abad 21 ini? Tentu perang yang dimaksud bukanlah perang melawan orang lain, melainkan perang melawan tantangan kemajuan dan perang melawan diri sendiri. Oleh karena itulah saya selaku representatif dari anak muda berpandangan bahwa kerajaan yang dimaksud pada pembuka tulisan di atas adalah kerajaan yang lahir dari keterampilan dan kreativitas yang kita miliki lalu dibesarkan dengan saling bekerja sama atau berkolaborasi untuk meruntuhkan rumitnya tantangan globalisasi tersebut.

Keterampilan dan kreativitas yang dimaksud akan menjadi investasi paling besar sebagai upaya menaklukkan diri dari sikap apatis (acuh tak acuh), malas, dan pesimis (putus asa). Selain itu, keterampilan dan kreativitas akan menjadi senjata terbesar untuk menjaga dan mengokohkan kerajaan dimaksud. Setelah memperkuat kerajaan dengan keterampilan dan kreativitas tersebut, kemudian kita harus melibatkan orang lain sebagai bentuk kolaborasi dalam menghadapi tantangan globalisasi abad 21.

Dalam implementasinya, sebagai anak muda yang visioner kita harus pintar membaca peluang yang ada. Hal tersebut sangat penting untuk mengetahui keterampilan, minat/bakat (passion) apa yang kita miliki, sehingga memudahkan kita untuk mengembangkannya sebagai bekal diri sendiri di masa yang akan datang. 

Kita tentu sadar, bahwa setiap manusia dilahirkan dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing, sehingga melibatkan orang lain dalam setiap aktivitas penyesuaian diri bukanlah hal yang harus dihindari. Justru di era yang semakin terbuka ini kita pun harus terbuka menerima perubahan dan kelebihan orang lain agar tercipta lingkungan yang produktif dan saling menguntungkan. Kita boleh berprasangka baik agar mental anak muda atau generasi milenial tidak hanya dapat memperbaiki diri sendiri melainkan juga orang lain dan lingkungan sekitarnya.

Selasa, 10 Desember 2024

Kemarjinalan Informasi

 

Ketika semua aktivitas kehidupan kita belakangan ini disepuh kata-kata ajaib mondialisasi, tiba-tiba kita disudutkan oleh kenyataan lain yang tak kalah ajaibnya. Yakni, munculnya efek jurnalisme (Journalism effect), Wibowo (2007).

Kondisi manusia di era digitalisasi ini terbilang semakin rumit. Dalam implementasinya, manusia semakin disibukkan dengan kebiasaan ilmiah yang orang akademik menyebutnya dengan istilah ‘research’. Sebuah proses mencari tahu kata-kata ajaib dari mondialisasi dengan menggunakan instrumen yang telah ada sebagai upaya memperoleh informasi yang dapat dipercaya kebenarannya (autentik).

Namun pada kenyataannya, tidak sedikit orang yang terburu-buru menafsirkan informasi tanpa melakukan proses pengklarifikasian informasi tersebut. Akibatnya, orang-orang semakin tidak peduli dengan kebenaran informasi sehingga berdampak pada perpecahan dan kekacauan yang disebabkan oleh informasi yang tidak jelas kebenarannya.

Sejalan dengan perkembangan informasi yang semakin cepat, sebuah istilah ‘nakal’ bisa saja dianalogikan pada akibat yang teramat membahayakan ini. Sebut saja kondisi itu sebagai “kemarjinalan informasi.” Sebuah kondisi yang perlu dibenahi dengan sedemikian serius agar tidak berdampak buruk bagi Indonesia ke depannya.

Tentu bicara mengenai kemarjinalan tidak hanya berlaku pada kondisi sosial dan ekonomi saja, melainkan hal yang sama juga dapat dijabarkan untuk menjelaskan keberadaan masyarakat Indonesia dalam hal memperoleh dan menyebarkan informasi yang aktual dan dapat dipertanggungjawabkan.

Keberadaan informasi yang semakin berkembang dan luas ini, masyarakat dituntut untuk lebih bijak dalam menerima dan menyebarkan informasi. Tidak hanya itu, keberadaan media perlu juga mendapat pengawasan yang lebih ketat lagi untuk mencegah terjadinya kecacatan media dalam menyebarkan berita dan informasi.

Biasanya, Indonesia kerap kali dikacaukan oleh situasi yang amat serius sebagai akibat dari penyebaran informasi yang tidak autentik serta mengandung unsur kebencian. Mirisnya lagi, masyarakat Indonesia seolah terjebak oleh kedangkalan nalar yang berkepanjangan. Bagaimana tidak, harus diakui bahwa masyarakat Indonesia belum mampu mencerna informasi yang diterimanya. Baik melalui media masa maupun media cetak.

Oleh karena situasi yang sedemikian ricuh tersebut, saat ini Indonesia sedang dilanda krisis informasi. Bagaimana tidak, ajang PEMILU misalnya, menjadi alasan besar serta pemantik munculnya informasi-informasi palsu (hoax). Informasi ataupun berita palsu tersebut juga ditandai dengan munculnya situs-situs berita palsu maupun konten-konten yang mengandung kebencian sara dan sentimentil yang tersebar luas hampir di semua media sosial.

Munculnya berita palsu dikarenakan kebenaran ataupun keautentikan dari suatu berita maupun informasi tidak lagi menjadi hal yang substansial, melainkan siapa yang paling cepat dalam menyebarkan informasi tersebut. Akibatnya, banyak oknum baik individu maupun kelompok berlomba-lomba untuk menyajikan berita atau informasi yang belum jelas kebenarannya. Sehingga masyarakat pun dengan mudahnya bisa terprovokasi oleh informasi-informasi yang dapat menimbulkan perpecahan dan permusuhan antar sesama kelompok masyarakat.

Bicara mengenai hoax, tidak banyak masyarakat Indonesia yang paham betul bagaimana menyikapi informasi atau berita-berita yang diterima baik melalui media sosial maupun situs-situs web yang secara terang-terangan menyebarkan informasi yang belum tentu kebenarannya dan belum jelas referensinya. Oleh karena kebanyakan orang ataupun media ingin tampil terdepan dalam menyebarkan informasi, akibatnya penyebaran hoax-pun semakin tidak dapat terkendali.

Sementara itu, hoax sangatlah beragam, mulai dari isu agama, etnis, bahkan politik. Hoax juga mengakibatkan terjadinya kegelisahan yang amat serius bagi semua kalangan. Masyarakat yang ikut menyebarkan informasi palsu tersebut dikarenakan beberapa hal-diantaranya; ketidaktahuan terhadap informasi yang diterima dan yang disebarkan, unsur kesengajaan untuk menjatuhkan individu atau kelompok, ingin mendapat pengakuan, dan lain-lain.

Herannya lagi, para pelaku yang secara sadar ikut menyebarkan informasi palsu tidak hanya dilakukan oleh orang-orang biasa, melainkan juga orang-orang yang memiliki gelar sarjana atau yang berpendidikan tinggi. Oleh sebab itulah, eksistensi hoax ini terus bergulir dan berkepanjangan menghantui kedamaian dan ketenteraman masyarakat Indonesia.

Sebuah catatan histori memperkirakan kemunculan hoax ini dimulai sejak 1960-an hingga 1970-an. Sampai detik ini, penyebaran hoax makin meningkat. Eksistensi hoax yang paling menghebohkan dunia terjadi pada konstelasi pemilihan umum presiden Amerika Serikat 2016 silam. Sebelumnya Indonesia juga mengalami kondisi yang sama pada perhelatan pemilihan umum 2014 lalu. Terlebih lagi pada konstelasi pemilihan umum 2019 dan 2024 kemarin, puncak serangan hoax semakin menjadi-jadi. Oleh karena itu, pihak-pihak terkait yang merasa memiliki tanggungjawab penuh terhadap bahaya hoax, mengambil langkah strategis untuk menghentikan atau meminimalisir penyebaran berita atau informasi palsu tersebut.

Dalam kondisi yang cukup memprihatinkan ini, masyarakat perlu memperbanyak edukasi informasi melalui literasi media sebagai upaya untuk mendewasakan nalar atau pikiran agar terhindar dari kedangkalan-kedangkalan yang menyebabkan terjadinya kekacauan dan perpecahan tersebut.

Tidak hanya itu, masyarakat juga perlu untuk mengedukasi diri dalam memanfaatkan media sosial. Dengan begitu, situasi yang terbilang sulit ini dengan sendirinya perlahan tapi pasti jika sebagian besar masyarakat Indonesia mulai bijak dalam mengelola informasi dan memanfaatkan media sosial dengan baik, maka “kemarjinalan informasi” tersebut dapat diminimalisir.


Jumat, 06 Desember 2024

Kenapa Hidup Secapek Itu?


Sumber Gambar: Canva


Kadang, hidup tuh rasanya kayak jalan di treadmill yang nggak ada ujungnya kan? Baru aja kelar satu tugas, eh, muncul lagi yang lain. Baru mau napas sebentar, eh, ada aja yang bikin ribet. Pernah nggak sih ngerasa capek banget, tapi bingung sendiri, ini capek karena apa?

Sebenernya, capek hidup itu wajar banget, kok. Namanya juga manusia, otak dan badan kita nggak dirancang buat kerja terus-terusan kayak mesin. Apalagi di zaman sekarang, hidup tuh nggak cuma soal kerja atau sekolah. Ada ekspektasi, standar sosial, dan overthinking yang nggak kelar-kelar. Liat orang lain sukses di medsos, langsung ngerasa hidup kita jauh banget dari kata "oke." Padahal, di balik layar mereka bisa jadi lagi struggling juga, cuman bedanya gak mereka posting di medsosnya.

Faktor lain? Bisa jadi kita terlalu memaksa diri. Kadang tuh kita lupa kalau diri sendiri juga butuh istirahat. Bukannya malas, tapi badan dan pikiran kita juga perlu waktu buat nge-recharge. Kalau baterai HP aja harus diisi ulang, masa kita nggak?

Nah ada beberapa faktor khusus yang membuat kita ngerasa “Kok, hidupku secapek ini ya?”

1.  1. Siklus hidup ‘dunia oriented’ maksudnya adalah ketika semua yang kita lakuin cuma fokus sama dunia: cari uang, barang mewah, popularitas, atau apapun yang bikin kita kelihatan ‘wah’ di depan orang lain. Kebahagiaan kita diukur dari materi atau pencapaian duniawi. Tapi masalahnya, dunia itu fana alias sementara. Mau sekeras apa pun kita ngejar, nggak bakal ada yang benar-benar bikin puas. Begitu dapat satu hal, kita langsung pengen yang lebih besar lagi. Bener atau bener banget? 

    2. Salah dalam menentukan ‘goals of life’. Kadang kita tuh suka salah langkah pas nentuin tujuan hidup. Misalnya, ada yang cuma ngejar "gue harus kaya, harus terkenal, harus punya ini-itu!" Tapi... pas udah dapet, kok tetep ngerasa kosong ya? Penting banget buat nentuin goals yang nggak cuma bikin kita bahagia sekarang, tapi juga bikin hidup kita lebih bermakna. Misalnya, “Gimana caranya gue bisa jadi manfaat buat orang lain?” atau “Apa yang bisa gue lakukan buat investasi akhirat gue?” Dengan goals yang lebih dalam kayak gitu, kita jadi punya arah yang jelas dan nggak gampang kehilangan tujuan walaupun ada tantangan di tengah jalan.

    3. Kehilangan cara pandang hidup yang benar. Maksudnya adalah kita nggak punya "kompas" buat nentuin arah hidup. Padahal, hidup itu perlu panduan. Kalau nggak punya prinsip atau pegangan, kita bisa gampang kebawa arus—entah itu tren, pendapat orang, atau bahkan godaan yang nggak baik. Akhirnya, keputusan-keputusan kita jadi asal-asalan, bahkan sering nyesel, dan merasa nggak puas sama apa pun yang kita jalani. Cara pandang hidup yang benar itu kayak peta. Kalau kita udah kehilangan peta itu, ya siap-siap aja tersesat, bingung, dan ngerasa hampa meskipun punya banyak hal. Dan hal ini punya cara pandang yang jelas itu penting banget buat diri kita, misalnya dengan ngeh tujuan hidup kita itu apa, nilai-nilai apa yang mau kita pegang, dan apa yang benar-benar bikin kita bahagia di jalan yang benar.

Jadi, kalau kamu ngerasa secapek itu, coba deh ambil waktu untuk istirahat sejenak. Jangan anggap semuanya harus selesai sekaligus. Belajar bilang "nggak" ke hal-hal yang nggak penting juga penting banget. Terakhir, coba hargai langkah kecil yang udah kamu ambil.

Capek itu tanda kamu hidup, tapi jangan sampai lupa kalau hidup juga harus dinikmati^^

Kamis, 05 Desember 2024

Takkan Cemas Kupercaya



Aku menginginkan seseorang yang bersamanya aku takkan cemas dengan kepercayaan. Yang keberadaannya membuatku merasa aman, bukan karena dia sempurna, tapi karena dia tahu bagaimana menjaga hati dan janji.

Aku menginginkan seseorang yang membuatku tenang tanpa harus selalu bertanya. Yang hatinya seteguh doanya, dan ucapannya adalah cerminan dari kesungguhan yang tak diragukan.

Bersamanya, aku ingin belajar percaya lagi.

Percaya bahwa cinta sejati ada, bahwa rasa bisa tumbuh tanpa bayang-bayang pengkhianatan, dan  kepercayaan bukanlah beban, melainkan hadiah yang dijaga bersama.

Aku menginginkan seseorang yang bersamanya aku tak perlu ragu. Karena hatinya tahu arah,  tujuannya selalu pada kebaikan; untuk dunia dan akhirat.

Yuk, Normalisasi Datang Tepat Waktu itu Keren

 



Datang tepat waktu mungkin terdengar sederhana, tetapi dampaknya luar biasa bagi kehidupan sehari-hari kita. Sayangnya, di beberapa tempat, keterlambatan sudah seperti budaya yang 'tak tertulis—sering dianggap biasa, bahkan dimaklumi. Padahal, hadir tepat waktu adalah kebiasaan yang bukan hanya menunjukkan rasa hormat kepada orang lain, tetapi juga mencerminkan karakter yang bertanggung jawab. Mari kita mulai melihat datang tepat waktu sebagai sesuatu yang keren dan layak untuk dinormalisasi.  

Mengapa tepat waktu itu penting? Ketika seseorang datang tepat waktu, mereka sebenarnya sedang menghargai hal-hal yang jauh lebih besar dari sekadar jadwal. Tepat waktu adalah bukti nyata bahwa Kamu peduli dengan waktu orang lain. Kamu tidak hanya menghormati, tetapi juga menunjukkan bahwa Kamu dapat diandalkan. Reputasi Kamu di mata teman, rekan kerja, atau bahkan atasan, meningkat hanya dengan kebiasaan sederhana ini.  

Namun, lebih dari sekadar citra, tepat waktu juga memberikan keuntungan pribadi. Kamu akan merasa lebih teratur, produktif, dan efisien. Keterlambatan seringkali menambah tekanan, baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain yang menunggu. Ketika semua dimulai tepat waktu, harmoni pun tercipta, menjadikan semua lebih mudah dan menyenangkan.  

Lalu, mengapa banyak orang masih terlambat? Di beberapa komunitas, ada istilah "jam karet" yang menggambarkan toleransi terhadap keterlambatan. Pola ini sering kali berasal dari kebiasaan yang sudah berlangsung lama, hingga dianggap hal yang lumrah. Selain itu, banyak orang tidak mengelola waktu mereka dengan baik. Perencanaan yang buruk, terlalu banyak menunda, atau menganggap waktu orang lain kurang penting adalah beberapa alasan utama keterlambatan.  

Ironisnya, meskipun banyak yang tahu bahwa datang terlambat itu tidak baik, kebiasaan ini sulit diubah tanpa kesadaran yang nyata. Ketidaksadaran akan dampak keterlambatan terhadap orang lain menjadi penghalang besar untuk menciptakan perubahan.  

Nah kita perlu memiliki langkah nyata untuk normalisasi tepat waktu. Jika kita ingin membuat perubahan, langkah pertama adalah mengubah pola pikir kita. Sadari bahwa waktu adalah aset berharga yang tidak bisa diulang. Ketika Kamu menghargai waktu, Kamu sebenarnya sedang menghargai hidup itu sendiri. Mulailah dengan merencanakan hari Kamu secara realistis. Sisihkan waktu tambahan untuk persiapan, dan pastikan Kamu memperhitungkan kemungkinan hambatan.  

Agar dampaknya lebih besar dan meluas, bawa juga perubahan ini ke komunitas Kamu. Mengajak teman, keluarga, atau rekan kerja untuk bersama-sama berkomitmen datang tepat waktu adalah langkah sederhana tetapi bermakna. Berikan apresiasi kepada mereka yang berhasil tepat waktu dan buatlah suasana positif di sekitar kebiasaan ini.  

Mengapa ini penting? Tepat waktu adalah cermin karakter positif. Datang tepat waktu adalah kebiasaan yang menunjukkan kepedulian, tanggung jawab, dan profesionalisme. Kebiasaan ini mungkin terlihat kecil, tetapi efeknya bisa sangat besar, baik untuk individu maupun masyarakat.  

Mari kita ubah cara pandang kita. Normalisasi datang tepat waktu bukan sekadar slogan, tetapi langkah nyata untuk membangun lingkungan yang lebih baik. Yuk, mulai hari ini, jadikan tepat waktu sebagai kebiasaan keren kita semua!

Total Tayangan Halaman

Kategori

Recent Posts

Teknologi Canggih, Skill Harus Level Up: Gen Z Siap?

Zaman sekarang, siapa yang gak tau teknologi Artificial Intelligence (AI)? Semuanya bisa dikerjakan sama teknologi ini, bahkan dalam beberap...

Quotes

"Sebelum berpikir untuk mengubah dunia, terlebih dulu ubahlah pikiranmu" Arsa Danialsa_

Quotes

"Tidak ada yang namanya kegagalan, yang ada hanyalah feedback" Arsa Danialsa_

Butuh Bantuan?

Nama

Email *

Pesan *