Judul: Pulang
Penulis: Leila S. Chudori
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun Terbit: 2012
Ketebalan: 461 halaman
ISBN: 978-979-91-0515-8
Di Zona Insight, kami percaya bahwa setiap individu dan kelompok memiliki cerita yang layak didengar. Kami hadir untuk membantu Anda mempublikasikan ide, pengalaman, atau prestasi agar menjangkau lebih banyak audiens.
Manfaatkan kesempatan selama 3 bulan bersama Zona Insight untuk memberi dampak dan inspirasi lewat tulisan. Kamu juga akan dibekali pengetahuan dan keterampilan menulis oleh mentor Zona Insight, serta mendapatkan sertifikat penghargaan sebagai penulis inspiratif.
Judul: Pulang
Penulis: Leila S. Chudori
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun Terbit: 2012
Ketebalan: 461 halaman
ISBN: 978-979-91-0515-8
Setelah siang yang begitu rumit,
setidaknya ada malam yang menenangkan segalah hal yang pahit.
Bermalam di senyummu adalah ketenangan yang kubutuhkan.
Semesta juga mengiyakan.
Bahwa, tidak ada yang lebih tenggelam dari pelukan yang
menyamankan,
pelukanmu di saat-saat aku lemah oleh kehidupan.
Terima kasih atas kehangatan ini.
Kehangatan yang membuatku kuat dan lebih percaya diri.
Kehangatan yang membuatku tumbuh lebih dari ini,
tenang dan membekukan beban di hati.
Tidurlah, buatlah dirimu nyenyak di bawah pelukan malam.
Aku di sini, menjaga dari balik hatimu paling dalam.
Besok, bangunlah sebelum cahaya.
Sebab aku ada di sana,
Sebagai subuh yang membawa cinta.
Untuk kita,
Aku memelukmu dengan ketabahan,
pada tubuhmu yang lembut
penuh kehangatan,
dan rindu yang menyatu dalam pelukan.
Aku ‘tak menyangka,
di tubuhmu ada rindu yang
menyeruak tanpa suara.
menenggelamkan
permukaan-permukaan kata,
menjadi jingga yang diam seribu bahasa.
Di pelukanmu, aku menjadi laut.
Dan kau adalah permukaan
yang menenggelamkan.
Lalu aku, mati dan mengurai
menjadi dirimu.
Di dadamu, aku adalah suara
yang tidak beraturan.
: aku adalah sandaran debar
di jantungmu; dan kamu adalah dingin yang menyejukkan.
Selalu ingatlah ini,
sayang,
Kita merayakan setiap malam—mengantar malam menjadi tiada; alang melintang
menjadi bayang-bayang.
Lalu pagi datang di pinggir-pinggir cemara,
bertukar tempat dengan kita,
yang pada akhirnya,
kita pulang.
Pada tulisan ini kita akan mendiskusikan mengenai teknik mengelola stress, teknik mindfulness dan meditasi, serta megendalikan emosi negatif.
1. Teknik
Mengelola Stress
Pada situs ini, saya pernah menyinggung salah satu penyebab terjadinya
stress adalah penggunaan media sosial yang berlebihan pun tidak adanya
perencanaan agenda dan skala prioritas setiap harinya. Beban kerja yang banyak,
tugas yang menumpuk, serta tidak adanya waktu istirahat juga menjadi pemicu
utama dari adanya stress tersebut.
Ada
5 tips yang bisa kita lakukan agar dapat mengelola stress:
Pertama,
manajemen waktu dan skala prioritas. Sudah
pasti ini menjadi keharusan yang paling utama untuk kita lakukan. Tujuannya
agar setiap aktivitas yang kita lakukan setiap hari lebih produktif dan
terarah, sehingga terhindar dari aktivitas-aktivitas yang bisa memicu
terjadinya stress berkepanjangan. Termasuk bermain media sosial setiap waktu.
Kedua,
olahraga yang teratur. Tidak perlu melakukan olahraga
berat seperti angkat beban, cukup dengan berjalan minimal 10.000 langkah setiap
harinya, atau peregangan di sela-sela aktivitas atau pekerjaan, berenang, yoga,
dan lain sebagainya. Lakukan secara rutin dan terjadwal setiap harinya. Hal ini
dapat memicu peningkatan produksi endorfin yang dapat meningkatkan suasana hati
dan menekan terjadinya stress berkepanjangan.
Ketiga,
hobi dan rekreasi. Kita dapat meningkatkan
kebahagiaan atau suasana hati yang baik dengan cara menghabiskan waktu untuk hobi. Apalagi jika hobinya adalah
olahraga. Selain itu, aktivitas rekreasi juga dapat dijadikan pilihan untuk
menjaga dan meningkatkan suasana hati menjadi lebih baik dan bahagia.
Keempat,
relaksasi otot progresif. Dalam mempraktikkan poin ini,
kita perlu didampingi oleh seseorang yang sudah ahli atau seorang praktisi di
bidang ini. Jika tidak memiliki relasi, kita boleh mencari sumber-sumber dari
berbagai media, salah satunya media sosial yakni youtube.
Keenam,
teknik pernapasan 4-7-8. Teknik ini mampu mengatasi stress
dan dapat digunakan untuk relaksasi. Selain itu, teknik ini juga dapat
digunakan untuk mengatasi gugup dan sulit tidur. Penggunaan teknik ini cukup
sederhana, dengan cara menghirup udara selama 4 detik, lalu ditahan selama 7
detik, dan diembuskan selama 8 detik melalui mulut. Lakukan setiap pagi dan
malam hari sebelum istirahat, pun saat akan tampil di atas panggung atau
penampilan apapun yang membuat adrenalin kita meningkat. Setiap kali melakukan
teknik ini, ulangi 4-6 kali.
2. Teknik
Mindfulness dan Meditasi
Teknik
mindfulness dan meditasi ini sudah menjadi teknik umum yang tidak hanya
diketahui, melainkan dipraktikkan banyak orang—bahkan tanpa bantuan
professional sekalipun.
Mindfulness,
kita hanya perlu sadar dan menaruh perhatian, hadir pada setiap momen yang kita
lakukan (sedang berlangsung/saat ini). Banyak orang yang meskipun tubuhnya
sedang dengan apa yang dia kerjakan, tapi tidak dengan pikirannya yang mungkin
berada di tempat lain. Ada salah satu metode yang biasa saya lakukan untuk
menarik diri agar bisa sepenuhnya dan seutuhnya hadir dan fokus pada apa yang
dikerjakan saat ini. Namanya metode 5-4-3-2-1: mencari 5 benda yang bisa
kita lihat secara visual yang ada di dekat kita, lalu menyentuh 4 benda,
dengarkan 3 suara/bunyi, membaui 2 bau, dan mengecap 1 makanan/sesuatu yang
bisa dirasakan lidah.
Meditasi
mindfulness, teknik ini cukup sederhana,
kita hanya perlu duduk diam dengan posisi senyaman mungkin (direkomendasikan
posisi duduk meditasi dengan kaki bersila, tangan di atas lutut, dan mata
ditutup). Gunakan teknik pernapasan 4-7-8, fokuslah pada apa yang muncul di
pikiran kita tanpa berusaha mengubahnya. Latihan ini dapat membantu kita untuk menenangkan
pikiran dan meningkatkan kesadaran diri.
Body
Scan, latihan
ini merupakan cara kita untuk memindai dan merasakan sensasi di setiap bagian
tubuh kita. Apakah itu perasaan tidak nyaman atau rasa sakit. Hal ini dapat
membantu meningkatkan kesadaran diri dan relaksasi.
3. Mengendalikan
Emosi Negatif
Identifikasi
pemicu negatif, kenali situasi atau pikiran yang memicu
emosi negatif. Mengetahui pemicu dapat membantu kita untuk mengelola reaksi
dengan lebih baik.
Pengalihan
positif, kita juga dapat mengalihkan pikiran dengan cara
melakukan aktivitas yang menyenangkan, entah melakukan hobi atau sekadar
mendengarkan musik, nonton film, bersepeda, dan aktivitas menyenangkan lainnya.
Tuliskan
masalah dengan rinci, dengan menuliskan semua masalah
atau pemicu emosi negatif, kita telah berhasil menyelesaikan Sebagian masalah
tersebut. Biasanya hal ini terjadi karena kadang kala kita tidak bisa
mengidentifikasi masalah apa yang kita hadapi sehingga membatasi kita dalam
penemuan solusinya.
Mengeskpresikan
emosi, sebaiknya kita tidak menahan atau menekan
perasaan atau emosi negatif yang kita rasakan. Ekspresikan emosi itu dengan
cara yang sehat seperti menulis jurnal, bercerita dengan teman kepercayaan atau
orang tua, atau melakukan meditasi.
Sebenarnya
masih banyak cara yang dapat kita lakukan, tetapi, apa yang saya tuliskan di
atas secukupnya dapat membantu kita dalam mengatasi dan mengendalikan emosi
negatif.
Membangun Mindset Positif
Mindset positif adalah cara berpikir yang berfokus pada optimisme, keberanian, dan keyakinan bahwa segala sesuatu dapat berjalan dengan baik. Memiliki mindset positif sangat penting karena:
Mengenal Diri Sendiri—Pentingnya Self-Awareness
Self-awareness atau kesadaran diri adalah kemampuan untuk mengenali dan memahami emosi, pikiran, dan perilaku Anda sendiri. Ini penting karena:
Indonesia merupakan negara yang sangat beragam, baik dari segi agama maupun budaya. Sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia juga memiliki umat beragama lain seperti Kristen, Hindu, Budha, dan Konghucu serta aliran kepercayaan lainnya. Keberagaman itu menjadi sebuah keniscayaan yang harus dipelihara dan dilestarikan eksistensinya.
Munculnya
berbagai permasalahan yang berkaitan dengan kehidupan beragama di Indonesia,
seperti konflik antar umat beragama, radikalisme, dan sentimen keagamaan, mengharuskan adanya sebuah
instrumen yang dapat menjembatani perbedaan tersebut.
Moderasi
beragama menjadi salah satu pendekatan yang mampu mengelola perbedaan agama dan
budaya. Konsep moderasi beragama memiliki sejarah yang panjang di Indonesia. Konsep ini berasal
dari kearifan lokal dan pengalaman sejarah Islam di Indonesia yang telah
mengakomodasi keberagaman dan kesederhanaan dalam beragama.
Konsep
moderasi beragama kemudian semakin berkembang pada awal abad ke-20 ketika
gerakan keagamaan seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama muncul di Indonesia.
Kedua gerakan tersebut berusaha mengembangkan konsep Islam yang moderat, toleran,
dan mengakomodasi keberagaman dalam masyarakat.
Pada tahun 2010, mantan Ketua Umum PBNU, KH. Hasyim Muzadi memperkenalkan konsep Islam Nusantara sebagai alternatif untuk menghadapi tantangan keberagaman di Indonesia. Selain KH. Hasyim Muzadi, tokoh-tokoh lain seperti Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid), KH. Said Aqil Siradj, dan beberapa ulama dan tokoh masyarakat lainnya juga turut memperjuangkan konsep moderasi beragama ini di Indonesia. Konsep ini kemudian menjadi semakin populer dan dikenal secara luas di masyarakat Indonesia, terutama setelah Presiden Joko Widodo memperkenalkannya dalam pidato kenegaraannya pada tahun 2014.
Konsep moderasi beragama menjadi semakin relevan di era modern ini di mana tantangan keberagaman semakin kompleks dan membutuhkan pendekatan yang moderat, inklusif, dan mengakomodasi keberagaman dalam masyarakat.
Pada masa penjajahan, Islam di Indonesia telah diwarnai oleh kearifan lokal yang memungkinkan Islam di Indonesia bersinergi dengan budaya dan kepercayaan setempat. Hal ini terlihat dalam praktik Islam di Indonesia yang cenderung moderat dan toleran, serta menghargai keberagaman dalam masyarakat. Dalam konteks global, moderasi beragama juga telah dikenal di banyak negara, dan telah terbukti dapat menciptakan kehidupan yang harmonis antar umat beragama.
Di dunia ini, banyak diantara kita yang menginginkan untuk hidup produktif tetapi pada realitasnya, banyak hal yang mendistraksi kita untuk bermalas-malasan—menghabiskan waktu di depan layar handphone misalnya, entah bermain game atau menghabiskan waktu berjam-jam untuk scroll media sosial.
Kadang
kita ingin melepaskan diri dari aktivitas paling sia-sia itu, tapi apa daya,
seolah diri kita telah terhipnotis untuk tetap melakukannya. Dopamin kita telah
terbiasa dengan kesenangan-kesenangan yang sifatnya instan.
Sebagai
akibatnya, tubuh kita kadang merasakan lelah berkepanjangan, kepala terasa
berat dan sakit, sampai tanpa kita sadari, emosi dan energi kita juga ikut
terkuras habis. Jangan tanya kenapa kadang kala dalam beberapa waktu, emosi
kita menjadi tidak stabil, mudah tersinggung, selalu overthinking bahkan
sering merasa insecure karena terlalu banyak melihat pencapaian orang di
media sosial sehingga kita sering membandingkannya dengan kehidupan kita yang
semengasihankan ini.
Jangan
tanya kenapa, generasi sekarang begitu akrab dengan sebutan mental health,
faktanya, justru kita sendiri yang merusak mental kita dengan perilaku-perilaku
atau aktivitas-aktivitas yang tidak begitu produktif dan hanya akan merugikan
diri sendiri.
Percaya
atau tidak, penggunaan media sosial yang berlebihan memiliki dampak negatif
yang sama berbahayanya dengan mengonsumsi narkoba. Kita menjadi kecanduan untuk
hidup lebih lama di dalam media sosial, dan seperti apa yang kita diskusikan di
atas, hal tersebut dapat mengaktifkan dopamin yang membuat kita merasa nyaman
untuk berlama-lama menggunakan media sosial.
Oleh
karena itulah, kita akan sering merasakan kecemasan, depresi, bahkan penyakit
fisik (sebab fisik dan mental manusia adalah satu kesatuan yang saling
berhubungan. Jika mental terganggu, maka fisik pun akan terganggu, begitu juga
sebaliknya).
Hal ini
relevan dengan data yang dikeluarkan oleh Pew Research Center, terdapat 69% orang dewasa dan 81% remaja di AS
menggunakan media sosial. Hal ini berdampak pada peningkatan risiko terjadinya
kecemasan, depresi, bahkan tak jarang orang akan merasakan sakit hati terhadap
hal-hal yang mereka lihat melalui kolom komentar di media sosial.
Tidak
hanya itu, sebuah penelitian di Inggris pada tahun 2018 mengaitkan penggunaan
media sosial dengan penurunan, gangguan, dan keterlambatan tidur, yang
dikaitkan dengan depresi, kehilangan ingatan, dan kinerja akademis yang buruk.
Penggunaan media sosial dapat memengaruhi kesehatan fisik penggunanya secara
lebih langsung.
Para peneliti mengetahui hubungan antara pikiran dan usus dapat mengubah kecemasan dan depresi menjadi mual, sakit kepala, ketegangan otot, dan gemetar. Jangan heran, beberapa di antara kita mungkin pernah dan sering merasakan dampak ini. Lalu, apa sebenarnya yang menyebabkan kita menjadi kecanduan dengan media sosial? Jawabannya adalah, karena kita tidak memiliki perencanaan atas kehidupan kita sehari-hari.
Jika
kita tidak memiliki rundown atau agenda dalam menjalankan aktivitas
sehari-hari, maka akan ada begitu banyak pelarian yang kita lakukan untuk
mengisi waktu luang kita. Sebut saja menghabiskan waktu berjam-jam di media
sosial.
x
Pukul dua tiga,
aku
meneguk kopi dari gelas-gelas waktu
aku
mengaduk rindu sampai tumpah
kita
yang belum bertemu dari kemarin,
aku
menjadi pahit
tidak
semanis kau ada di sampingku
hujan belum
turun lagi
sejak
kemarin,
mendung
pindah ke mataku,
langit
hilang di matamu
kita
adalah semesta hitam dan putih
Dalam implementasinya, literasi disebut-sebut sebagai kunci generasi muda dalam menghadapi laju perkembangan dunia yang begitu cepat. Hanya ada dua pilihan, diam dan tertinggal atau bergerak dan maju.
Sebelumnya, masyarakat memandang literasi merupakan aktivitas membaca dan menulis yang menjadi landasan pengetahuan dunia. Namun, semakin lama definisi literasi tidak lagi bersifat definitif belaka. Definisi literasi tidak lagi sebatas membaca dan menulis saja, melainkan erat kaitannya dengan aktivitas kehidupan manusia sehari-hari.
Dewasa ini, ada 6 cabang literasi yang perlu kita ketahui yakni; literasi baca tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi finansial, literasi digital, dan literasi budaya & kewargaan. Enam cabang literasi inilah yang menjadi kunci di abad ke-21. Sehingga masyarakat dituntut untuk dapat menguasai esensi dari literasi yang sebenarnya.
Dalam perkembangannya, dari tahun ke tahun sejak ditetapkannya 8 September sebagai Hari Literasi Internasional oleh UNESCO, momentum ini menjadi euforia tersendiri bagi masyarakat dunia sebagai bentuk kontemplasi untuk merevitalisasi kembali dasar pengetahuan dalam literasi yaitu membaca dan menulis. Bagi masyarakat Indonesia, literasi khususnya minat baca masyarakat menjadi perhatian besar, bahwa literasi Indonesia perlu ditingkatkan demi tercapainya Indonesia yang maju dan berbudaya.
Kondisi literasi Indonesia semakin diperburuk lagi dengan munculya survei yang dilakukan oleh banyak lembaga internasional yang menyatakan bahwa kondisi literasi Indonesia masih sangat rendah. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Central Connecticut State University menyatakan bahwa budaya literasi dalam hal ini membaca masyarakat Indonesia pada Maret 2016, terburuk kedua dari 61 negara, yakni urutan ke 60. Dibandingkan dengan negara tetangga, Indonesia tertinggal begitu jauh. Sebut saja Singapore yang berada di posisi ke-16. Hal tersebut selaras dengan data yang dikeluarkan oleh UNESCO pada 2016 yang menyebutkan bahwa minat baca Indonesia hanya sebesar 0.001% atau di antara 1000 masyarakat Indonesia hanya ada 1 orang yang memiliki minat baca yang tinggi. Kondisi tersebut menjadi rapor merah terhadap literasi Indonesia sekaligus menjadi tantangan tersendiri bagi masyarakat dan pemerintah untuk terus bergerak melakukan revolusi besar-besaran terhadap kondisi dari literasi yang ada di Indonesia.
Dalam perjalanannya, Indonesia berupaya keras untuk keluar dari zona yang begitu memprihatinkan. Terbukti dengan adanya perhatian pemerintah, ORMAS, ORMAWA, komunitas, dan kelompok-kelompok pemuda yang turut serta dalam mempromosikan pentingnya literasi khususnya minat baca di kalangan masyarakat.
Hadirnya ribuan taman baca di Indonesia juga menjadi revolusi literasi yang perlahan mulai menguasai sudut-sudut generasi sehingga kesenjangan-kesenjangan pengetahuan perlahan mulai terkikis oleh adanya gerakan-gerakan dinamis yang dilakukan oleh masyarakat itu sendiri. Tidak hanya itu, hadirnya program pengiriman buku gratis setiap tanggal 17 tiap bulannya yang dipelopori oleh Pustaka Bergerak Indonesia (PBI) menjadi jembatan besar bagi masyarakat untuk memperoleh buku secara gratis agar semakin mudah untuk menyesuaikan dengan situasi yang semakin rumit dan maju ini.
Saat ini, ada dua situasi yang dihadapi dunia khususnya Indonesia. Selain revolusi iastry 4.0, masyarakat dihadapkan juga dengan adanya program pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals) atau SDGS 4.6. Visi agenda pembangunan berkelanjutan yang ditargetkan pada 2030 menjadi kesempatan bagi anak muda dan orang dewasa untuk meningkatkan kemampuan diri sehingga masyarakat ias menyesuaikan diri dengan lingkungan yang semakin maju ini.
Harapannya, anak muda tidak lagi terfokus pada sistem klasik melainkan mulai berfokus pada sistem modernisasi, sehingga SDM yang unggul dan berkualitas perlahan tapi pasti dapat terwujud demi meningkatkan presentase minat baca dan literasi masyarakat yang begitu terpuruk.
Dua keadaan di atas menjadi tantangan terbesar masyarakat Indonesia khususnya Gorontalo, untuk bergerak secara dinamis, visioner dan lebih terampil. Menghadapi tantangan revolusi industri 4.0 dan SDGS 4.6, masyarakat dituntut untuk cerdas tidak hanya cerdas nalar melainkan cerdas dalam bersikap. Intelek dan etika seperti halnya dua sisi mata uang yang berbeda namun berada dalam satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan.
Dari sisi intelek, kualitas berpikir manusianya perlu diasah agar peka terhadap informasi dan perkembangan teknologi yang semakin pesat, sehingga terhindar dari dampak kebodohan yang universal. Mengingat, di era yang sudah sangat terbuka ini, ada begitu banyak informasi yang beredar luas di masyarakat, sehingga apabila kita gagal dalam menyerap dan mengolah informasi tersebut, justru akan berakibat fatal baik bagi diri sendiri maupun orang banyak.
Sementara dari sisi etika, tingkah laku manusianya juga menjadi poin utama untuk mengimbangi nalar dan pola pikir, agar nilai-nilai keharmonisan dalam menyikapi dampak komunikasi yang semakin komplek dapat teratasi dengan sebaik mungkin. Mari sejenak kita tilik status quo yang ada saat ini, berapa banyak permusuhan yang terjadi akibat adanya informasi yang tidak tersaring dengan baik (hoaks) beredar luas di masyarakat. Tidak hanya itu, berapa banyak media-media yang terlalu berfokus pada money oriented dari pada berorientasi pada informasi yang autentik. Kondisi tersebut menjadi bukti, bahwa sudah sewajarnya kita memiliki kecerdasan dalam berpikir dan bersikap sebagai bentuk implementasi dalam berliterasi.
Inilah yang menjadi substansi dari literasi yang dimaksud, bahwa literasi hanya sebatas membaca dan menulis merupakan pemahaman klasik yang seharusnya diperbaiki. Dengan berliterasi kita akan mampu menjalani hidup sekarang dan nanti demi hidup yang lebih baik di masa yang akan datang.
Zaman sekarang, siapa yang gak tau teknologi Artificial Intelligence (AI)? Semuanya bisa dikerjakan sama teknologi ini, bahkan dalam beberap...