Dalam implementasinya, literasi disebut-sebut sebagai kunci generasi muda dalam menghadapi laju perkembangan dunia yang begitu cepat. Hanya ada dua pilihan, diam dan tertinggal atau bergerak dan maju.
Sebelumnya, masyarakat memandang literasi merupakan aktivitas membaca dan menulis yang menjadi landasan pengetahuan dunia. Namun, semakin lama definisi literasi tidak lagi bersifat definitif belaka. Definisi literasi tidak lagi sebatas membaca dan menulis saja, melainkan erat kaitannya dengan aktivitas kehidupan manusia sehari-hari.
Dewasa ini, ada 6 cabang literasi yang perlu kita ketahui yakni; literasi baca tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi finansial, literasi digital, dan literasi budaya & kewargaan. Enam cabang literasi inilah yang menjadi kunci di abad ke-21. Sehingga masyarakat dituntut untuk dapat menguasai esensi dari literasi yang sebenarnya.
Dalam perkembangannya, dari tahun ke tahun sejak ditetapkannya 8 September sebagai Hari Literasi Internasional oleh UNESCO, momentum ini menjadi euforia tersendiri bagi masyarakat dunia sebagai bentuk kontemplasi untuk merevitalisasi kembali dasar pengetahuan dalam literasi yaitu membaca dan menulis. Bagi masyarakat Indonesia, literasi khususnya minat baca masyarakat menjadi perhatian besar, bahwa literasi Indonesia perlu ditingkatkan demi tercapainya Indonesia yang maju dan berbudaya.
Kondisi literasi Indonesia semakin diperburuk lagi dengan munculya survei yang dilakukan oleh banyak lembaga internasional yang menyatakan bahwa kondisi literasi Indonesia masih sangat rendah. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Central Connecticut State University menyatakan bahwa budaya literasi dalam hal ini membaca masyarakat Indonesia pada Maret 2016, terburuk kedua dari 61 negara, yakni urutan ke 60. Dibandingkan dengan negara tetangga, Indonesia tertinggal begitu jauh. Sebut saja Singapore yang berada di posisi ke-16. Hal tersebut selaras dengan data yang dikeluarkan oleh UNESCO pada 2016 yang menyebutkan bahwa minat baca Indonesia hanya sebesar 0.001% atau di antara 1000 masyarakat Indonesia hanya ada 1 orang yang memiliki minat baca yang tinggi. Kondisi tersebut menjadi rapor merah terhadap literasi Indonesia sekaligus menjadi tantangan tersendiri bagi masyarakat dan pemerintah untuk terus bergerak melakukan revolusi besar-besaran terhadap kondisi dari literasi yang ada di Indonesia.
Dalam perjalanannya, Indonesia berupaya keras untuk keluar dari zona yang begitu memprihatinkan. Terbukti dengan adanya perhatian pemerintah, ORMAS, ORMAWA, komunitas, dan kelompok-kelompok pemuda yang turut serta dalam mempromosikan pentingnya literasi khususnya minat baca di kalangan masyarakat.
Hadirnya ribuan taman baca di Indonesia juga menjadi revolusi literasi yang perlahan mulai menguasai sudut-sudut generasi sehingga kesenjangan-kesenjangan pengetahuan perlahan mulai terkikis oleh adanya gerakan-gerakan dinamis yang dilakukan oleh masyarakat itu sendiri. Tidak hanya itu, hadirnya program pengiriman buku gratis setiap tanggal 17 tiap bulannya yang dipelopori oleh Pustaka Bergerak Indonesia (PBI) menjadi jembatan besar bagi masyarakat untuk memperoleh buku secara gratis agar semakin mudah untuk menyesuaikan dengan situasi yang semakin rumit dan maju ini.
Saat ini, ada dua situasi yang dihadapi dunia khususnya Indonesia. Selain revolusi iastry 4.0, masyarakat dihadapkan juga dengan adanya program pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals) atau SDGS 4.6. Visi agenda pembangunan berkelanjutan yang ditargetkan pada 2030 menjadi kesempatan bagi anak muda dan orang dewasa untuk meningkatkan kemampuan diri sehingga masyarakat ias menyesuaikan diri dengan lingkungan yang semakin maju ini.
Harapannya, anak muda tidak lagi terfokus pada sistem klasik melainkan mulai berfokus pada sistem modernisasi, sehingga SDM yang unggul dan berkualitas perlahan tapi pasti dapat terwujud demi meningkatkan presentase minat baca dan literasi masyarakat yang begitu terpuruk.
Dua keadaan di atas menjadi tantangan terbesar masyarakat Indonesia khususnya Gorontalo, untuk bergerak secara dinamis, visioner dan lebih terampil. Menghadapi tantangan revolusi industri 4.0 dan SDGS 4.6, masyarakat dituntut untuk cerdas tidak hanya cerdas nalar melainkan cerdas dalam bersikap. Intelek dan etika seperti halnya dua sisi mata uang yang berbeda namun berada dalam satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan.
Dari sisi intelek, kualitas berpikir manusianya perlu diasah agar peka terhadap informasi dan perkembangan teknologi yang semakin pesat, sehingga terhindar dari dampak kebodohan yang universal. Mengingat, di era yang sudah sangat terbuka ini, ada begitu banyak informasi yang beredar luas di masyarakat, sehingga apabila kita gagal dalam menyerap dan mengolah informasi tersebut, justru akan berakibat fatal baik bagi diri sendiri maupun orang banyak.
Sementara dari sisi etika, tingkah laku manusianya juga menjadi poin utama untuk mengimbangi nalar dan pola pikir, agar nilai-nilai keharmonisan dalam menyikapi dampak komunikasi yang semakin komplek dapat teratasi dengan sebaik mungkin. Mari sejenak kita tilik status quo yang ada saat ini, berapa banyak permusuhan yang terjadi akibat adanya informasi yang tidak tersaring dengan baik (hoaks) beredar luas di masyarakat. Tidak hanya itu, berapa banyak media-media yang terlalu berfokus pada money oriented dari pada berorientasi pada informasi yang autentik. Kondisi tersebut menjadi bukti, bahwa sudah sewajarnya kita memiliki kecerdasan dalam berpikir dan bersikap sebagai bentuk implementasi dalam berliterasi.
Inilah yang menjadi substansi dari literasi yang dimaksud, bahwa literasi hanya sebatas membaca dan menulis merupakan pemahaman klasik yang seharusnya diperbaiki. Dengan berliterasi kita akan mampu menjalani hidup sekarang dan nanti demi hidup yang lebih baik di masa yang akan datang.
0 Post a Comment:
Posting Komentar