Rabu, 18 Desember 2024

Menyongsong Pemilu berkeadilan dalam Dinamika Sistem Hukum Konstitusi Indonesia


Penulis: Larasati Pantuko, dkk.
Universitas Negeri Gorontalo 


Perwujudan demokrasi salah satunya diwujudkan melalui terselenggaranya pemilihan umum sebagai sarana legalitas dan legitimasi suksesi pemerintahan, pada Pasal 1 Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945” Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Salah satu instrumen untuk melaksanakan kedaulatan rakyat itu adalah melalui Pemilu yang digelar secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (Luber Jurdil). 

Dalam konstitusi, pemilu dinyatakan sebagai sarana kedaulatan rakyat—sebuah hak konstitusional yang dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945. Sayangnya, dinamika dari masa ke masa, kualitas demokrasi elektoral di Indonesia masih dihadapkan pada tantangan yang tak kunjung usai. Fenomena seperti politik uang, polarisasi berbasis identitas, serta kecurangan dalam proses pemilu masih menjadi “hantu” yang merongrong integritas demokrasi kita. Lantas, di manakah posisi pemilu kita hari ini?

Konstitusi kita, khususnya Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945, menegaskan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Pemilu menjadi instrumen untuk mewujudkan kedaulatan tersebut dengan prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (Luber Jurdil). Prinsip ini bukan sekadar jargon, melainkan sebuah komitmen hukum untuk memastikan setiap warga negara dapat menggunakan hak pilihnya secara bebas tanpa tekanan dan intimidasi. Namun, praktiknya tidak semulus itu. Politik transaksional kerap mendistorsi hak suara rakyat, menjadikannya komoditas dalam kontestasi elektoral. Hal ini diperparah dengan lemahnya pengawasan dan rendahnya tingkat edukasi politik di tengah masyarakat.

Jika kita melihat ke belakang, pemilu di Indonesia telah mengalami perjalanan panjang yang merefleksikan dinamika demokrasi. Pemilu pada tahun 1955, sebagai tonggak awal melahirkan optimisme rakyat pasca-kemerdekaan. Namun, pada era Orde Baru pemilu kehilangan substansi demokratisnya. Rakyat hanya menjadi penonton dalam formalitas politik, sementara rezim yang berkuasa terus mendominasi. Baru pada tahun 1999, reformasi membuka ruang bagi pemilu yang lebih bebas dan adil, sekaligus menandai kebangkitan demokrasi elektoral. Perubahan signifikan lainnya terjadi pada 2004 ketika sistem proporsional terbuka diperkenalkan, memungkinkan pemilih untuk memilih langsung calon legislatif berdasarkan suara terbanyak. Sistem ini menjadi harapan baru, meskipun diiringi berbagai tantangan seperti tingginya biaya politik dan persaingan internal partai yang tidak sehat.

Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menjadi pijakan hukum dalam memastikan pemilu yang demokratis dan berkualitas. Regulasi ini mengatur peran penting lembaga independen seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dalam memastikan penyelenggaraan pemilu yang adil dan transparan. Selain itu, Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai “the guardian of constitution” memiliki kewenangan menyelesaikan sengketa pemilu untuk menjamin keadilan. Sayangnya, meskipun regulasi telah diperbarui, pelaksanaannya masih menyisakan berbagai tantangan. Netralitas penyelenggara pemilu kerap dipertanyakan, sementara praktik curang dalam proses pemilu masih marak terjadi.

Pemilu seharusnya tidak hanya menjadi sarana pergantian kekuasaan, tetapi juga momentum pendidikan politik bagi rakyat. Partisipasi aktif dalam pemilu mencerminkan kepercayaan rakyat terhadap sistem demokrasi. Namun, jika pemilu terus dibayangi oleh praktik kotor seperti politik uang dan polarisasi identitas, maka esensi demokrasi akan semakin terkikis. Diperlukan penegakan hukum yang tegas terhadap setiap pelanggaran pemilu, peningkatan profesionalisme penyelenggara, serta edukasi politik yang masif dan berkelanjutan.

Pada akhirnya, pemilu adalah ujian bagi bangsa ini dalam menjaga janji konstitusi. Keberhasilannya tidak hanya diukur dari angka partisipasi pemilih, tetapi juga dari seberapa jauh pemilu mampu mencerminkan keadilan, transparansi, dan representasi. Pemilu yang berkualitas adalah cerminan dari demokrasi yang sehat, di mana rakyat benar-benar berdaulat atas pilihannya. Jika kita ingin Indonesia menjadi negara yang demokratis dan berkeadilan, maka pemilu harus menjadi fondasi utama dalam membangun kepercayaan rakyat terhadap demokrasi. Menjaga pemilu yang berkualitas berarti menjaga harapan demokrasi tetap hidup di negeri ini.


1 komentar:

Total Tayangan Halaman

Kategori

Recent Posts

Teknologi Canggih, Skill Harus Level Up: Gen Z Siap?

Zaman sekarang, siapa yang gak tau teknologi Artificial Intelligence (AI)? Semuanya bisa dikerjakan sama teknologi ini, bahkan dalam beberap...

Quotes

"Sebelum berpikir untuk mengubah dunia, terlebih dulu ubahlah pikiranmu" Arsa Danialsa_

Quotes

"Tidak ada yang namanya kegagalan, yang ada hanyalah feedback" Arsa Danialsa_

Butuh Bantuan?

Nama

Email *

Pesan *