• Ingin Cerita Anda Menginspirasi Dunia | Coming Soon

    Di Zona Insight, kami percaya bahwa setiap individu dan kelompok memiliki cerita yang layak didengar. Kami hadir untuk membantu Anda mempublikasikan ide, pengalaman, atau prestasi agar menjangkau lebih banyak audiens.

  • Ayo Jadi Penulis di Zona Insight | Klik di sini untuk Daftar

    Manfaatkan kesempatan selama 3 bulan bersama Zona Insight untuk memberi dampak dan inspirasi lewat tulisan. Kamu juga akan dibekali pengetahuan dan keterampilan menulis oleh mentor Zona Insight, serta mendapatkan sertifikat penghargaan sebagai penulis inspiratif.

Senin, 24 Maret 2025

Fenomena Flexing: Pameran Mewah di Media Sosial, Realita atau Ilusi?



Di zaman sekarang, media sosial udah jadi tempat utama buat orang-orang nge-share kehidupan mereka. Ada banyak hal positif dari media sosial, tapi nggak sedikit juga yang bikin drama—salah satunya adalah fenomena flexing.

Buat yang belum familiar, flexing itu semacam ajang pamer kekayaan, entah itu barang branded, liburan mewah, atau saldo ATM yang fantastis. Tapi yang jadi pertanyaan, apakah semua yang dipamerin itu benar-benar real, atau cuma buat pencitraan doang?

Tren flexing ini makin rame gara-gara banyak influencer yang hobi banget nunjukin gaya hidup mewah mereka. Bahkan, ada penelitian dari Ety Nurhayat dan Rakhmaditya Dewi Noorriziki yang bilang kalau flexing sering dikaitin sama self-esteem alias kepercayaan diri seseorang. Beberapa influencer bahkan sampai terlibat kontroversi gara-gara ketahuan kalau kekayaan yang mereka pamerin ternyata nggak sesuai realita!

Salah satu contoh tren flexing yang sempat viral adalah review saldo ATM. Banyak orang yang ikut-ikutan nunjukin isi rekening mereka di media sosial. Tapi, tren ini malah memicu perdebatan. Ada yang kagum, ada yang insecure, dan ada juga yang ngerasa flexing kayak gini nggak ada etikanya.

Nggak cuma soal citra diri, flexing juga berdampak ke kesehatan mental. Penelitian lain yang berjudul Flexing di Instagram, Antara Narsisme dan Benefit” bilang kalau kebiasaan pamer ini bisa bikin pelakunya stres karena harus terus mempertahankan image mewahnya. Sementara buat netizen yang liat, bisa jadi malah minder dan ngerasa hidup mereka jauh dari standar kemewahan di media sosial.

Uniknya, tren flexing ini juga dimanfaatin sama banyak brand sebagai strategi pemasaran. Banyak produk yang pakai influencer dengan gaya hidup mewah buat branding mereka, biar kesan eksklusifnya “nular” ke produk tersebut. Bahkan, ada brand yang sengaja bikin konten ala-ala flexing supaya keliatan lebih premium dan menarik konsumen.

Jadi, flexing ini sebenarnya fenomena yang kompleks—bisa jadi representasi kesuksesan, bisa juga sekadar cari validasi. Apapun itu, baik influencer, brand, maupun netizen perlu lebih bijak dalam menyikapi tren ini, biar media sosial nggak cuma jadi ajang pamer, tapi juga tempat yang lebih positif buat semua orang.

Minggu, 09 Maret 2025

Setelah Kita Menjalani Hidup Masing-Masing

 


Kita pernah menjadi dua manusia yang berjalan sejajar, menyeberangi waktu dengan langkah serupa. Kita pernah mengukir rencana di langit senja, mengira bahwa garis takdir adalah sesuatu yang bisa kita genggam erat dalam genggaman. Tapi, waktu selalu punya cara untuk melepaskan jemari yang bertaut, menyisakan ruang yang lambat laun melebar menjadi jarak.

Kau memilih jalurmu, aku memilih jalurku. Kita tak pernah saling menahan, hanya sesekali menoleh, memastikan bahwa bayangan masing-masing masih ada dalam pandangan. Sampai akhirnya, kelokan-kelokan kehidupan membawa kita ke arah yang berbeda, mengaburkan siluet yang dulu akrab dalam ingatan.

Aku pernah bertanya-tanya, apakah di suatu pagi yang sibuk, kau sempat mengingat aku? Apakah di sela-sela kesibukanmu, namaku masih bergema di sudut kecil benakmu? Aku tahu, dunia ini luas, dan jalan yang kita tempuh tak lagi bersinggungan seperti dulu. Tapi ada saat-saat di mana aku melihat pantulan dirimu dalam hal-hal kecil—sebuah lagu yang dulu kita dengarkan bersama, aroma kopi Golda yang mengingatkan pada percakapan santai kita, atau bahkan sinar matahari yang menyengat tubuhku—dulu, kau suka ngomel kalo matahari itu leluasa menyentuh kulitku, hehehe. 

Kini, setelah waktu menjauhkan kita, aku tak lagi ingin bertanya tentang apa yang telah terjadi. Aku hanya berharap, di mana pun kau berada, kehidupan memperlakukanmu dengan baik. Kuulangi, dunia memperlakukanmu dengan baik. Aku berharap langkahmu ringan, harimu penuh cahaya, dan kau bahagia dengan segala yang telah kau pilih.

Dan jika suatu hari takdir mempertemukan kita kembali, meski hanya dalam pertemuan singkat di antara keramaian, aku ingin percaya bahwa kita akan saling tersenyum—tanpa sesal, tanpa penyesalan, hanya penerimaan bahwa kehidupan telah membawa kita ke tempat yang seharusnya.

Misalnya, dalam pertemuan singkat itu, ada sekelebat hening di antara kita. Bukan karena tak tahu harus berkata apa, tapi karena ada sesuatu yang mengendap di dada, sesuatu yang tak akan pernah terucapkan.

Mungkin aku akan melihatmu dengan senyum yang tak sepenuhnya lepas, lalu dalam hatiku, samar-samar sebuah tanya menggema: "Ah, andai dulu kita tidak pisah… apakah kita akan tetap berdiri di sini sebagai kita, bukan sebagai dua orang asing yang pura-pura baik-baik saja?"

Atau mungkin di antara percakapan ringan tentang pekerjaan, kota yang kita tinggali, kehidupan yang berjalan setelah perpisahan, atau bisa jadi cerita tentang seseorang yang kini menemani kita. 

Aku yakin, jika itu terjadi, pasti akan ada momen di mana mata kita bertemu lebih lama dari yang seharusnya. Sebuah tatapan yang mengisyaratkan sesuatu yang tak pernah selesai, sesuatu yang hanya bisa diutarakan dalam bisikan hati:

"Andai dulu kita lebih berjuang, apakah cerita kita akan berbeda?"

Saat pertemuan itu berakhir, kita akan berjalan pergi dengan langkah yang terasa berat, bukan karena ingin kembali, tapi karena sadar bahwa waktu tak bisa diputar, dan kemungkinan yang dulu ada, kini hanya tinggal kenangan yang berpendar.


2025

Kamis, 06 Maret 2025

INDONESIA GELAP, SEGELAP APA?

 




Indonesia gelap, dua kata yang beredar di sosial media saat ini. Ada yang menganggapnya sebagai lelucon dan angin lalu, sebagian lagi menanggapinya seolah negeri tercinta kita akan segera runtuh esok hari. Namun sebagai generasi muda, kita harus bijak dalam menyikapi hal-hal yang beredar di media sosial.  Lantas apa arti dari “Indonesia gelap” dan bagaimana kita harus menanggapinya?

#Indonesiagelap adalah tagar yang awalnya beredar dari sosial media X. Tagar tersebut digunakan untuk menyuarakan keresahan masyarakat atas permasalahan yang sedang terjadi di Indonesia, terutama yang terjadi pada masa kepemimpinan presiden republik Indonesia ke 8 ini.           

Salah satu masalah yang sering diperbincangkan oleh masyarakat adalah keputusan pemerintah untuk melakukan efisiensi anggaran pada sejumlah lembaga kementrian di Indonesia, seperti Kementrian Pendidikan Dasar dan Menengah (KEMENDIKDASMEN), masyarakat khawatir bahwa pemotongan anggaran ini akan berdampak pada masa depan generasi muda saat ini. Selain itu Lembaga Pemerintah Non Kementrian (LPNK) seperti Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) turut terkena dampak dari efisiensi anggaran ini, mengurangi akurasi dari prediksi yang diberikan menjadi 60%.

Selain itu, masyarakat juga khawatir terhadap hak kebebasan berekspresi yang sekarang semakin sulit untuk digunakan. Berbagai karya yang mengkritik pemerintahan saat ini dibungkam satu per satu, contohnya lagu “Bayar Bayar Bayar” yang dibuat oleh band sukatani ditarik dari peredaran dan band tersebut mengunggah video klarifikasi setelah mengalami tekanan dan intimidasi, bahkan salah satu anggota band tersebut mengalami pemecatan dari tempat kerjanya setelah rilisnya lagu tersebut. Karya lain yang “menghilang” setelah menyinggung pihak pemerintahan adalah salah satu lukisan karya Rokhyat yang berjudul “Tikus dalam Burung Garuda”, lukisan tersebut diturunkan dari pameran seni agar menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, seperti pameran tunggal Yos Suprapto yang dibatalkan karena ada masalah dengan karyanya yang menyinggung tokoh politik.    

Berdasarkan argumen yang saya sebutkan di atas, seluruh permasalahan yang terjadi saat ini diakibatkan oleh keputusan pemerintah yang kurang memuaskan bagi masyarakat, kepemimpinan yang anti kritik, serta korupsi dan nepotisme yang masih terjadi dalam pemerintahan. Kita sebagai generasi muda tidak boleh menutup mata atas kesulitan yang dialami negara kita, kita harus mempertahankan nilai moral dan pancasila, agar tidak habis digerogoti tikus yang bersembunyi di dalam pemerintahan. Tugas kita adalah belajar dengan giat untuk menjaga masa depan negeri ini, karena para pemuda adalah cerminan masa depan bangsa.

Sabtu, 25 Januari 2025

PENDIDIKAN DIKEBIRI: ORANG TUA ADIDAYA, GURU DAN SEKOLAH APA DAYA?

 


Jika boleh saya menyebut bahwa pendidikan adalah proses memperkaya pengetahuan dan pengalaman, mengasah keterampilan dan menanamkan sikap/karakter kepada seseorang. Secara sederhana kita artikan bahwa pendidikan merupakan proses transformasi dari satu generasi kepada generasi lain, Minhaji (2018).

Kita semua tentu tahu, bahwa pendidikan merupakan fondasi utama dalam membangun peradaban. Namun, dalam praktiknya sistem pendidikan kita sering kali menghadapi masalah dan tantangan yang cukup kompleks. Ada begitu banyak isu yang tidak sederhana sering terjadi dan memicu adanya konflik antar berbagai pihak, salah satunya pergeseran peran antar orang tua, guru dan sekolah. Dimana peran guru dan sekolah tidak lagi memiliki marwah sebagai ekosistem utuh yang seharusnya dapat memfasilitasi semua kebutuhan dalam pendidikan. Sedangkan orang tua, secara langsung sering kali mendominasi peran dan tanggungjawab yang seharusnya dikerjakan oleh guru dan sekolah. Hal ini justru menyebabkan terjadinya ketimpangan dalam pelaksanaan pendidikan itu sendiri. Dengan berat hati saya harus mengatakan bahwa pendidikan kita telah dikebiri oleh orang tua yang adidaya, sementara guru dan sekolah apa daya?

Orang Tua, Antara Peran Pendukung dan Adidaya

Sebenarnya, peran orang tua terhadap pendidikan anak sangatlah penting. Mulai dari menyiapkan rencana jangka panjang baik dari keuangan, sampai pada outcome pekerjaan yang diharapkan. Hal ini tentu akan terlihat pada bagaimana keseriusan orang tua mengurusi persiapan pendidikan untuk anak-anak mereka. Memilih sekolah terbaik dan terjangkau versi mereka, sampai pada menyediakan fasilitas sekolah seperti buku dan pakaian—sebatas itu. Mungkin sesekali orang tua boleh mengontrol pertumbuhan anaknya di sekolah. Membangun komunikasi dan kolaborasi dengan pihak sekolah untuk memastikan anaknya mendapatkan pendidikan yang semestinya, sebagaimana yang dijelaskan dalam jurnal Kholil (2021). Mirisnya, alih-alih menjalankan peran sebagaimana mestinya, membangun komunikasi dan kolaborasi positif dengan pihak sekolah, masih ada orang tua yang tampaknya mulai mengambil alih peran guru dan sekolah. Para orang tua ini biasanya sangat mendominasi bahkan mendikte bagaimana metode pengajaran yang dilakukan oleh guru, kebijakan sekolah, bahkan lebih mirisnya lagi, ada-ada saja orang tua yang “merasa adidaya” dengan relasi kuasanya, atau mungkin posisi dan jabatannya, sehingga bersikap super power untuk menekan para guru agar memberikan perlakuan khusus kepada anak-anak mereka. Hal ini adalah kedok yang mereka lakukan dengan alasan “demi kebaikan anak”.

Akibatnya, otonomi guru sebagai pendidik mulai terkikis, lalu sekolah, dengan menyesal harus saya katakan tidak lagi menjadi tempat pendidikan yang layak, melainkan menjadi tempat lahirnya generasi-generasi “adidaya” berikutnya, sehingga proses ini pada akhirnya menjadi pola yang berulang setiap waktu dan setiap generasinya. Para orang tua adidaya ini mulai mengabaikan fungsi komunikasi dan kolaborasi yang seharusnya memberikan dukungan, selagi masih dalam batas wajar dan sesuai aturan yang berlaku, maka percayakan pendidikan anaknya kepada guru dan sekolah tempat mereka menempuh pendidikan. Ketidakseimbangan ini jika dibiarkan terus terjadi, hanya akan memengaruhi kualitas pengajaran di sekolah, termasuk dapat menciptakan atmosfer yang tidak kondusif di lingkungan sekolah itu sendiri.

Guru dan Sekolah, Apa Daya?

Akibat adanya orang tua yang adidaya ini, membuat guru dan sekolah berada dalam posisi yang serba salah. Guru sebagai pendidik mulai kehilangan otoritasnya sebagai tenaga professional yang dipercayakan untuk menjalankan aktivitas pendidikan yang ideal bagi generasi. Mereka diharapkan menjadi tauladan dalam pendidikan, harus kreatif dan inovatif—namun di saat yang sama, mereka dibatasi oleh intervensi orang tua dan administrasi yang masih terbilang kaku.

Bukan hanya guru, bahkan sekolah yang menjadi institusi pendidikan formal juga menghadapi dilema yang terbilang besar. Bagaimana tidak, ketika kebijakan sekolah dianggap bertentangan dengan kehendak orang tua yang selalu berdalih “demi kebaikan anak”, sekolah kerap kali dipaksa untuk mengalah. Apalagi, di tengah keterbukaan informasi saat ini, dan adanya kekuatan media sosial, tak’ jarang sekolah justru menjadi objek kritik publik—dimana hal ini berdampak pada reputasi sekolah itu sendiri. Jika sudah begini, guru dan sekolah apa daya? Selain mendidik dengan apa adanya dan sewajarnya saja. Tidak peduli apa yang terjadi pada peserta didiknya, yang penting sudah melaksanakan kewajiban mengajar, menjalankan perintah kurikulum—maka selesai pula urusan dengan anak-anak dari orang tua yang adidaya ini. Akibatnya, orang tua yang kooperatif juga harus menanggung dan merasakan dampaknya.

Dampaknya!

Mari kita diskusikan, apa yang akan terjadi jika pendidikan “dikebiri” oleh dominasi orang tua semacam ini? Tentu dampaknya tidak hanya dirasakan oleh guru dan sekolah saja, anak-anak akan menjadi bingung akan otoritas yang mereka ikuti. Di satu sisi, mereka diajarkan untuk menghormati guru; di sisi lain, mereka justru menyaksikan bagaimana orang tua mereka merednahkan guru bahkan menyepelekan kebijakan atau regulasi yang berlaku di sekolah.

Jika kita telisik lebih jauh lagi, sistem pendidikan yang telah terdistorsi seperti ini akan melahirkan generasi yang kurang mandiri dan tidak siap menghadapi tantangan di dunia nyata. Hal ini disebabkan adanya ketergantungan pada perlindungan dan intervensi dari orang tua yang sebenarnya dapat menghambat perkembangan karakter anak, dalam hal ini tanggungjawab, kedisiplinan, etika, termasuk kemampuan dalam berpikir kritis.

Komunikasi yang sehat dan Kolaborasi yang Positif Menuju Pendidikan yang Seimbang

Lalu, apakah fenomena ini tak’ dapat diatasi? Solusinya cukup sederhana namun membutuhkan usaha yang serius pula. Perlu adanya sinergi yang lebih baik antara orang tua, guru, dan sekolah. Masing-masing pihak ini harus memahami dan menjalankan perannya dengan baik dan berkomitmen untuk bekerja sama demi kepentingan anak/generasi penerus. Guru perlu didukung dengan pelatihan dan kebijakan yang dapat memperkuat posisi serta potensi mereka di dalam mendidik. Orang tua, memiliki peran sebagai mitra sekolah yang mendukung pertumbuhan anak-anak mereka di sekolah, bukan pemegang kendali tunggal yang memaksakan kehendak pribadinya saja. Sekolah harus lebih terbuka dalam penyelarasan visi dan misi, kebijakan atau regulasi pendidikan dengan semua pihak, termasuk para orang tua.

Kita semua perlu menyadari ini, dimana pendidikan bukanlah arena kekuasaan yang didominasi oleh satu pihak saja. Pendidikan adalah ekosistem yang saling membutuhkan, memberikan keseimbangan dan kolaborasi positif. Jika semua pihak ini dapat menjalankan perannya dengan baik, maka pendidikan yang utuh dan berkualitas dapat tercipta sebagai realitas yang dapat diwujudkan untuk kemajuan generasinya.


Referensi:

  • Kholil, A. (2021). Kolaborasi Peran serta Orang Tua dan Guru dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Secara Daring. Jurnal Pendidikan Guru, 2 (1)
  • Minhaji, A. M. (2018). Otonomi dan Reformasi Pendidikan. Edupedia, 3 (1)




Rabu, 18 Desember 2024

OTONOMI DAERAH DALAM PERSPEKTIF HUKUM KONSTITUSI

 


OLEH: ANDI ASWAR

Mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum 

Fakultas Hukum

Universitas Negeri Gorontalo


Otonomi daerah merupakan elemen krusial dalam sistem pemerintahan Indonesia yang mendukung desentralisasi. Dengan memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, otonomi ini diharapkan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini penting untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik lokal, sehingga pembangunan dapat lebih merata dan relevan dengan kondisi masyarakat setempat.

Namun, pelaksanaan otonomi daerah tidak tanpa tantangan. Ketidakjelasan dalam alokasi kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah sering kali menimbulkan konflik kepentingan, terutama dalam hal anggaran dan tanggung jawab. Keterbatasan sumber daya manusia dan keuangan di tingkat pusat juga menjadi hambatan dalam mendukung pelaksanaan otonomi daerah secara efektif. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah pusat untuk memperjelas pembagian kewenangan dan meningkatkan dukungan terhadap daerah.

Peran konstitusi dalam menjaga keseimbangan antara otonomi pusat dan daerah sangatlah penting. Melalui pengaturan yang jelas mengenai kewenangan, konstitusi memberikan dasar hukum yang kuat untuk pelaksanaan otonomi daerah yang akuntabel. Pengawasan oleh lembaga independen dan masyarakat sipil juga perlu diperkuat untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan kebijakan daerah. Dengan demikian, diharapkan dapat tercipta hubungan yang harmonis antara kepentingan nasional dan kebutuhan lokal.

Untuk mengatasi tantangan yang ada, langkah-langkah strategis perlu diambil. Penguatan regulasi, peningkatan kapasitas daerah, dan pemanfaatan teknologi digital dalam tata kelola pemerintahan dapat menjadi solusi untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi. Selain itu, kolaborasi yang baik antara pemerintah pusat dan daerah sangat penting untuk mencapai tujuan otonomi daerah. Dengan upaya bersama, diharapkan otonomi daerah dapat berfungsi sebagai instrumen yang efektif dalam memperkuat integrasi nasional dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Secara keseluruhan, otonomi daerah memiliki potensi besar untuk mendorong pembangunan yang lebih inklusif dan merata di Indonesia. Namun, tantangan yang ada harus diatasi dengan pendekatan yang komprehensif dan kolaboratif. Dengan dukungan yang tepat dari pemerintah pusat dan partisipasi aktif masyarakat, otonomi daerah dapat menjadi pendorong utama dalam menciptakan pemerintahan yang lebih baik dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat di seluruh Indonesia.

Total Tayangan Halaman

Kategori

Recent Posts

Teknologi Canggih, Skill Harus Level Up: Gen Z Siap?

Zaman sekarang, siapa yang gak tau teknologi Artificial Intelligence (AI)? Semuanya bisa dikerjakan sama teknologi ini, bahkan dalam beberap...

Quotes

"Sebelum berpikir untuk mengubah dunia, terlebih dulu ubahlah pikiranmu" Arsa Danialsa_

Quotes

"Tidak ada yang namanya kegagalan, yang ada hanyalah feedback" Arsa Danialsa_

Butuh Bantuan?

Nama

Email *

Pesan *