• Ingin Cerita Anda Menginspirasi Dunia | Coming Soon

    Di Zona Insight, kami percaya bahwa setiap individu dan kelompok memiliki cerita yang layak didengar. Kami hadir untuk membantu Anda mempublikasikan ide, pengalaman, atau prestasi agar menjangkau lebih banyak audiens.

  • Ayo Jadi Penulis di Zona Insight | Klik di sini untuk Daftar

    Manfaatkan kesempatan selama 3 bulan bersama Zona Insight untuk memberi dampak dan inspirasi lewat tulisan. Kamu juga akan dibekali pengetahuan dan keterampilan menulis oleh mentor Zona Insight, serta mendapatkan sertifikat penghargaan sebagai penulis inspiratif.

Rabu, 18 Desember 2024

Menjaga Hak Konstitusional Warga Negara Dalam Perlindungan Kebocoran Data Pribadi

 


Penulis: Fitria, dkk

Universitas Negeri Gorontalo


Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang pesat, khususnya dalam bentuk digitalisasi, telah membawa dampak signifikan terhadap kehidupan sosial, ekonomi, dan politik di seluruh dunia. Meskipun teknologi pada era digital ini membawa kemajuan yang signifikan sangat besar di Indonesia.

Namun, pada era saat ini transformasi digital juga dapat menimbulkan ketidaksetaraan dalam akses dan pemanfaatan teknologi yang dapat memperdalam kesenjangan sosial dan ekonomi. Selain itu, juga dapat membuka ruang untuk penyalahgunaan data pribadi dan hak privasi seseorang. Sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Pasal 28 G ayat (1): “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawa kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu”.

Tetapi terdapat tantangan yang dihadapi oleh pemerintah mengenai perlindungan hak privasi pada saat ini, yaitu maraknya pembobolan data pribadi masyarakat. Kebocoran data yang melibatkan jutaan pengguna harus menjadi peringatan serius bahwa negara harus memperkuat regulasi dan mewajibkan untuk menjaga privasi warga negaranya sendiri.

Kemudian, telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 Tentang Pelindungan data pribadi apabila terjadi kebocoran data yang telah merugikan subjek data diri seseorang. Nah, UU ini bertujuan untuk melindungi hak warga negara agar tidak terjadi penyalahgunaan data pribadi seseorang dan menyadarkan masyarakat akan pentingnya menjaga data pribadi kita sendiri. Terdapat juga sanksi pidana bagi pelaku penyebaran data pribadi yang bukan miliknya diatur dalam UU tersebut, yakni salah satunya penjara paling lama 5 tahun dan dikenakan denda paling banyak 5 miliar.

Jadi, penting untuk kita sebagai warga negara yang patuh terhadap aturan negara untuk meminimalisir terjadinya kebocoran data yang terjadi, kita sudah seharusnya menggunakan platfrom digital dengan positif, serta membatasi untuk mengekspos yang bersangkutan dengan data diri, contohnya seperti alamat rumah, nomor telepon, tanggal lahir dan lainnya yang bersangkutan pada privasi yang tidak boleh diketahui orang lain, bahkan orang yang tidak kita kenal.

Menyongsong Pemilu berkeadilan dalam Dinamika Sistem Hukum Konstitusi Indonesia


Penulis: Larasati Pantuko, dkk.
Universitas Negeri Gorontalo 


Perwujudan demokrasi salah satunya diwujudkan melalui terselenggaranya pemilihan umum sebagai sarana legalitas dan legitimasi suksesi pemerintahan, pada Pasal 1 Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945” Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Salah satu instrumen untuk melaksanakan kedaulatan rakyat itu adalah melalui Pemilu yang digelar secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (Luber Jurdil). 

Dalam konstitusi, pemilu dinyatakan sebagai sarana kedaulatan rakyat—sebuah hak konstitusional yang dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945. Sayangnya, dinamika dari masa ke masa, kualitas demokrasi elektoral di Indonesia masih dihadapkan pada tantangan yang tak kunjung usai. Fenomena seperti politik uang, polarisasi berbasis identitas, serta kecurangan dalam proses pemilu masih menjadi “hantu” yang merongrong integritas demokrasi kita. Lantas, di manakah posisi pemilu kita hari ini?

Konstitusi kita, khususnya Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945, menegaskan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Pemilu menjadi instrumen untuk mewujudkan kedaulatan tersebut dengan prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (Luber Jurdil). Prinsip ini bukan sekadar jargon, melainkan sebuah komitmen hukum untuk memastikan setiap warga negara dapat menggunakan hak pilihnya secara bebas tanpa tekanan dan intimidasi. Namun, praktiknya tidak semulus itu. Politik transaksional kerap mendistorsi hak suara rakyat, menjadikannya komoditas dalam kontestasi elektoral. Hal ini diperparah dengan lemahnya pengawasan dan rendahnya tingkat edukasi politik di tengah masyarakat.

Jika kita melihat ke belakang, pemilu di Indonesia telah mengalami perjalanan panjang yang merefleksikan dinamika demokrasi. Pemilu pada tahun 1955, sebagai tonggak awal melahirkan optimisme rakyat pasca-kemerdekaan. Namun, pada era Orde Baru pemilu kehilangan substansi demokratisnya. Rakyat hanya menjadi penonton dalam formalitas politik, sementara rezim yang berkuasa terus mendominasi. Baru pada tahun 1999, reformasi membuka ruang bagi pemilu yang lebih bebas dan adil, sekaligus menandai kebangkitan demokrasi elektoral. Perubahan signifikan lainnya terjadi pada 2004 ketika sistem proporsional terbuka diperkenalkan, memungkinkan pemilih untuk memilih langsung calon legislatif berdasarkan suara terbanyak. Sistem ini menjadi harapan baru, meskipun diiringi berbagai tantangan seperti tingginya biaya politik dan persaingan internal partai yang tidak sehat.

Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menjadi pijakan hukum dalam memastikan pemilu yang demokratis dan berkualitas. Regulasi ini mengatur peran penting lembaga independen seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dalam memastikan penyelenggaraan pemilu yang adil dan transparan. Selain itu, Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai “the guardian of constitution” memiliki kewenangan menyelesaikan sengketa pemilu untuk menjamin keadilan. Sayangnya, meskipun regulasi telah diperbarui, pelaksanaannya masih menyisakan berbagai tantangan. Netralitas penyelenggara pemilu kerap dipertanyakan, sementara praktik curang dalam proses pemilu masih marak terjadi.

Pemilu seharusnya tidak hanya menjadi sarana pergantian kekuasaan, tetapi juga momentum pendidikan politik bagi rakyat. Partisipasi aktif dalam pemilu mencerminkan kepercayaan rakyat terhadap sistem demokrasi. Namun, jika pemilu terus dibayangi oleh praktik kotor seperti politik uang dan polarisasi identitas, maka esensi demokrasi akan semakin terkikis. Diperlukan penegakan hukum yang tegas terhadap setiap pelanggaran pemilu, peningkatan profesionalisme penyelenggara, serta edukasi politik yang masif dan berkelanjutan.

Pada akhirnya, pemilu adalah ujian bagi bangsa ini dalam menjaga janji konstitusi. Keberhasilannya tidak hanya diukur dari angka partisipasi pemilih, tetapi juga dari seberapa jauh pemilu mampu mencerminkan keadilan, transparansi, dan representasi. Pemilu yang berkualitas adalah cerminan dari demokrasi yang sehat, di mana rakyat benar-benar berdaulat atas pilihannya. Jika kita ingin Indonesia menjadi negara yang demokratis dan berkeadilan, maka pemilu harus menjadi fondasi utama dalam membangun kepercayaan rakyat terhadap demokrasi. Menjaga pemilu yang berkualitas berarti menjaga harapan demokrasi tetap hidup di negeri ini.


Minggu, 15 Desember 2024

Pendidikan Mental Berbasis Neo Neuro Linguistic Programming (NLP)




Dilansir dari laman KOMPAS.com menyatakan bahwa “setiap 40 detik ada satu orang di dunia yang bunuh diri. Sementara di Indonesia, menurut  Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kementerian Kesehatan RI dr. Fidiansyah, Sp.Kj. menyatakan bahwa setiap hari ada 5 orang yang bunuh diri.”

Data di atas menunjukkan dampak dari adanya gangguan kesehatan mental atau jiwa setiap orang yang memiliki masalah kehidupan yang cukup berat sehingga berakibat pada keputusan untuk bunuh diri. Ditambah lagi dengan adanya survei oleh Global Health Data Exchange 2017 menyebutkan bahwa di Indonesia ada 27.3 juta orang yang mengalami gangguan mental atau kejiwaan.  Hal ini membuktikan minimnya penanganan dan pencegahan gangguan mental dan kejiwaan di Indonesia.

Gangguan mental atau kejiwaan itu sendiri merupakan penyakit yang memengaruhi emosi, pola pikir, dan perilaku penderitanya, (alodokter.com). Mental yang sehat dan positif tentu saja menjadi hal penting yang harus diperhatikan oleh siapa pun. Mengingat ini bukanlah penyakit baru, selama bertahun-tahun penyakit ini justru menjadi perhatian khusus bagi semua kalangan terutama bagi para psikolog dan psikiater. 

Adanya gangguan mental itu sendiri dapat diminimalisir dan dapat pula dicegah. Sayangnya hingga saat ini pun masalah kesehatan mental masih disepelekan oleh masyarakat Indonesia. Belum lagi, kondisi saat ini bisa dibilang dapat menjadi pemicu meningkatnya gangguan mental bagi masyarakat Indonesia. 

Berdasarkan permasalahan di atas, saya coba merekomendasikan pencegahan terhadap gangguan kesehatan mental melalui Pendidikan Mental Berbasis Neo Neuro Linguistic Programming (NLP). NLP merupakan ilmu yang juga mempelajari mengenai psikoterapi dan dapat menjadi solusi untuk mencegah terjadinya gangguan kesehatan mental pada individu.

Dalam implementasinya, berikut beberapa metode yang dapat dilakukan untuk mengatasi atau mencegah terjadinya gangguan kesehatan mental: 

Presupositions, merupakan metode yang berfokus kepada cara pengoperasian otak secara lebih efektif dengan berbagai sudut pandang. Dengan metode ini setiap individu akan diajarkan mengenai bagaimana menggunakan kinerja otak secara tepat untuk penyembuhan psikologis, meningkatkan motivasi, mencapai goal, dan segala aspek yang memerlukan fungsi otak.

Afirmasi dan Anchoring, merupakan proses pemberian sugesti positif serta melakukan penjangkaran di alam bawah sadar manusia. Dengan metode ini mereka akan dilatih untuk selalu mengingat dan mengucapkan hal-hal positif sehingga dapat memengaruhi saraf-saraf mereka untuk melakukan hal-hal yang baik dan positif serta mencegah dari tindakan yang dapat merugikan baik diri sendiri mau pun orang lain.

WFO (Well-formed outcome), merupakan metode yang dapat melatih setiap orang untuk mencapai tujuan dengan lebih efektif dengan strategi dan pola-pola yang ada dalam NLP itu sendiri.

Dengan menerapkan pendidikan mental berbasis NLP yakni Presuposition, Afirmasi dan Anchoring serta WFO tersebut diyakini mampu meminimalisir permasalahan yang ada kaitannya dengan gangguan mental yang dapat berakibat pada tindakan bunuh diri. Hasilnya, masyarakat Indonesia dapat hidup dengan sehat dan positif tentunya. -

Jumat, 13 Desember 2024

Kerajaan Milenial


 

“Ketika anak muda tidak mendapat tempat di sebuah kerajaan, maka buatlah kerajaan sendiri dan jadilah raja di dalamnya,” Basri Amin. Sebuah kalimat yang amat menguatkan diri bagi anak muda agar menjadi berani dan pantang menyerah. Pada kondisi dunia yang penuh dengan kemajuan dan identik dengan persaingan, para anak muda berlomba-lomba untuk tampil lebih baik agar mendapat tempat di atas panggung globalisasi.

Era globalisasi tidak hanya menjadi tantangan bagi anak muda, melainkan juga menjadi medan perang di abad 21 sehingga perlu adanya kekuatan yang teramat besar untuk bisa berjaya dan tampil sebagai pemenang. Kekuatan yang dimaksud berhubungan dengan mental dan skill yang dimiliki setiap anak muda sebagai modal untuk dapat bersaing dan memberikan kontribusi terhadap negeri yang begitu dicintai.

Menyinggung perihal globalisasi, Dana Moneter Internasional (IMF) mengidentifikasi dasar globalisasi dalam empat aspek yakni perdagangan dan transaksi, pergerakan modal dan investasi, migrasi dan perpindahan manusia, serta pembebasan ilmu pengetahuan. Sehubungan dengan empat aspek tersebut, telah terjadi perubahan besar-besaran yang mulai terasa pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 yang oleh Friedrich Engels dan Louis Auguste Blanqui menyebutnya sebagai revolusi industri dan hingga kini telah memasuki era ke-4 atau dikenal dengan istilah revolusi industri 4.0.

Bicara perihal revolusi industri 4.0, tentu tidak lepas dari keterlibatan anak muda sebagai generasi milenial yang disebut-sebut menjadi penggerak utama era 4.0, sehingga sebuah keharusan  dalam menghadapi perubahan dimaksud bukanlah hal yang absurd bahwa anak muda dihantui oleh penyesuaian perilaku hingga pemantapan keterampilan yang secara mutlak harus dimiliki dan dikuasai. Jika tidak, anak muda hanya akan menjadi penonton yang ahli dalam mengomentari tetapi tidak memiliki keterampilan atau skill sebagai alat untuk tampil di panggung dunia.

Sehubungan dengan itu, BAPPENAS (2018) menyatakan bahwa Indonesia akan mengalami bonus demografi di 2030 mendatang, sebagai hadiah yang harus disikapi dengan sedemikian serius. Artinya, anak muda akan menjadi pemeran utama dalam menghadapi tantangan global yang semakin maju dan penuh dengan persaingan.

Oleh karena itu, muncul pertanyaan besar, apakah saat itu Indonesia akan baik-baik saja di tangan anak mudanya? Atau justru sebaliknya? Hanya kita sebagai anak mudalah yang dapat menjawab pertanyaan tersebut. Namun begitu, sebagai warga negara yang memiliki cita-cita yang luhur, kita sepatutnya optimis tidak hanya dengan kondisi Indonesia sepuluh atau duapuluh tahun mendatang, tetapi akan seperti apa kita sebagai anak muda sepuluh hingga duapuluh tahun yang akan datang.

Optimisme anak muda sangat penting sebagai upaya meyakinkan diri bahwa kita mampu untuk menghadapi fenomena di era 4.0. Dalam fenomena revolusi industri 4.0 ini, selain kecanggihan teknologi, kemudahan mengakses informasi, banyaknya persaingan di dunia kerja, dan fenomena lain yang begitu rumitnya, hadir sebuah tantangan yang menjadi pekerjaan rumah terbesar kita saat ini. Tantangan tersebut adalah kesiapan sumber daya manusia yang ada khususnya kondisi anak muda itu sendiri. Seberapa berkualitasnya generasi milenial yang ada untuk menunjang kemajuan dan kecanggihan dunia.

Kemajuan dan kecanggihan teknologi telah menyebabkan munculnya konsekuensi sosial yang menjadi dorongan tersendiri bagi anak muda agar tidak menjadi generasi yang tertinggal atau diam di tempat. Lalu, apa yang seharusnya perlu dilakukan anak muda dalam menghadapi perang globalisasi di abad 21 ini? Tentu perang yang dimaksud bukanlah perang melawan orang lain, melainkan perang melawan tantangan kemajuan dan perang melawan diri sendiri. Oleh karena itulah saya selaku representatif dari anak muda berpandangan bahwa kerajaan yang dimaksud pada pembuka tulisan di atas adalah kerajaan yang lahir dari keterampilan dan kreativitas yang kita miliki lalu dibesarkan dengan saling bekerja sama atau berkolaborasi untuk meruntuhkan rumitnya tantangan globalisasi tersebut.

Keterampilan dan kreativitas yang dimaksud akan menjadi investasi paling besar sebagai upaya menaklukkan diri dari sikap apatis (acuh tak acuh), malas, dan pesimis (putus asa). Selain itu, keterampilan dan kreativitas akan menjadi senjata terbesar untuk menjaga dan mengokohkan kerajaan dimaksud. Setelah memperkuat kerajaan dengan keterampilan dan kreativitas tersebut, kemudian kita harus melibatkan orang lain sebagai bentuk kolaborasi dalam menghadapi tantangan globalisasi abad 21.

Dalam implementasinya, sebagai anak muda yang visioner kita harus pintar membaca peluang yang ada. Hal tersebut sangat penting untuk mengetahui keterampilan, minat/bakat (passion) apa yang kita miliki, sehingga memudahkan kita untuk mengembangkannya sebagai bekal diri sendiri di masa yang akan datang. 

Kita tentu sadar, bahwa setiap manusia dilahirkan dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing, sehingga melibatkan orang lain dalam setiap aktivitas penyesuaian diri bukanlah hal yang harus dihindari. Justru di era yang semakin terbuka ini kita pun harus terbuka menerima perubahan dan kelebihan orang lain agar tercipta lingkungan yang produktif dan saling menguntungkan. Kita boleh berprasangka baik agar mental anak muda atau generasi milenial tidak hanya dapat memperbaiki diri sendiri melainkan juga orang lain dan lingkungan sekitarnya.

Selasa, 10 Desember 2024

Kemarjinalan Informasi

 

Ketika semua aktivitas kehidupan kita belakangan ini disepuh kata-kata ajaib mondialisasi, tiba-tiba kita disudutkan oleh kenyataan lain yang tak kalah ajaibnya. Yakni, munculnya efek jurnalisme (Journalism effect), Wibowo (2007).

Kondisi manusia di era digitalisasi ini terbilang semakin rumit. Dalam implementasinya, manusia semakin disibukkan dengan kebiasaan ilmiah yang orang akademik menyebutnya dengan istilah ‘research’. Sebuah proses mencari tahu kata-kata ajaib dari mondialisasi dengan menggunakan instrumen yang telah ada sebagai upaya memperoleh informasi yang dapat dipercaya kebenarannya (autentik).

Namun pada kenyataannya, tidak sedikit orang yang terburu-buru menafsirkan informasi tanpa melakukan proses pengklarifikasian informasi tersebut. Akibatnya, orang-orang semakin tidak peduli dengan kebenaran informasi sehingga berdampak pada perpecahan dan kekacauan yang disebabkan oleh informasi yang tidak jelas kebenarannya.

Sejalan dengan perkembangan informasi yang semakin cepat, sebuah istilah ‘nakal’ bisa saja dianalogikan pada akibat yang teramat membahayakan ini. Sebut saja kondisi itu sebagai “kemarjinalan informasi.” Sebuah kondisi yang perlu dibenahi dengan sedemikian serius agar tidak berdampak buruk bagi Indonesia ke depannya.

Tentu bicara mengenai kemarjinalan tidak hanya berlaku pada kondisi sosial dan ekonomi saja, melainkan hal yang sama juga dapat dijabarkan untuk menjelaskan keberadaan masyarakat Indonesia dalam hal memperoleh dan menyebarkan informasi yang aktual dan dapat dipertanggungjawabkan.

Keberadaan informasi yang semakin berkembang dan luas ini, masyarakat dituntut untuk lebih bijak dalam menerima dan menyebarkan informasi. Tidak hanya itu, keberadaan media perlu juga mendapat pengawasan yang lebih ketat lagi untuk mencegah terjadinya kecacatan media dalam menyebarkan berita dan informasi.

Biasanya, Indonesia kerap kali dikacaukan oleh situasi yang amat serius sebagai akibat dari penyebaran informasi yang tidak autentik serta mengandung unsur kebencian. Mirisnya lagi, masyarakat Indonesia seolah terjebak oleh kedangkalan nalar yang berkepanjangan. Bagaimana tidak, harus diakui bahwa masyarakat Indonesia belum mampu mencerna informasi yang diterimanya. Baik melalui media masa maupun media cetak.

Oleh karena situasi yang sedemikian ricuh tersebut, saat ini Indonesia sedang dilanda krisis informasi. Bagaimana tidak, ajang PEMILU misalnya, menjadi alasan besar serta pemantik munculnya informasi-informasi palsu (hoax). Informasi ataupun berita palsu tersebut juga ditandai dengan munculnya situs-situs berita palsu maupun konten-konten yang mengandung kebencian sara dan sentimentil yang tersebar luas hampir di semua media sosial.

Munculnya berita palsu dikarenakan kebenaran ataupun keautentikan dari suatu berita maupun informasi tidak lagi menjadi hal yang substansial, melainkan siapa yang paling cepat dalam menyebarkan informasi tersebut. Akibatnya, banyak oknum baik individu maupun kelompok berlomba-lomba untuk menyajikan berita atau informasi yang belum jelas kebenarannya. Sehingga masyarakat pun dengan mudahnya bisa terprovokasi oleh informasi-informasi yang dapat menimbulkan perpecahan dan permusuhan antar sesama kelompok masyarakat.

Bicara mengenai hoax, tidak banyak masyarakat Indonesia yang paham betul bagaimana menyikapi informasi atau berita-berita yang diterima baik melalui media sosial maupun situs-situs web yang secara terang-terangan menyebarkan informasi yang belum tentu kebenarannya dan belum jelas referensinya. Oleh karena kebanyakan orang ataupun media ingin tampil terdepan dalam menyebarkan informasi, akibatnya penyebaran hoax-pun semakin tidak dapat terkendali.

Sementara itu, hoax sangatlah beragam, mulai dari isu agama, etnis, bahkan politik. Hoax juga mengakibatkan terjadinya kegelisahan yang amat serius bagi semua kalangan. Masyarakat yang ikut menyebarkan informasi palsu tersebut dikarenakan beberapa hal-diantaranya; ketidaktahuan terhadap informasi yang diterima dan yang disebarkan, unsur kesengajaan untuk menjatuhkan individu atau kelompok, ingin mendapat pengakuan, dan lain-lain.

Herannya lagi, para pelaku yang secara sadar ikut menyebarkan informasi palsu tidak hanya dilakukan oleh orang-orang biasa, melainkan juga orang-orang yang memiliki gelar sarjana atau yang berpendidikan tinggi. Oleh sebab itulah, eksistensi hoax ini terus bergulir dan berkepanjangan menghantui kedamaian dan ketenteraman masyarakat Indonesia.

Sebuah catatan histori memperkirakan kemunculan hoax ini dimulai sejak 1960-an hingga 1970-an. Sampai detik ini, penyebaran hoax makin meningkat. Eksistensi hoax yang paling menghebohkan dunia terjadi pada konstelasi pemilihan umum presiden Amerika Serikat 2016 silam. Sebelumnya Indonesia juga mengalami kondisi yang sama pada perhelatan pemilihan umum 2014 lalu. Terlebih lagi pada konstelasi pemilihan umum 2019 dan 2024 kemarin, puncak serangan hoax semakin menjadi-jadi. Oleh karena itu, pihak-pihak terkait yang merasa memiliki tanggungjawab penuh terhadap bahaya hoax, mengambil langkah strategis untuk menghentikan atau meminimalisir penyebaran berita atau informasi palsu tersebut.

Dalam kondisi yang cukup memprihatinkan ini, masyarakat perlu memperbanyak edukasi informasi melalui literasi media sebagai upaya untuk mendewasakan nalar atau pikiran agar terhindar dari kedangkalan-kedangkalan yang menyebabkan terjadinya kekacauan dan perpecahan tersebut.

Tidak hanya itu, masyarakat juga perlu untuk mengedukasi diri dalam memanfaatkan media sosial. Dengan begitu, situasi yang terbilang sulit ini dengan sendirinya perlahan tapi pasti jika sebagian besar masyarakat Indonesia mulai bijak dalam mengelola informasi dan memanfaatkan media sosial dengan baik, maka “kemarjinalan informasi” tersebut dapat diminimalisir.


Total Tayangan Halaman

Kategori

Recent Posts

Teknologi Canggih, Skill Harus Level Up: Gen Z Siap?

Zaman sekarang, siapa yang gak tau teknologi Artificial Intelligence (AI)? Semuanya bisa dikerjakan sama teknologi ini, bahkan dalam beberap...

Quotes

"Sebelum berpikir untuk mengubah dunia, terlebih dulu ubahlah pikiranmu" Arsa Danialsa_

Quotes

"Tidak ada yang namanya kegagalan, yang ada hanyalah feedback" Arsa Danialsa_

Butuh Bantuan?

Nama

Email *

Pesan *